Ayah?

29 11 1
                                    

Memasuki kawasan perumahan elit, mata Anin tidak henti menatap ke luar memandang rumah yang berjejer megah. Anin menghela nafas dalam ketika taksi yang ditumpanginya berhenti di halaman rumah bernuansa putih bertingkat.

Anin menyeret langkahnya perlahan, belum sempat Anin menutup kembali pintu rumahnya sebuah vas bunga mendarat tepat mengenai belakang kepala Anin.

'Ya tuhan, ini sakit' jerit Anin pilu di dalam batinnya.

Anin membalikan badannya perlahan menghadap seorang pria paruh baya yang sudah rapi dengan pakaian kantornya.

Jenggala B Adiraja

Anin menunduk takut, menggigit bibir bawahnya kuat, jemarinya memilin ujung kemeja yang dikenakannya. Kepalanya terasa berdenyut nyeri namun Anin tidak berani mengeluarkan rintihan sedikitpun di hadapan ayahnya.

"Dua hari tidak pulang, kemana saja kamu?!" tanya Jenggala. Dadanya bergemuruh, nafasnya tidak beraturan menandakan amarah yang ditahan untuk anaknya.

"BISU KAMU?! JAWAB PERTANYAAN SAYA DITA!"

Bentakan dari Jenggala membuat Anin tersentak, memang bukan hal yang baru bagi Anin, namun untuk sekarang kondisi Anin tidak memungkinkan untuk melawan, terlebih nyeri di belakang kepalanya akibat hantaman vas bunga yang dilayangkan Jenggala padanya.

"Saya ada urusan."

Amarah Jenggala semakin tersulut tatkala melihat putri semata wayangnya mengangkat kepalanya. Anin membalas tatapan Jenggala tanpa ekspresi.

Tawa Jenggala mengalir memasuki pendengaran Anin. Keningnya berkerut heran dengan Jenggala yang tiba-tiba tertawa sangat keras.

"Urusan? alasan konyol," ucap Jenggala melangkah  mendekati Anin yang masih setia berdiam diri di tempatnya.

"Anak seperti kamu ada urusan apa sampai tidak pulang dua hari, jual diri, HAH?!" Jenggala membentak diakhir kalimatnya.

Anin memejamkan matanya lantaran terkejut dengan bentakan Jenggala yang tiba-tiba di hadapan mukanya.

"Saya ingatkan sekali lagi, apa dan mengapa saya tidak pulang itu bukan urusan anda! tuan Jenggala," jawab Anin menekan ucapannya pada dua kata terakhir.

Jenggala merasakan perasaan sesak setiap kali Anin memanggilnya dengan embel-embel 'tuan'. Mengesampingkan rasa sesaknya, Jenggala kembali menatap penuh amarah terhadap Anin.

Suara tamparan menggema memenuhi kesunyian rumah mewah yang sedang dipijaknya. Tangan yang seharusnya membelai lembut pipinya justru malah melayangkan tamparan yang sangat keras.

Tubuh Anin terjatuh, menghantam ubin rumahnya. Kepalanya tertoreh ke samping kanan dengan rambut yang menutupi wajahnya. Telinganya berdengung, mengusap pipinya yang terasa kebas. Tamparan Jenggala tidak main-main.

Anin berusaha untuk bangkit, namun belum sempat berdiri sempurna tubuhnya kembali menghantam lantai dengan keras. Kali ini punggungnya yang menjadi sasaran tendangan Jenggala.

"ANAK TIDAK TAHU DIRI, BIKIN MALU KELUARGA SAJA BISANYA," hardik Jenggala tak henti memberikan tendangan bertubi-tubi kepada Anin yang sudah meringkuk di atas lantai melindungi kepalanya yang berlumuran darah.

Bukannya merasa kasihan, Jenggala justru menarik rambut belakang Anin yang terdapat luka akibat lemparan vas bunga, menyeret Anin ke kamar mandi.

"ANAK PEMBANGKANG SEPERTI KAMU PANTAS MENDAPATKAN INI!" teriak Jenggala mengguyur tubuh Anin yang sudah lemas tidak berdaya dan menenggelamkan kepala Anin ke dalam bathtub berisi air panas.

Anin terus memberontak hingga tenaganya habis, baru Jenggala menarik rambut Anin dan menghempaskan kepala Anin ke lantai kamar mandi.

"ANAK SIALAN! MATI SAJA KAMU, MENYUSAHKAN SAYA!" maki Jenggala memukul tubuh Anin yang sudah lemas.

Anindita's Secret!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang