Kedekatan kami sepertinya mengganggu orang lain.
Beberapa hari setelah malam itu, kami lebih sering bertemu. Entah berpapasan di lorong sekolah, satu meja makan di kantin, terkadang pergi ke perpustakaan setelah makan siang atau pergi ke atap sekolah membicarakan hal random sambil memakan jajanan, pulang bersama, bahkan dia pernah memintaku untuk menunggunya rapat osis dadakan karena kita sudah janji mau ke timezone pulang sekolah. Walaupun saat itu rapatnya sangat lamaaaaaaa sekali, tapi akhirnya dia membayar semua waktu menungguku dengan mentraktir permainan sampai makan malam.
Saat istirahat tiba, dia rela menunggu di depan kelas karena Pak Choi telat membubarkan kelas. Setelah keluar kelas dan menemuinya, dia langsung bilang, "lama sekali. Anak kelasmu tidak ada yang berani bilang kalau sudah waktunya istirahat? Pak Choi sungguh kebiasaan."
Aku mendengus geli, "ketua kelasku tegas, tapi kalau sudah berhubungan dengan Pak Choi entah kenapa dia jadi seperti bukan ketua kelas. Anak kelas juga sudah ada yang menyindir, tapi Pak Choi tetap saja tidak peka. Lagipula hampir seluruh temanku tidak ada yang berani begitupun aku. Kau tahu sendiri bagaimana si Pak Choi itu, kan?" Jelasku panjang menjelaskan situasi dan kondisi di kelasku tadi.
"Dia memang killer, tapi kalau di kelasku tak peduli mau segalak apapun itu karena kalau sudah waktunya istirahat ya istirahat daripada menahan lapar."
"Iya, iya kelas anak pintar memang beda."
"Ck, jangan seperti itu. Ayo, makan." Dia langsung menarik tanganku, menggenggamnya, menuntunku pergi ke kantin. Saat itu, rasanya ada sebuah perasaan ganjal yang menghampiriku lagi.
Ada dua perasaan aneh yang bertolak belakang. Pertama, perasaan aneh mendebarkan yang muncul kalau dia mulai berlaku hal-hal semacam ini padaku. Kedua, perasaan aneh penuh khawatir oleh tatapan beberapa murid yang seakan merasa terganggu kala melihatku. Dengannya.
Sering kali kudapati tatapan sinis mereka mengarah padaku. Padahal sebelumnya aku tidak pernah merasa begini. Aku berpikir apa yang salah dari diriku? Lambat laun akhirnya aku menyadari kalau sepertinya kedekatanku dengan dia lah yang menjadi alasannya.
Tak jarang aku melepaskan tanganku dari genggamannya. Tapi tidak langsung begitu saja. Aku selipkan alibi lain misal mau membenarkan ikatan rambut, tali sepatu, membenarkan jam tangan, atau hal lain asal bisa menghindar secara halus.
Makin hari aku merasa kalau makin banyak orang yang menyadari kedekatan kami. Aku makin merasa selalu diperhatikan dan tak heran selain tatapan sinis juga aku mendengar samar-samar omongan mereka yang sekiranya menusuk hati. Hingga akhirnya aku mencoba untuk mundur, menjauh pelan-pelan darinya. Mengurangi peluang-peluang kesempatan pertemuan kami.
Aku lebih menyibukkan diri pada belajar, ekstrakurikuler, jam malam, kelas akademi atau lesku. Demi bisa menghindar darinya.
Tapi, rasanya itu tidak berjalan maksimal karena aku malah diminta datang ke atap sekolah pulang ini. Ada yang ingin ia bicarakan padaku katanya.
"Joahae ... " dia menatapku kikuk, agak ragu juga dia berucap. "Narang Sagwija.*" (I like you. Date me/Ayo berkencan.)
"Ya?"
Diluar dugaan. Aku terpaku. Aku pikir ia akan bertanya mengenai sikapku belakangan ini, tapi ternyata ia malah mengajukan pengakuan.
Aku mengerjap. Menatap matanya yang penuh dengan keyakinan. Aku masih diam, tidak berani berucap apapun. Aku menunduk... bingung. Bukannya aku tidak mau, tapi.. ah, bagaimana ini?
"Um.. Doyoung, maaf aku--"
"Kau tidak perlu menjawab sekarang."
Aku mendongak, kulihat bahunya menurun setelah aku berucap. Tatapannya melemah, ia membasahi bibirnya sekilas sebelum melanjutkan. "Maksudku, kalau kau tidak bisa membalas perasaanku, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan. Setidaknya sudah lega." Ia tersenyum diakhir kalimatnya. Tapi aku bisa merasa senyum getir yang ia tunjukkan. Aku jadi merasa tidak enak.
"Kim Doyoung, maafkan aku." Aku menatapnya penuh penyesalan.
"Hey, tidak apa-apa. Sungguh. Kau tidak salah. Kau sudah jujur dengan perasaanmu."
Tapi itu yang jadi masalahnya. Aku seperti merasa tidak jujur pada perasaanku sendiri.
Aku mengangguk. Mencoba tersenyum seperti dirinya. "Kita masih berteman, bukan?" Tanyaku.
"Oh.. tentu saja! Walaupun aku berharap lebih." Gumamnya di akhir kalimat.
"Apa?" Aku refleks bertanya, padahal aku mendengar kalimat akhirnya.
"Bukan apa-apa. Hanya, for your information, Aku bukan tipikal orang yang setelah ditolak atau setelah putus jadi tidak berteman. Tenang saja."
"Ooo.. kau pernah berkencan sebelumnya?"
Dia bersandar pada pembatas rooftop, memasukkan tangan ke kantong jaket, kemudian mendesis kecewa menatap langit. "Hampir, sayangnya ditolak." Diakhiri dengan kekehan.
"Ah.. sayang sekali." Aku mengangguk pelan, entah dia sedang menyindirku atau bukan, tapi aku merasa, iya. Dia sedang menyindirku. Aku tersenyum kecil. "Kurasa dia bukan menolakmu. Tapi dia ingin memastikan perasaannya. Memastikan segalanya akan baik-baik saja kalau akhirnya menerima." Lanjutku, kemudian melihat dirinya sudah balik menatapku lurus dan mendengus tawa kecil setelahnya. []
.
*seperti kata-kata confess atau pengakuan. Atau kalo bahasa kita nembak orang buat jadian. Asiik dah ... ngegas banget, Doyoung:)
aku kalo liat foto itu kayak pas banget ekspresinya doy, haha ... foto dari bawah pas confess ke foto atas pas gak diterima:(
cr.on pictYep! Aku bawa chap baru~
Kalian pernah gak ditembak gebetan? Atau kalian yang nembak? Langsung terima atau pernah nolak??vomment, juseyo~~♡

KAMU SEDANG MEMBACA
Not Alone. | KDY
Fiksi Penggemar[𝑲𝒊𝒎 𝑫𝒐𝒚𝒐𝒖𝒏𝒈] "ada aku. Kau tidak sendiri." "maka dari itu, pulanglah.. ke rumah." "kembali.. padaku." ©jaeyary/@ennonim 2021