bab 5

68 6 1
                                    

"Raka... ku mohon bertahanlah" ujar Bawika yang sangat iba terhadap Yudakara

"Yudakara sangat bodoh, saat dulu ia mengincar sabit kembar milik Kian Santang dan membencinya. Yudakara menyerang berdebah itu sehingga ia sekarat, syukurlah aku bisa bangkitkan roh ke jiwanya sehingga masih hidup tapi... sekarang malah dia berurusan lagi dengan Rara Santang! Akhh rakamu sangat bodoh"

"Apa nenek bisa menceritakan? Kurasa.. tentang kematian raka aku tak pernah mendengarnya dan asal usul sabit kembar itu?"

Nyai Rompang menceritakan 3 tahun lalu, dimana Yudakara masih dalam masa pembelajaran dengan ayahnya Argadana

Flashback 3 tahun silam

Yudakara sedang bersama senopati Padjajaran, disana senopati mengajari sang anak untuk bela diri. Sudah lama sekali ia melakukan hal tersebut guna merebut tahta Padjajaran

"Putraku... musuh bebuyatanmu merupakan pendekar sangat kuat. Jikalau kau ingin menghabisinya maka ambillah pusaka Sabit Kembar yang berada di tangan Kian Santang dan habisi dia!"

Dengan tatapan dendamnya dan kepalan tangannya di gengam sangat kuat "Kian Santang, ku pastikan dia akan mati di tanganku! Pilar Padjajaran paling terkuat, satu mati akan lebih mudah untuk mematikan lainnya"

Yudakara Terkekeh membayangkan Kian Santang mati di tangannya lalu Argadana membawanya ke hadapan musuhnya lebih tepatnya mereka sudah memakai penutup jati diri.

"Siapa kalian?" Tanya Kian Santang masih berusia 13 tahun

"Jangan harap kau mengetahui kami, Raden..." Yudakara lekas mempersiapkan kuda-kuda dan Kian Santang juga sama sedangkan Argadana membantu putranya

Saat Kian Santang lengah, Argadana menotoknya kemudian mencabut paksa pusaka yang ia miliki. Keluarlah sabit kembar

Pedang Zulfikar lagi di pegang Rara Santang waktu itu, kamu baca kan cerita 'Perjuangan Raden Kian Santang' pas berperang itu

Dengan cepat, Yudakara mengambil sabit kembarnya kemudian dia tertawa kecil saat kedua sabitnya berada di tangannya

"Cepat kau bunuhlah Kian Santang!"

"Sandika ayahanda" Yudakara menembaskan pedangnya kearah musuhnya, respon musuhnya terlihat kesakitan terutama pada bagian jantungnya

"Akhhh" rintihnya di ikuti oleh air mata yang membuatnya terasa sakit

Namun, kebahagian itu musnah ketika Prabu Sliwangi membantunya. Keduanya lekas menyerang Sliwangi, prabu membelah dirinya untuk menyelamatkan putranya dan melawan kedua orang memakai cadar

"Putraku, bertahanlah nak... ayahanda mohon, kau pasti bisa menghadapi rasa sakit ini"

"Ayahanda, tinggalkan aku disini. Raga ayahanda pasti tidak akan kuat, aku takut raga ayahanda ini juga menerima pukulan keras dari raga ayahanda lainnya. Ku mohon ayahanda... ayahanda fokus saja pada kedua orang itu sebelum menyalamatkanku, aku akan baik-baik saja" Kian Santang mengeluarkan kerisnya kemudian memberikannya pada ayahandanya

"Cepat ayahanda lawan mereka, keris ini akan membuat salah satu sekarat!" Di gelengkan oleh Sliwangi "Tapi kondisimu bagaimana putraku? Ayahanda takut..."

"Aku..akan..baik-baik..saja" ucapnya penuh penekanan, mau tidak mau sang ayah menuruti kemauan putranya.

Pertarungan antara Prabu Sliwangi dan kedua orang sangat sengit, Yudakara terkena keris milik Kian Santang. Argadana membawa putranya pergi jauh sedangkan prabu langsung menyelamatkan Kian Santang

Flashback off

"Tapi apa Kian Santang sangat terluka saat pertarungan itu?" Nyai Rompang berbalas "Akupun tidak tau"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Prahara PadjajaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang