Ayahku meninggal sebelum pukul lima pagi, ditemukan tak-bernyawa di balik kemudi. Berita duka disampaikan langsung oleh Bibi Okta, adik perempuan Ayah satu-satunya. Pintu rumah diketuk kencang-kencang. Kami disuruh berkemas.
"Abahmu sudah tiada," kata Bibi Okta. Tidak tahu ketiadaan seperti apa yang dimaksudnya. Ayahku memang sering tiada sejak dulu, bahkan selama dua tahun terakhir.
Hari itu hari Sabtu. Aku masih SMP. Sekolah libur, tapi aku sudah punya janji untuk kerja kelompok selepas makan siang. Di sela-sela memasukkan dua pasang pakaian ke dalam tas, aku sempatkan mengirim pesan singkat kepada temanku, mengabarkan situasi yang mendadak berubah, sambil bertanya dari dalam kamar, "Bu, apa kita akan bermalam?" Jika tidak, mungkin kami bisa memundurkan jadwal kerja kelompok ke sore hari.
Tidak ada sahutan dari kamar seberang. Saat kuintip dari celah pintu yang setengah terbuka, Ibu menangis dalam pelukan Bibi Okta. Aneh sekali. Sudah hampir dua belas bulan Ayah tidak pernah pulang. Sekarang dia tidak akan pulang untuk selamanya. Seharusnya kami sudah terbiasa.
***
Jenazah Ayah dipulangkan ke rumah orang tuanya di perbatasan kota. Dalam perjalanan, Bibi Okta menceritakan pokok kejadian. Mobil Ayah menabrak pembatas jalan hingga menghantam batang pohon. Tidak ada yang bertanya di mana lokasinya, ke mana dia hendak pergi, dan apakah ada saksi mata. Ibu diam. Aku juga diam. Berdua kami duduk bersisian di bangku belakang, menatap ke luar jendela yang saling bertolak-belakang.
Begitu tiba di rumah Nenek, tiga pria mendekat. Masing-masing dengan kamera menyala. Satu dari mereka menanyakan perasaan Ibu. Suara mereka rendah, tidak terdengar jelas, redam dalam bacaan doa dari dalam rumah serta bisik-bisik pelayat baru datang. Bibi Okta dengan cekatan menggiring kami ke ruang tengah, tempat Ayah dibaringkan. Dia dikelilingi banyak orang. Sangat kontras dengan ide yang lama tertanam di kepalaku.
Ayahku sutradara. Dia menciptakan banyak film. Namun, sebagian besar mendapat komentar jelek, bahkan dilarang tayang di bioskop-bioskop umum. Aku penasaran dengan orang-orang yang sekarang mengelilingi jenazahnya. Apakah mereka penonton setia? Rekan kerja? Teman? Lawan yang menyesal? Jika karya Ayah selalu dapat rating buruk, kenapa masih ada yang peduli? Di sekolah, anak yang sering dapat nilai rendah selalu dihindari murid lain.
"Oina, mari sini." Bibi Okta menyuruhku mendekat, duduk di sebelah Ayah. Aku menurut, setelah melirik Ibu yang tidak berhenti memeluk Nenek. Dari dekat, wajah ayahku sangat berbeda dengan saat terakhir kali kami berjumpa. Kapan itu? Aku agak lupa. Mungkin saat aku menunggu pengumuman seleksi masuk SMP. Mungkin saat aku menunggu hari pertama SMP. Yang jelas, waktu itu aku menunggu, bukan menunggu kedatangannya, atau menunggu film terakhirnya dapat izin tayang.
"Oina mau bilang apa sama Abah?" Bibi Okta kembali bersuara. Aku masih menatap wajah ayahku. Matanya terus tertutup, membawaku kembali mengingat terakhir dia berkunjung. Kami nonton Petualangan Seruni semalaman suntuk hingga dia tertidur di bangku, tepat di sebelahku. Saat itu, meski matanya tertutup, wajahnya tetap hidup. Berbeda dengan sekarang. Semuanya kaku tanpa warna. Apakah ini pertanda dia mimpi buruk?
Aku mencoba mengingat apa yang sering ayahku ucapkan tiap kali aku bermimpi buruk saat aku masih kecil dulu. Dia mengingatkanku bagaimana film menakutkan berakhir. "Tokoh utamanya selalu jadi lebih berani," katanya.
"Tapi, itu kan cuma film," balasku sambil menggenggam erat tepi selimut.
Ayah bilang, semua tokoh di film-film adalah cerminan orang-orang di kehidupan nyata. Mulai dari penampilan hingga keputusan-keputusan yang diambil. Aku jadi teringat rambut keriting Bibi Okta yang mirip dengan rambut ibunya Rapunzel.
"Berarti, orang-orang yang ada di film Ayah juga ada di dunia nyata? Tapi, kenapa banyak yang nggak suka?"
"Karena itulah kehidupan nyata. Pasti ada yang tidak mereka suka."
Aku mengangguk setuju, ingin mengaku kalau terkadang aku tidak suka Bibi Okta, tapi sepertinya lebih aman jika membawa contoh lain. Jadi, aku menyebut nama teman sekelasku. "Seperti Ian? Banyak yang nggak suka sama Ian karena dia sering pipis celana."
"Benar. Banyak film yang punya karakter seperti Ian." Senyum ayahku semakin lembut. Belaian tangannya di kepalaku semakin halus. Hampir aku tertidur ketika dia bergumam, "Seharusnya memang seperti itu. Supaya orang-orang seperti Ian merasa tidak sendirian." Malam itu aku tidak mimpi buruk. Aku bermimpi mengajak Ian menonton film yang tokoh utamanya sering pipis celana.
Aku tidak pernah menonton adegan seorang tokoh utama duduk di sebelah jenazah ayahnya. Jadi aku tidak punya gambaran apa yang mesti dilakukan. Apa yang harus aku ucapkan di hadapan tubuh yang tak lagi berfungsi? Siapa sebenarnya yang akan mendengar? Ayahku? Para pelayat?
Mungkin seharusnya tidak jauh beda dengan mengantarkannya tidur. Aku tidak pernah mengantarkan Ayah tidur, tapi aku bisa meniru yang sering dia lakukan. Biasanya dia memperbaiki selimutku begitu aku memejamkan mata. Ayahku sekarang tidak punya selimut. Jadi prosedur yang satu itu aku lewatkan. Kemudian dia mengelus pipiku. Aku menangkupkan tangan di pipi kanannya. Kemudian dia berbisik optimis, "Oina, dalam mimpi nanti, kamu pemeran utamanya". Aku pun berbisik optimis, "Ayah, sekarang kamu pemeran utamanya."
***
Setelah Ayah meninggal dunia, Ibu selalu di rumah, tapi pikirannya ketinggalan entah di mana. Tangannya sering mondar-mandir di pekarangan belakang, lemari dapur, rak buku, kolong tempat tidur. Kelihatan sedang bersih-bersih, tapi aku curiga dia sebenarnya lagi mencari pikiran yang ketinggalan itu.
Tidak lama kemudian, Covid-19 mewabah. Beberapa minggu setelah penetapan status pandemi, kami pindah ke kabupaten agak jauh dari kota. Meski begitu, aku tidak pindah sekolah karena masih bisa belajar dari rumah. Bibi Okta sesekali mengunjungi kami. Kadang Mesa, putri bungsunya, ikut menemani. Dulu aku tidak terlalu suka dekat-dekat dengan Bibi Okta karena dia kadang banyak tanya. Mesa lebih lagi. Dia suka kasih komando halus. Namun, sekarang kedatangan mereka mirip kunjungan layanan sosial. Ketika berkunjung, Bibi Okta suka masak besar di dapur. Dengan begitu, tatanan rak piring kembali acak-acakan. Isi kulkas juga semakin bervariasi. Mungkin di mata Ibu semua itu tampak seperti kekacauan, tapi bagiku itu tanda kehidupan. Sayangnya, seiring pandemi kian parah, kunjungan itu semakin jarang. Rak dapur kembali tertata apik, mirip etalase apotek.
Aku mencoba turun tangan, mencari cara yang tepat untuk membuat pikiran Ibu kembali pulang ke rumah. Aku ingin dia berceloteh tentang drama televisi. Aku ingin dia makan camilan tanpa melihat total kalori di kemasan. Aku ingin dia tidak mendadak punya urusan di kamar setiap tanpa sengaja aku menyebut kata "ayah".
Mungkin pertama aku harus tahu siapa Ibu terlebih dahulu. Dia dulu pegawai swasta, masuk pukul delapan, pulang pukul lima. Setiap malam dia senang membaca atau menonton serial drama. Beberapa tahun ketika film-film Ayah bermasalah, kami sering coba-coba resep masakan meski hampir semua gagal. Kalau libur panjang, jalan-jalan ke puncak bersama Bibi Okta sekeluarga.
Berminggu-minggu aku mencoba mengingat siapa Ibu, menuliskannya dalam bentuk butir-butir informasi. Namun, daftar itu bertambah dengan amat lambat. Apakah selama ini aku tidak mengenalnya? Kepada siapa aku harus bertanya?
Hingga suatu hari Ibu kembali mendapatkan pekerjaan tetap di kota. Masuk pukul delapan, pulang pukul lima. Sama seperti pekerjaan sebelumnya. Hanya saja, kali ini setiap pagi dia harus berangkat lebih awal karena jarak tempuh yang lebih panjang. Saat itu aku sedang mempersiapkan kelulusan. Meski sehari-hari kami belajar online, ujian sekolah tetap dilaksanakan tatap muka. Seminggu sebelum ujian, setiap hari aku ikut Ibu ke kota untuk pendalaman materi di sekolah. Pembatasan kegiatan masyarakat masih diberlakukan, banyak jalanan ditutup. Namun, karena kami berangkat pagi buta, jalanan di kiri-kanan selalu lengang. Semenjak kembali bekerja, ibuku mulai sering bicara. Di mobil dia memutar lagu-lagu riang. Pikirannya sudah pulang ke rumah. Daftar "Siapa Ibu" aku tinggalkan begitu saja di dalam laci meja belajar.
Perlahan semua terasa normal. Aku belum tahu apakah ini kenormalan yang dulu atau kenormalan yang baru.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Mom Is Not Home
Novela JuvenilIbu Oina sedang dalam perjalanan dinas. Ibu Yana tenggelam dibawa arus laut. Ibu Taha kecanduan narkoba. Ibu Violeta mengungsi ke Vietnam. Ibu Nora hidup dalam angan-angan. Ibumu bagaimana? ---------- Sekelompok remaja merayakan ketiadaan ibu mereka...