Jemal

3 0 0
                                    

Hari ini merupakan hari terbahagia gua setelah mendengar berita kalau bokapnya Karsya baru saja meresmikan Badan Data Pembelian Fashion Internasional. Jujur saja, kalau bisa semua orang gua kasih satu set brand Rucas. Tapi sayang, semua orang lebih milih bran luar. 

Ya sudahlah, saatnya gua menunggu informasi selanjutnya dari Karsya yang katanya mau ketemuan di Pondok Indah Mall. Kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya sikap gua terhadap kasus remeh ini terlalu berlebihan deh.

Apa gua batalin aja investigasi ini. Buang-buang waktu dikala masuk sekolah. Tapikan bukan gua atau Karsya aja yang penasaran sama pemilik satu pasang Nike terbaru itu. Bahkan jajaran pemerintahpun ikut turun tangan untuk hal ini. Pokoknya gua termasuk Karsya tidak boleh disingkirkan dari Duta Tata Busana Internasional di Indonesia.

Nama keluarga besar mau ditaruh di mana coba kalau anak-anaknya enggak bisa membanggakan nama keluarga. Apa yang gua lakukan bersama Karsya semata-mata untuk menjaga nama baik keluarga masing-masing.

"Bang Jemal! Ini televisi mau ditonton enggak!?" Teriak adik gua dari lantai satu. "Matiin aja, abang lupa matiin!!" Gua sampai lupa kalau televisi di ruang keluarga masih gua hidupin. Betapa senangnya gua hari ini sampai lupa akan kejadian kecil.

"Bang, katanya nanti mau pergi ya?" tanya Yuma yang sudah berada di ambang pintu kamar gua. "Iya, kenapa, kamu mau nitip sesuatu enggak? Sekalian jalan nih."  Yang ditanya malah diam lalu beranjak kembali ke lantai satu. Dasar bocah! Kirain mau nitip beliin apa gitu. Lagian dia mau nitip baju modelan kayak mana lagi. Semuanya udah dia koleksi, dari atasan sampai bawahannya lengkap.

Eh tunggu, masuk sekolah itu hari Senin. Tandanya liburan tinggal berapa hari lagi otomatis gua harus siap-siap. Mulai dari buku tulis hingga style apa yang akan gua pakai ketika sekolah. Jangan sampai ada yang samaan sama apa yang gua pakai. Kalau ada yang sama, wah! Gua harus beli yang baru. Titik.

Mata gua melihat jarum jam yang pendek menunjukkan angka delapan dan jarum panjangnya mengarah ke angka lima. Tandanya gua masih ada waktu sekitar lima belas menit menuju PIM. Dengan gerakan cepat tangan gua mengambil kunci motor yang tergantung di samping lukisan asal Spanyol, hadiah dari bokap dua tahun yang lalu.

"Dek,  Abang pergi dulu sebentar. Nanti kalau ada apa-apa kabarin aja." Ujar gua ketika sudah berada di atas motor Rabel 1100  hasil meyisihkan uang bulanan. Dengan kecepatan penuh, motor kesayangan gua berhasil melaju tanpa hambatan disaat semua kendaraan harus terjebak macet.

"Anaknya Sadina Group ya?" Tanya salah satu petugas pengatur lalu lintas yang ikut mengawal keberangkatan gua menuju Pondok Indah Mall. Gua hanya mengangguk lalu memberikan senyuman untuk membalas kebaikkan dari Pak Hartanto. "Stam, tolong kamu pantau jalanan di sini. Saya mau kawal anaknya Sadina Group dulu." Ujar Pak Hartanto kepada rekan kerjanya.

Kelebihan dari menjadi anak pengusaha sukses tata busana di dunia salah satunya adalah seperti ini. Bahkan gua sempat ditawarin buat pakai Helicopter atasan, katanya biar lebih cepat. Mana mungkin gua meninggalkan motor ini hanya untuk nikmat sesaat.

Sesampainya gua di Lobby Mall, tidak sedikit orang yang menghampiri untuk bersua foto. Bahkab dari mereka juga meminta tanda tangan gua di pakaian yang sedang mereka gunakan. Sejauh mata gua memandang orang-orang kini beralih kepada kiblat Zara dan Louis Vuitton setelah gempuran merek Gucci dan Prada.

Mungkin karena harganya yang "cukup standar"  bagi kalangan seperti mereka. Kalau dilihat-lihat hari ini pakaian gua tergolong sederhana, yakni atasan Polo Giordano dengan celana bahan merek Zara. Simple.

Tempat ketemuan gua berada di salah satu restoran bintang lima, tempat biasa untuk nongkrong dan ngerjain tugas bareng.

  "Eh, maaf pak. Bapak tidak boleh masuk ke tempat ini. Sekali lagi maaf ya pak." Tiba-tiba telinga gua menangkap pembicaraan salah-satu pegawai restoran ketika masih berada di meja administrasi. "Bapak tidak boleh makan di sini karena tidak sesuai prosedur tempat ini. Terima kasih pak." Ujarnya sekali lagi, sambil menahan tubuh bapak tua tadi untuk masuk ke dalam restoran. 

 Mata gua masih menatap kejadian di depan pintu masuk tanpa melakukan apa-pun. Namun entah mengapa hati gua merasa tidak iba melihat kejadian barusan. Tangan gua meletakkan kartu reservasi di atas meja sebelum menghampiri bapak tua yang kini masih berusaha masuk. "Kami tahu bapak ingin menyantap makan siang. Tetapi tempat ini tidak cocok untuk orang seperti bapak." Ujar waiter  yang kini sedang berusaha menjauhkan bapak itu dari depan restoran.

 Langkah kaki gua berhenti tepat di depan kejadian. Semua mata kini mengarah ke arah gua yang berdiri tegap sembari menarik tangan pelayan yang mencoba menahan tubuh bapak tua itu. "Lepas mas, biarkan bapak ini masuk untuk makan di dalam." ucap gua dengan tegas. Waiter  itu menggeleng. "Tidak bisa tuan, bapak ini tidak sesuai dengan prosedur restoran ini." Ucapnya. "Mas, bapak ini juga manusia yang membutuhkan makan dan menikmati fasilitas di tempat ini jika bapak ini mampu membayarnya." 

 Waiter itu masih menggeleng dan tetap memegang keteguhan untuk tidak mengizinkan bapak itu untuk masuk. "Baik mas, kalau memang itu maunya, bapak ini tolong dipesankan satu meja khususnya di tempat paling luxurious. Semua saya yang akan membayarnya." Ucap gua kepada waiter muda itu. "Baik tuan, akan kami siapkan tempat paling luxurious namun ketika bapak ini sudah memenuhi standar tempat makan ini." Ucapnya sambil tersenyum. 

 "Tidak usah repot-repot anak muda. Bapak tidak enak atas apa yang kamu lakukan untuk bapak. Menurut bapak, ini sudah berlebihan." Ujar bapak tua itu. "Enggak apa-apa pak, sudah seharusnya saya sebagai anak muda melakukan hal tersebut demi menjaga kestabilan tata krama saat ini." Sebenarnya kalau untuk urusan seperti ini, hati gua merasa iba. Tidak bisa melihat jika orang yang usianya sudah lanjut diinjak-injak karena peraturan yang tidak masuk akal ini. 

 "Nama kamu siapa anak muda?" Tanya bapak itu. "Nama saya, Jemal Sadina. Nama bapak siapa kalau boleh saya tahu?" Dari tadi hingga sampai di salah satu butik Internasional, kami baru bertukar nama. "Nama saya, Santosa. Kamu anak dari Sadina Group ya?" Gua tersenyum lalu mengangguk pelan. "Mulia sekali anak muda, telah mau membantu saya. Suatu kehormatan bisa berjumpa dengan anak muda kebanggaan Dunia Fashion." ucap bapak Santosa sembari menepuk pundak gua. Ada aliran tenaga yang mengalir ketika bapak Santosa menepuk pundak kanan. Itulah yang gua rasakan sebelum akhirnya beliau di make over dari atas hingga bawah dengan brand Ralph Lauren. 

 "Maaf menunggu agak lama, silahkan mas antar bapak ini ke tempat yang sudah saya pesan." Gua mengantarkan bapak Santosa hingga depan meja resepsionis. Winter muda tadi kini mengantarkan bapak itu ke tempatnya. "Ada apa Je?" tanya Karsya yang baru datang. "Enggak ada apa-apa. Biasa, masalah norma di era baru ini." Gua mengajak Karsya untuk duduk di tempat reservasi kita berdua. 

 "Tadi ada yang ribut apa bagaimana?" tanya Karsya untuk memastikan. "Enggak sampai ribut. Tapi memancing atensi gua untuk bertindak. Kalau diam saja, namanya bukan Jemal Sadina." Gua ketawa kecil sebelum witeress berparas jelita membawakan menu spesial sesuai dengan pesanan kami. "Kok bisa? Coba cerita sedikit." minta Karsya sebelum meneguk minumannya. Gua menceritakan kejadian tadi dari awal hingga akhir. Karsya menyimak cerita gua dengan sangat khidmat. "Lu bilang nama bapaknya itu Santosa?" tanya Karsya dengan raut wajah tidak percaya.

 "Iya, memangnya ada apa?" Gua tidak tahu siapa bapak itu, tapi namanya sangat tidak asing di telinga gua. "Bapak itu salah satu shareholder terbesar di Indonesia setelah butik keluarga kita. Jangan sampai hanya gara-gara fashion semua kekayaannya yang ditanam untuk masa depan bangsa ditarik sama dia." penjelasan Karsya tadi membuat gua mematung tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun. 

 "Lu baru tahu siapa bapak Santosa? Diakan pernah ngisi seminar waktu lu diajak enggak mau ikut." Gua hanya menggeleng sebelum menyantap hidangan yang menggugah selera. "Eh, iya, lu udah tahu siapa pemilik satu pasang Nike limited edition itu?" Gua memecahkan keheningan selama satu menit itu. 

 "Belum tahu banyak, bokap gua masih handle masalah lain, sepertinya kita harus menunggu satu sampai dua hari ke depan untuk masalah ini. Yang penting, sudah ada lembaga yang mengatur data jual-beli tata busana secara global." jelas Karsya. 

 Syukurnya sahabat gua yang satu ini otaknya bener-bener encer kalau masalah beginian. Kalau udah ada Karsya Amridara, semua selesai. Tanpa harus ba-bi-bu, menunggu arahan. Enggak kebayang kalau nanti kita ketemu siapa pemilik sepatu Nike limited edition itu. 

Bersambung


Gara-Gara FashionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang