|Bagian 6|2 Jiwa 1 Raga|

42 7 1
                                    

☃️ Happy Reading☃️

"Kira-kira Mario dimana ya?" Tanya Saut disela-sela perjalanannya dengan Neral dan Metha.

"Feeling gue dia udah ketangkap sih" terka Metha menggoyangkan jari telunjuknya di udara

"Dah lah Met. Feeling lo gak pernah benar" balas Saut tanpa rasa bersalah

"Hehe tau dari mana Ut?" Metha malah cengengesan

"Tapi, kalau Mario gak ditangkap, pasti keadaannya saat ini gak baik-baik aja. Soalnya kan dia kena panah" Ujar Neral

"Benar banget. Kasihan ya Mario. Atau jangan-jangan dia udah gak ada?" Metha membablakan matanya dan menghentikan langkahnya. Seperti reflex, kedua pria di dekatnya pun ikut berhenti

"Met? Dah lah. Karang aja semua udah" Kesal Saut lanjut berjalan

"Kan gue bilang mungkin aja" gumam Metha dan lanjut berjalan

"Iya juga sih. Mungkin juga memang" ucap Neral dalam hati. Dengan cepat ia menggeleng, bodoh berfikir aneh. Lalu ia menyelaraskan langkahnya dengan kedua makhluk yang berjalan lebih dulu.

"By the way, kalian ada mikir kalau Mario jumpa teman-teman kita yang lain gak sih?" Tanya Neral menebak-nebak

"Eh iya juga yah. Siapa tau ya kan?" Timpal Metha menyetujui

"Iya Met iya. Semua terserah lo. Matilah, ketangkap lah, jumpa lah, itulah, inilah" Ketus Saut

"Apa sih. Namanya juga perkiraan. Gak ada yang pasti" balas Metha seraya memutar bola matanya kesal.

"Awas saling suka loh nanti Hahaha-- ha" Seketika Neral memelankan nada bicaranya seraya menggaruk kepalanya yang tak gatal kala kedua temannya menatapnya sinis seperti ingin memakan mangsa.

...

Perlahan jemarinya bergerak, dan ia mengedipkan matanya pelan saat sinar matahari yang menembus dari sela-sela daun pepohonan mengenai matanya. Selanjutnya, ia mengerjap, berusaha untuk bangkit dari baringnya namun badan dan kepalanya begitu terasa sakit. Sebisa mungkin ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Hingga netra cokelatnya melihat sosok yang terbaring dan belum sadar. Ada dua kemungkinan, entah orang itu masih ada atau sebaliknya. Hingga pada akhirnya dia mengingat bahwa mereka terjatuh ke dalam jurang. Perlahan ia berusaha untuk berdiri meski semua badan terasa sakit. Ia perlahan melangkahkan kakinya ke pada orang yang terbaring itu.

"Mar? L-lo m-masih ada kan?" Kia menepuk pelan lengan pria itu.

Kia melihat lengan pria itu yang tertusuk anak panah itu. Terlihat jelas bahwa luka itu mengalami pendarahan. Hingga darah menembus perban yang menutupi luka itu.

Kia perlahan menarik tangan pria itu lalu ia merogoh tasnya mengambil kotak P3K untuk membersihkan dan membalut luka itu kembali. Hingga semuanya sudah selesai.

"Woi Mario. Bangun woi" Kia mengguncang badan pria itu yang sedari tadi belum sadar.

Perlahan pria itu mulai mendapat kesadarannya. Ia mengerjap kan matanya, menatap sekeliling lalu perlahan mendudukkan badannya.

"Sejauh apa kita jatuh?" Tanyanya seperti orang yang belum sadar penuh

"Sejauh Sabang ke Merauke" balas Kia seraya merapikan obat-obatan yang dipakainya tadi

"Eh lo gak papa?" Tanya Mario

"Gue baik-baik aja. Sakit badan karena benturan pohon aja kayaknya" jawab Kia

"Trus itu kening lo? Ada darah" ucap Mario menunjuk ke arah luka

"Eh emang iya ya?" Kia merogoh tasnya mengambil hp nya untuk berkaca. "Oh goresan doang. Pakai handsaplast juga udah ini" ujarnya kembali membuka kotak P3K itu. Kia membersihkan dengan tisu basah lalu menempelkan handsaplast itu tepat di luka goresnya.

"Eh ini perban bekas lo simpan" Kia melempar perban tadi pada pria itu. "Eh tapi. Lo punya bubuk kopi gak?" Tanya Kia

"Ada sih tapi sachet. Bisa?" Balas Mario

"Ya itupun jadilah. Bagi satu sachet aja. Sama kantong plastik kalau ada" suruh Kia lalu Mario merogoh tasnya untuk mengambil yang diminta gadis tersebut.

Setelahnya, Kia menaburkan bubuk itu ke bekas perban Mario. Lalau memasukkan kedalam kantong plastik.

"Kenapa harus gitu Ki?" Tanya Mario mengernyitkan keningnya penasaran

"Gue pernah nonton dan baca buku horor, katanya bau darah mengundang hal-hal yang tidak diinginkan. Kita gak tau itu benar atau tidak. Setidaknya kita pun mencoba yakan. Siapa tau yakan? Bahaya entar" ucap Kia menjelaskan lalu memberikan kantong plastik tadi pada Mario.

"Sekarang kita mau gimana? Kita udah turun banget ini pasti" Ujar Mario menenteng tasnya

"Gue juga gak tau" lirih Kia pasrah

"Yok lah. Coba jalan aja kesana" unjuk Mario ke salah satu arah lalu Kia mengikut saja

...

"Rin gue gak mau. Kita disini aja. Nanti teman-teman kita pasti ada yang lewat kok" Rilen terus membujuk Rinal untuk tidak pergi dan berdiam diri saja di tempat persembunyian mereka

"Ayolah Ril. Sampai kapan kita mau sembunyi" ucap Rinal. Rinal memegang kedua pundak gadis itu "Percaya sama gue Ril. Semuanya akan baik-baik aja. Tidak akan terjadi apa-apa. Okey" Rinal mencoba meyakinkan gadis itu. Dan Rilen hanya bisa menerima ujaran pria itu.

Lalu keduanya pun memilih untuk pergi dari tempat persembunyian mereka dan beranjak mencari teman-teman mereka.

...

"Tan? Lo gapapa kan?" Tanya Cia mendekati gadis itu

"Hihihihihi" yang ditanya malah menyengir mengerikan

"Bangsat. Intan lo jangan nakut-nakutin dong" Tio memukul pundak gadis disampingnya dengan raut panik.

"Hihihi arghhh tO-tolongg" Kadang gadis itu terkikik, mengerang, hingga meminta tolong dengan suara yang berbeda. Seperti dua jiwa dalam satu raga

"Lo kemasukan beneran atau lagi bercanda?" Tanya Cia lagi sok berani

"ARGHH"

"BANGSAT" umpat mereka bertiga seraya memegangi dada berharap jantung mereka tak berhenti berdegup dikala Intan tiba-tiba mengerang

"AKU BENCI. AKU BENCI MANUSIA-MANUSIA YANG MEREBUT KEBAHAGIAAN ORANG LAIN. AKU BENCI ORANG PENGKHIANAT. AKU BENCI. AKU BENCI WANITA ITU. AKU INGIN MEMBUNUHNYA" Ujar Intan namun suaranya bukanlah miliknya.

"Nes. Awas" tiba-tiba Vandi menarik gadis itu yang ingin diserang oleh Intan.

"Tan? Sadar. Ini kita. Teman lo" ucap Tio ingin menyentuh gadis itu namun rasanya nano nano.

"HIHIHI KALIAN JAHAT. KALIAN JAHAT!!!! AKU BENCI KALIAN. BUKAN AKU YANG SALAH. BUKAN AKU. TOLONG JANGAN BUNUH AKU" Tiba-tiba jiwa dalam Intan malah menangis

"Tan. Sadar pl-" ucapan Tio terpotong saat gadis itu tiba-tiba mengerang

"ARGHH jangan sentuh aku. Aku tidak bersalah. Aku hanya ingin mencoba menolong. Aku tidak salah. Tolong bunuh dia" Jiwa dalam raga Intan terus memberontak seraya menjambak rambutnya sendiri. Seperti orang tengah depresi berat.

Bughh

Vandi memukul punggung gadis itu hingga hilang kesadaran.

"Van lo apa-apaan?" Cia memukul lengan pria itu sembari menganga melihat Intan yang terkulai lemas di tanah.

"Daripada kayak tadi? Seram tau" balas Vandi

Aaaaaaaa

The Struggle Of 23 Trapped Students Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang