Suasana perpustakaan sangat hening. Berbeda dengan suasana kantin yang ramai oleh suara makhluk sosial yang sedang mengisi perut mereka sebelum melanjutkan kembali kegiatan belajar yang menguras pikiran.
Suara detak jam dinding menjadi pengiring gadis yang sedang membaca sebuah buku, kacamata baca yang bertengger di hidungnya tidak membuat sedikitpun kecantikannya tertutupi.
Perempuan dengan ekspresi datar yang selalu menjadi perwakilan sekolah dalam ajang lomba nasional maupun internasional.
Anindita Nirmala nama yang cantik untuk perempuan cantik. Banyak yang iri terhadap Anin, mereka menganggap Anin sebagai manusia yang paling beruntung.
Beruntung terlahir dari keluarga terpandang yang dihormati dan disegani, beruntung lahir dengan otak cemerlang, beruntung lahir dengan wajah elok rupawan bak dewi Yunani.
Jangan pernah melihat seseorang dari luarnya. Mereka terlalu memuja kehidupan Anin yang ditampilkan di publik, tetapi mereka tidak ada yang mencoba mencari tahu kehidupan Anin yang dirinya tutupi serapat mungkin.
Apa yang terlihat bahagia belum tentu itu yang terjadi!
"Manusia memang serakah," gumamnya memberi komentar terhadap buku yang dibacanya.
"Ck, membosankan."
Menyimpan bukunya pada rak perpustakaan Anin berlalu meninggalkan perpustakaan, entah kemana tujuannya sekarang namun yang pasti ia ingin mendinginkan pikirannya.
"Kalau jalan pake mata! biar ga nabrak orang sembarangan."
Anin menatap lelaki dihadapannya dengan kening berkerut, tidak mengerti kenapa lelaki dihadapannya malah memarahinya.
"Heh! bisu lo," sentaknya membuat Anin tersadar dari pikirannya.
Mengabaikan ucapan lelaki tersebut Anin lantas melihat name tag yang tertera di seragam lelaki tersebut.
'Asrar Candala Buana'
"Rahasia jenaka dunia?"Asrar terkejut ketika gadis dihadapannya mengucapkan arti dari nama yang diberikan orang tuanya.
"Lo cenayang?! anjir tau dari mana arti nama gue?" tanya Asrar kepada Anin yang malah diam menatapnya tanpa ekspresi.
"Sansekerta," jawab Anin lalu melenggang pergi melewati Asrar.
Asrar membalikan badannya melihat Anin yang berjalan menjauh dari perpustakaan. Bergegas menyusul Anin yang sudah berbelok menuju taman, Asrar tidak mengingat jika dirinya sekarang sedang membawa tumpukan buku paket.
"Buset dah cepet banget itu cewek jalannya," ucap Asrar menyisir lokasi taman SMA CAKRAWALA yang terbilang cukup luas.
Mendapati apa yang dicarinya Asrar menyeret langkahnya menuju perempuan dengan pita biru yang duduk ditepi kolam ikan.
"Ngelamun mulu neng."
Merasakan ada sebuah tangan menepuk pundaknya Anin sontak berbalik menatap dengan alis bertaut lelaki yang berdiri dihadapannya.
Mengangkat satu alisnya Anin seolah bertanya 'ada apa'
"Buset cuek amat, gue cuma mau nanya dari mana lo tau arti nama gue," tanya Asrar ikut duduk ditepi kolam ikan menatap Anin intens.
Anin yang merasakan tatapan intens dari lawan bicaranya segera mengalihkan tatapannya.
"Gue nanya ngab, etdah lo cuek amat," protes Asrar mendengus kesal ketika tetap tidak mendapat respon dari gadis di sampingnya.
"Ibu," balas Anin singkat kemudian kembali memberikan makan ikan di kolam.
"Nyokap lo?."
Anin mengangguk singkat merespon pertanyaan Asrar.
"Keren ibu lo, bisa tau bahasa sansekerta. Padahal kata bokap gue bahasa sansekerta itu sulit dan nggak semua orang bisa ngerti itu."
Pujian yang Asrar berikan membuat sebuah senyum tipis terbit dari bibir mungil Anin.
"Ibu memang luar biasa," ungkap Anin dengan pandangan lurus menatap ikan yang sedang berenang di dalam kolam.
Asrar menoleh ketika mendengar suara lembut yang keluar dari mulut gadis di sampingnya.
"Suara lo bagus, lembut. Kenapa jarang ngomong?" puji Asrar diakhir kalimat pertanyaan.
Anin menatap Asrar yang sudah menatapnya sedari tadi, hening sepersekian detik. Anin kembali mengalihkan tatapannya ke arah kolam di hadapannya.
"Tidak ada hal penting sehingga saya harus bersuara," ucap Anin.
"Noted, berarti gue penting soalnya lo mau ngomong sama gue," Asrar menaik turunkan alisnya berniat menggoda Anin.
Memutar bola matanya malas, Anin beranjak berniat pergi ke kelasnya berharap tidak kembali bertemu dengan lelaki tengil bernama Asrar Candala Buana.
Melihat Anin yang hendak pergi Asrar reflek menarik tangan Anin membuat Anin spontan menghentikan langkahnya.
"Main nyelonong aja, kita belum kenalan secara resmi."
Asrar menyodorkan tangannya berniat berkenalan dengan perempuan cantik kebanggaan sekolah.
"Gue Asrar, Asrar Candala Buana," ucapnya tersenyum manis.
Menghela nafas jengah Anin hanya menatap pada tangan yang terulur di depannya tanpa berniat menyambut uluran nya.
"Anindita."
Anin melangkahkan kakinya berjalan cepat meninggalkan Asrar yang tersenyum manis saat mengetahui namanya.
"ANINDITA! KALAU NANTI KITA KETEMU LAGI ARTINYA JODOH."
Asrar tersenyum ketika melihat Anin yang bergidik geli dan semakin mempercepat langkahnya.
Terkekeh kecil Asrar membawa kembali buku paket yang tadi lupa dia kembalikan ke perpustakaan demi mengejar perempuan dengan pita biru ciri khasnya.
Anin bergidik ngeri ketika mendengar kata terakhir yang di teriakan Asrar kepadanya. Mengetukkan jarinya dari kepala ke meja beberapa kali berharap dia tidak dipertemukan lagi dengan Asrar.
"Semoga jauh," gumamnya lirih.
"Aneh, saya tidak suka kamu dan jangan pernah muncul dikehidupan saya Asrar," monolog Anin, wajahnya menampilkan ekspresi yang sulit dipahami.
"Cukup saling mengenal sebatas nama, jangan lebih. Saya mohon tuhan untuk kali ini kabulkan keinginan saya," mohonnya lirih, tubuhnya merosot ke bawah.
Lelah, Anin lelah jika harus kembali memahami karakter seseorang. Anin tidak suka dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Anin takut jika nanti ayahnya tahu akan kehadiran Asrar disekelilingnya. Kerasnya didikan sang ayah menjadikan Anin sebagai manusia anti sosial.
Kehidupan Anin telah diatur sedemikian rupa oleh ayahnya, bahkan untuk masa depannya saja Anin tidak berhak memberikan suaranya meskipun hanya satu kata.
Hidup bagai dipenjara, Anin tidak di izinkan untuk keluar rumah tanpa pengawas selain waktu sekolah, itu sebabnya Anin sangat menyukai kegiatan di sekolah.
Bebas mengekspresikan dirinya tanpa ada yang melaporkan kegiatannya kepada sang ayah. Namun bukan berarti dirinya bebas, justru dirinya seperti ikan yang berada di dalam kolam.
Terlihat bebas namun terbatas, terlihat bahagia dengan keindahan kolam namun tersiksa karena ruang. Sama halnya dengan Anin, selalu dikurung dalam keinginan ayahnya tanpa diberikan pilihan.
"Nama saya Anindita namun kenapa hidup saya tidak seperti itu tuhan?" suara parau Anin terdengar lirih mengisi sunyi nya koridor belakang yang menghubungkan dengan lantai menuju kelasnya.
"Ibu, Dita rindu. Kenapa ibu nggak bawa Dita bersama ibu? apa benar hadirnya Dita hanya kesialan?"
Pertanyaan yang selalu terucap dari bibir mungil Anin hampir disetiap waktu tanpa ada jawaban yang diterimanya.
Hadirnya Asrar akankah hanya sesaat atau justru akan menjadi rumah untuk Anin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Anindita's Secret!
RandomJANGAN LUPA VOTE, COMMENT AND SHARE GUYS Bagi sebagian anak perempuan ayah adalah cinta pertama namun tidak untuk seorang perempuan bernama Anindita Nirmala. Ayah yang seharusnya menjadi pelindung untuk anak perempuannya justru berbanding terbalik...