Anak yang malang

20 11 0
                                    

Sedari tadi Asrar tidak berhenti berjalan bolak-balik di depan pintu ruang rawat Anin. Sudah  lebih dari lima belas menit dokter masuk untuk memeriksa Anin yang tiba-tiba tidak sadarkan diri sewaktu mengobrol dengannya.

"Abang! bisa duduk nggak sih, pusing bunda liatnya," Amira menegur putranya yang terlihat sangat panik menunggu dokter selesai memeriksa Anin.

Amira sudah pusing dibuatnya, sedari rumah menuju rumah sakit Asrar terlihat sangat panik. Sewaktu meminta tolong untuk membawa Anin ke rumah sakit ekspresi yang ditampilkan Asrar adalah ketakutan.

"Bun, tapi Anin—"

Kalimat Asrar terhenti saat Amirah menarik tangan kanannya memaksanya agar duduk diam dengan tangan kiri yang membekap mulutnya.

"Suttt, abang mending duduk, baca doa supaya Anin nggak ada apa-apa. Bukan malah mondar mandir kaya eskalator yang ada Anin sadar bunda pingsang," ucap Amira menaruh telunjuknya di depan mulut seakan mengisyaratkan supaya putranya tetap diam.

"I'm sorry," jawab Asrar lirih menundukkan kepalanya. Tangannya terkepal, hatinya mengucapkan kalimat doa untuk kesehatan Anin.

Amira mengusap rambut Asrar pelan, melihat putranya yang sangat frustasi karena seorang gadis  yang dibawanya sore tadi dengan pakaian basah kuyup.

Amira bersyukur setidaknya putranya peduli terhadap hal lain selain basket. Senyum Amira luntur, meskipun dia bahagia namun rasa takut juga menghampiri.

Keyakinan yang berbeda membuat Amira turut prihatin. Asrar yang baru mengetahui cinta justru harus merelakan cinta pertamanya.

'Tuhan, tolong jaga selalu perasaan putra saya dari sakit hati' Amira membatin pilu.

"Keluarga pasien?"

Asrar bangkit dari duduknya saat mendengar pertanyaan dari dokter yang memeriksa kondisi Anin.

"Saya temannya dok," jawab Asrar cepat.

Dokter itu mengalihkan tatapannya menoleh ke arah Amira. Asrar mengangguk saat menyadari Amira menatapnya meminta persetujuan darinya.

"Saya walinya," ucap Amira tegas sedetik setelah mendapatkan persetujuan dari putranya.

"Baik, ibu boleh ikut saya sebentar?" balas Dokter yang menangani Anin mempersilakan Amira untuk mengikutinya.

"Dokter, boleh saya menemani pasien?" tanya Asrar meminta persetujuan dari dokter dihadapannya.

"Silakan nak, pasien masih terpengaruh obat bius mungkin sebentar lagi akan siuman. Ibu mari," ucap sang dokter mempersilakan Asrar untuk menemani Anin di dalam ruang rawat.

"Bunda mau ke sana dulu, abang temani dia nanti bunda balik lagi."

Asrar menganggukkan kepalanya singkat sebelum bergegas memasuki ruang rawat Anin. Hal pertama yang dilihatnya merupakan seorang gadis yang terpejam karena obat bius. Selang infus menancap ditangan kirinya.

"Sebenarnya trauma apa yang lo alami Adita," gumam Asrar membelai perlahan wajah damai Anin.

"Cantik, gue kaya nggak asing sama muka lo." keningnya bergelombang, mencoba mengingat apakah dia pernah bertemu Anin sebelumnya.

"Gue ngerasa familiar tapi gue nggak tahu pernah ketemu di mana," desis Asrar kesal ketika dia tidak dapat mengingat sesuatu.

Celotehan Asrar terus berlanjut seolah mengajak manusia yang berbaring di atas ranjang
rumah sakit terbangun dan menanggapi setiap ucapannya.

Usaha Asrar tidak sia-sia karena kini tangan yang digenggamnya menunjukkan tanda bahwa pemiliknya sudah tersadar.

Anin yang merasakan tangannya digenggam oleh seseorang menoleh lemah. Terlihat Asrar tengah tersenyum ke arahnya.

Anindita's Secret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang