Kembali Menunggu

31 4 0
                                    

"APA???"

Seisi kelas tampak terkejut dan melongo. Tak percaya jika dosen killer itu akan melontarkan kata-kata yang mengandung unsur percintaan. Sangat tidak biasa bagi dosen muda yang masih saja menjomblo itu.

Hilya sampai tak berkedip ketika mendengar perkataan pak Zein, benar-benar diluar dugaan.
Ia masih menunduk malu, bukan karena ketahuan tidak fokus, tapi karena orang-orang di kelas ini sedang menatapnya. Semoga saja anggapan mereka salah.

Beruntungnya ia mengenakan niqob, jadi ia bisa menahan malu dibaliknya. Pak Zein dengan wajah tak berdosanya kembali ke depan dan melanjutkan materi.

"Ya Allah... Bisa bisanya pak Zein bilang begitu" Gumam Hilya dalam hati

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Pov: Hilya.

Setelah momen memalukan di kelas tadi, aku buru-buru pulang karena tak mau mengingat kejadian itu lagi. Anisa mengajakku untuk pergi ke pantai esok hari, aku senang karena sepertinya ia tau kalau aku butuh menepi dari rasa yang kini semakin mengakar dihatiku.

Hilwa mengbariku bahwa ia akan pulang bersama temannya, maka aku pulang sendiri dengan mobil jazz milik ayah. Ayah mengajariku banyak hal. Termasuk mengajariku untuk menyetir mobil sendiri agar kelak aku tidak merepotkan orang lain. Beruntung sekali aku memilikinya. Kenapa tidak dari dulu, sih?

Sampai di rumah, aku melihat sebuah mobil pajero terparkir di halaman rumah. Aku berpikir bahwa itu adalah teman ayah. Tapi saat aku masuk rumah, ternyata tante aisyah dan suaminya.

Salamku dijawab dengan serempak oleh ke empat orang yang berada di ruang tamu. Aku lanjut bersalaman dengan mereka, terkecuali dengan suami tante Aisyah.

"Mau istirahat, hil?" Bunda bersuara.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Duduk sini dulu gapapa, kan? Ada yang mau tante Aisyah sampaikan" Lanjut Bunda.

Aku bingung tapi tetap memaksa diri untuk menuruti perkataan bunda. Dalam hati aku bertanya-tanya, ada apa ini? Kenapa suasananya terasa berbeda?

"Kenapa tante?" Aku langsung to the point.

"Kedatangan tante dengan suami tante disini, karena ada ingin menyampaikan kabar gembira untuk nak Hilya"

Beliau menjeda, tapi jantungku berpacu dengan cepat seakan hal yang akan disampaikan akan terdengar mengejutkan.

"Kami ingin melamar Hilya untuk menjadi istri anak kami, Galvin"

Dentingan jarum jam seakan berhenti di menit itu, jantungku memompa dadaku hingga terasa sesak, mulutku terbuka sebagai tanda keterkejutanku dan tanganku spontan menutupnya. Pandanganku langsung menunduk tapi mataku melotot tak percaya. Bisa-bisanya....

Ke empat orang itu menatapku penuh harap, tapi hatiku sedang tidak bisa diajak kompromi.

"Tapi, Hilya kan belum kenal sama anak tante" Aku menjawab dengan senyum yang gemetaran. Takut ada yang merasa tersakiti.

"Kenalannya pas udah akad, nak. Itu jauh lebih baik, juga untuk menjaga kehormatan kamu sebagai wanita, nak"

Deg!!!

Akad? Aku mau akad? Secepat itu? Apa aku udah siap?

Aku tau tante Aisyah bermaksud baik, tapi aku tak boleh membalas kebaikan itu dengan kebohongan. Termasuk kebohongan perasaanku sendiri. Aku harus memastikan hatiku bisa menerima Mas galvin tanpa menghadirkan nama lain didalamnya. Lalu bagaimana aku bisa menyelipkan namanya ketika hatiku masih dipenuhi nama orang lain?

The Prince Al-mulk (Tahap Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang