Rengkuhan Umi

43 8 0
                                    

Pov: Hilya

Renjana kembali menusuk hati. Langkahku kembali menyusuri sebuah jalan yang telah lama kutinggalkan. Rindu datang dan aku berusaha menjemput temu agar tak hanya tinggal rasa pilu.
Pelukan yang lama kurindu, walau ketika ingat itu tanpa sadar hatiku kembali tersayat sembilu yang tak kunjung datang walau sudah bertahun-tahun aku menunggu.

Ada yang mengatakan bahwa pesantren bukan hanya penjara suci, tapi juga bengkel hati. Maka ketika aku lelah dengan dunia, aku ingin kembali merengkuh tenang dalam rengkuhan walau hanya sekedar menaungkan diri.

Libur kuliah kali ini kuputuskan untuk menjenguk umi dan kyai di pesantren. Sudah lama aku tak menemui mereka hanya karena ketakutanku. Ketakutan untuk mengingat kembali sejarah yang telah diukir didalamnya. Ketakutan untuk kembali mengingat sebuah ungkapan yang kini justru mengiris hati.

Aku sudah beberapa kali mencoba ikhlas bahwa ungkapan itu hanya sebatas angin lewat. Ternyata ia malah semakin melekat. Tanpa sekat.

Bunda sudah ku ajak, tapi ia harus menjaga toko pusat karena ada beberapa karyawan yang cuti. Jadi aku tidak memaksanya dan memilih berangkat sendiri.

Jalanan cukup ramai karena sedang weekend. Banyak sepasang keluarga menghabiskan waktu bersama. Tapi aku punya bunda dan waktu bersamanya tanpa weekend. Kalian pasti bertanya-tanya tentang bunda yang hanya sendiri membesarkanku.

Sebenarnya ada sebuah cerita di masa lalu yang aku takut ceritakan. Aku takut jika ku ungkit cerita itu kembali aku akan terlihat sebagai orang yang paling lemah di dunia ini. Tapi tak apa, demi kalian aku akan sedikit menceritakannya. Tapi aku tidak berjanji untuk tidak menangis, ya. Jujur, ini masih sulit bagiku.

Ketika itu aku masih kecil dan belum sepenuhnya ingat masa masa itu. Dulu, Ayah membawaku jalan-jalan dengan sebuah sepeda karena rasa bahagianya mempunyai anak perempuan. Seperti yang dikatakan pepatah bahwa, cinta pertama anak perempuan adalah Ayah-nya. Aku mengakui itu benar.

Begitu bahagianya ayah membawaku jalan-jalan, sampai ia tak sadar bahwa ia tidak sengaja menindas batu yang cukup besar dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh dan kepalaku terbentur aspal. Setelah itu aku tak sadarkan diri dalam waktu yang cukup lama.

Setelah sadar, aku tak mengingat apapun. Bahkan bunda masih memperkenalkan dirinya padaku.
Aku mengalami amnesia retrograde. Penyakit yang menyebabkan aku tidak ingat masalalu karena cedera di otakku cukup parah untuk anak berumur satu tahu.

Aku tau cerita ini dari bunda. Ketika itu aku sudah tidak menemukan sosok ayah, bahkan aku tak ingat wajahnya sama sekali. Bunda bilang ayah meninggal ketika aku tak sadarkan diri. Sejak saat itu, aku tak ingin membuka kembali lembaran masa lalu. Karena itu akan membuatku merasa kesepian.

Tak terasa aku sudah sampai di halaman pesantren. Suasananya masih sama. Tidak ada yang berubah. Sama dengan rasa itu. Aku menghirup dalam dalam aroma khasnya, merasai kerinduan dan kasih sayang yang bertumpah ruah didalamnya.

Aku memperbaiki letak niqob dan hijab sebelum bergegas masuk ke ndalem. Aku sedikit gemetar karena takut umi tidak mengenaliku, tapi aku berusaha meyakinkan diri bahwa umi akan bangga melihatku.

Sampai di depan ndalem, kulihat kyai mubarok dan istri beliau, nyai aisyah baru saja keluar dari ndalem.

Kenapa kyai mubarok keluar dari ndalem? Gus Alfan datangkah? Ada semburat kebahagiaan dalam hati ketika aku menemukan sekeping harapan. Aku harus bagaimana? Malu sekali rasanya jika harus berhadapan dengan beliau. Apalagi beliau adalah orang tua dari pemuda yang menyatakan rasa kagum padaku. Tapi aku sudah di pertengahan jalan, tak mungkin aku mundur dan balik ke mobil lagi. Maka dengan keberanian hati, aku memantapkan langkah untuk menghormati beliau sebagai guruku.

The Prince Al-mulk (Tahap Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang