Bunyi sobekan kertas kalender yang tertempel di dinding menjadi pemecah sunyi pagi hari ini. Oh, tidak lupa dengan bunyi nyaring dari teko yang di dalamnya memasak air panas untuk melarutkan kopi pahit ayah.
"Kakakmu belum bangun, Injun?" Tanya sang ayah begitu melihat si bungsu melewati dapur.
Renjun dengan mata masih setengah menutup hanya membalas seadanya sambil sesekali menguap. "Belum. Dia susah sekali bangun, aku menyerah." Jawabnya sampai hilang masuk ke kamar mandi.
Ayah hanya bisa menghela napas mendengar aduan si bungsu terkait kakaknya yang susah dibangunkan. Sudah ia prediksi bahwa akan ada perang kecil pagi hari ini.
Lihat saja.
Kemudian karena sudah terlalu nyaring, Ayah segera mematikan kompor dan menuang teko ke dalam gelas kopinya. Sebelum membawa kopinya ke ruang tengah, Ayah memasukkan gulungan kertas bulan September yang baru saja selesai tahun ini ke dalam tong sampah.
Hari ini hari libur, Ayah belum terpikirkan ingin membuat sarapan apa. Sekarang juga sudah memasuki awal bulan jadi ia akan menawarkan sarapan dan makanan enak kepada anak-anaknya.
Pintu kamar mandi terbuka. Renjun sudah lebih segar dan lebih sadar. Dalam artian, dia sudah tidak terbawa ngantuk lagi. Renjun mulai duduk di sofa berseberangan dengan Ayahnya sambil sesekali merenggangkan badan.
"Ouh ... iyaa, seperti itu, aakk! Iyaa, wahh enak sekali!" Tidak hanya tulang-tulang dari badan Renjun yang berbunyi, tapi mulutnya juga terus berucap.
"Selamat pagi!" Sapa Ayah sambil tersenyum dengan mata fokus ke koran pagi.
"Ayah nanti kalau kakak marah-marah bilang padanya aku sudah membangunkan dia belasan kali bahkan beribu-ribu kali. Aishh, awas saja!" Yang tadinya wajah Renjun segar, tiba tiba saja dahinya mengkerut dan menggerutu dengan bibir dimanyunkan.
"Memangnya kakakmu semalam pulang jam berapa? Ayah sudah lelah sekali jadi tidak tahu kapan dia pulang."
"Sebelas? Atau tengah malam, ya?" Kata Renjun sambil menerawang. "Aku lupa, sekitar jam segitu, karena setelah dia pulang aku langsung ke kamar dan tidur." Tambahnya.
Ayah sesekali menyeruput kopi itu dan beralih menatap anak bungsunya. "Kakakmu itu sangat sibuk sekali. Organisasi, paruh waktu, terkadang volunteer, lalu les akademi. Dia sungguh bekerja keras."
Renjun hanya diam, tidak menjawab dan hanya bersandar pada sofa dengan tatapan berfokus pada satu titik yaitu alat lukisnya di meja yang belum sempat ia simpan.
Seperti tersadar sesuatu, tak lama ayah berdeham mengalihkan tatapannya pada Renjun. "Kau juga sudah bekerja keras. Ayah berkata begitu karena ayah tidak mau anak-anak ayah terlalu keras pada dirinya. Kalian harus menikmati hidup, jangan sampai banyak hal membuat kalian tidak nyaman."
Ini masih pagi, ucap Renjun dalam hati. Ia tidak mau suasana pagi hari yang cerah ini harus terselimuti dengan hal-hal sendu seperti ini. Makanya dengan cepat, tiba-tiba saja Renjun menegakkan tubuh dan condong sedikit ke arah kopi Ayah. "Ayah, aku mau coba ini." Katanya sambil mencoba mengambil gelas itu.
"Tumben sekali. Coba saja. Hati-hati panas." kata Ayah seraya menggeser gelas kopinya.
Ayah sudah memperingati, tapi tetap saja diseruputan pertama Renjun langsung menyembur kopi.
Tidak.
Ini bukan karena panas atau pahit. Ini semua karena suara gaduh yang berasal dari kamar.
Kak Doyoung!
Benar-benar!
"Ayah! Aku telat! aku harus buru-buru!" Seru Doyoung sambil berlari ke arah kamar mandi. Wajahnya benar-benar panik. Ketika Ayah bingung mau kemana si sulung ini sampai panik seperti itu, si bungsu dengan sabar, menahan kesal sampai-sampai rasanya gelas di tangan bergetar.
![](https://img.wattpad.com/cover/262958601-288-k967613.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Alone. | KDY
Fanfiction[𝑲𝒊𝒎 𝑫𝒐𝒚𝒐𝒖𝒏𝒈] "ada aku. Kau tidak sendiri." "maka dari itu, pulanglah.. ke rumah." "kembali.. padaku." ©jaeyary/@ennonim 2021