Ruang Guru

4.7K 22 2
                                    

“Krrriiiiiinggg…”

Bel istirahat kedua berbunyi, menandakan waktu ujian harian matematika di kelasku sudah berakhir. Setelah menyerah-kan hasil ujianku di meja guru, dengan bergegas aku berjalan keluar kelas. Setengah jam terakhir ujian tadi sudah kulewati sambil menahan pipis, membuatku tak sabar ingin ke toilet.

“Laras, sebentar dulu” panggil guru matematikaku, Bu Linda. Langkahku terhenti saat itu juga.

“Iya, Bu? Ada apa, ya?” kataku sambil menengok ke belakang, lalu menghampirinya di meja guru.

“Nanti seperti biasa, ya. Bantu Ibu mencatat nilai-nilai ujian di ruang guru.”

“Baik, Bu. Laras paling nyusul, ya. Mau ke toilet dulu bentar.”

Setelah Bu Linda keluar kelas, aku diajak ngobrol dengan beberapa temanku mengenai soal-soal ujian tadi. Namun, hanya bisa sebentar saja karena sudah diberi tugas oleh Bu Linda. Selain itu, aku juga harus buru-buru ke toilet. Dengan langkah cepat, aku keluar kelas dan menyusuri lorong sekolah untuk melepaskan pipisku yang tertahan dari tadi ini.

“Yah… Udah ngantri aja…” kataku kecewa melihat toilet siswi yang baru kumasuki sudah penuh. Ada empat bilik di sini dan setiap bilik sudah ada setidaknya tiga orang mengantri.

“Nanti aja, deh. Sebelum masuk kelas lagi kayaknya sepi. Mending bantu Bu Linda dulu” pikirku meninggalkan toilet karena tidak mau membuat Bu Linda lama menunggu.

Toilet yang baru kumasuki berada satu lantai dengan kelasku, yaitu lantai tiga, sedangkan ruang guru berada di lantai dasar. Jadinya aku harus berjalan agak jauh dan dua kali menuruni tangga. Sempat aku berpikir untuk pipis di toilet lantai dua, tapi kayaknya percuma saja, toh pasti mengantri juga.

Begitu tiba di ruang guru, aku disapa oleh beberapa guru yang kukenal. Ada guru olahragaku, Pak Irfan, dan guru seni budayaku, Bu Marin. Setelah melewati beberapa meja guru, aku pun duduk di kursi yang sudah disediakan oleh Bu Linda. Posisi dudukku berhadapan dengan beliau di mejanya yang penuh dengan tumpukan kertas ujian dan buku.

“Nih, Laras… Tolong dibantu, ya…”

Setumpuk kertas yang agak tebal diserahkan kepadaku, lalu sebatang coklat mahal yang agak besar ditaruh di depanku. Inilah salah satu alasan mengapa aku mau membantu Bu Linda meski harus mengorbankan waktu istirahatku: selalu mendapatkan cemilan atau makanan yang enak-enak.

“Siap, Bu. Makasih, ya” kataku cengegesan sedikit membalas senyumnya.

Tugasku terbilang mudah, mencatat satu per satu nilai ujian yang telah dinilai oleh Bu Linda ke dalam sebuah buku yang telah disediakan. Kini yang harus kucatat adalah nilai ujian dari empat kelas tingkatanku. Sebenarnya ada satu lagi kelas yang akan kucatatkan, yaitu kelasku sendiri yang kini sedang diperiksa dan dinilai oleh Bu Linda. Bisa dibilang, tentu aku menyukai tugas ini karena bisa mendapat info paling update mengenai nilai teman-teman sekelasku.

Belasan menit tak kusadari telah berlalu. Dari tadi kerjaku memeriksa nilai ujian, mencatat nilainya di buku, dan merapikan tumpukan kertas ujian. Semuanya kulakukan dengan telapak kakiku yang pelan-pelan tapi tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai di bawah meja Bu Linda. Mengapa? Karena dari tadi aku menahan kebelet yang rasanya makin memuncak karena tidak jadi pipis sebelum ke sini. Bu Linda tentu tahunya aku sudah ke toilet, makanya aku menahan diri untuk meminta izin ke toilet, apalagi aku harus berjalan agak jauh. Sebenarnya tepat di sebelah ruang guru ada toilet, tapi tentu saja toilet itu dikhususkan untuk para guru, makanya aku enggan masuk ke situ.

AC di ruang guru saat ini memperparah rasa kebeletku. Beberapa kali terpaksa kuteguk teh manis dari Bu Linda yang tidak enak untuk kutolak. Di antara gerakan jemariku mencatatkan nilai, fokusku sempat terpecah karena dorongan ingin pipis yang menusuk selangkanganku berkali-kali. Setiap begitu, refleks kedua betisku saling tertahan dan bergesekan kuat-kuat demi menahan pipis. Dengan tangan kananku yang menuliskan nilai dan tangan kiriku yang memegangi kertas ujian, aku menahan rasa gemasku untuk menekan tangan ke selangkangan meski makin lama rasanya makin kebelet pipis.

“Eh…! Laras…! Lagi-lagi main ke sini, ya…” sapa seorang pria dewasa sambil menepuk pundak kananku.

“Huwaa…!”

Entah terlalu fokus karena mencatat nilai ujian atau karena menahan pipis, aku sangat kaget hingga badanku berguncang sambil menengok ke belakang.

“Heh…! Eh…?”

“Psshhh…”

Kurasakan sensasi cairan hangat yang membasahi ujung bawah celana dalam katun jingga yang kukenakan di balik rok biruku. Rasanya begitu spontan, tapi kedua pahaku refleks mengapit selangkanganku sekuat tenaga. Kedua tanganku meremas kedua lututku secara tak sadar. Karena terkaget tadi, aku sedikit kelepasan hingga pipisku keluar sedikit.

“Eh… Bapak, ternyata…” senyumku terkekeh membalas orang di belakangku.

Beliau sempat heran karena melihatku kikuk. Orang itu ternyata guru IPS-ku yang terkenal humoris di kelas, Pak Yudha. Seperti air mengalir, beliau membawa larut diriku dan Bu Linda dalam obrolannya. Sementara itu, aku baru saja menghela nafasku dengan berat karena beruntung sanggup menahan pipisku kembali yang kelepasan sedikit tadi.

Meski sedikit, hangatnya pipisku terasa jelas menggenangi sisi dalam rokku. Hatiku berdebar panik karena hampir saja kelepasan mengompol di depan mereka berdua. Namun, aku masih merasa khawatir. Di antara senyuman dan candaan antara diriku dan kedua guruku saat ini, diam-diam kuselipkan jari telunjukku di bawah pantatku.

“Haduh… Tembus lagi…” gundahku dalam hati.

Rasa cemas memuncak setelah telunjukku menyentuh jejak basah di sisi pantat rokku dan dudukan empuk dari kursi yang kududuki. Tidak perlu menipu diriku sendiri kalau aku sudah mengompol sedikit tadi.

“Laras, ini yang terakhir, ya. Kelasmu” kata Bu Linda sambil menyerahkan tumpukan kertas ujian.

“E-eh…?! I-iya, Bu…”

Dengan seksama kucatatkan nilai-nilai ujian kembali sambil merapatkan kedua pahaku, kadang saling kugesekkan demi menahan pipis. Padahal, ini bagian yang kusukai, tapi aku makin tidak tenang karena rasa kebeletku semakin memuncak. Ketika kulihat nilai temanku yang bagus, aku ikut kagum. Ketika melihat nilai yang jelek, aku hanya mengejek di hati, “Ya, orangnya juga malas begitu…"

Pantatku sedikit terangkat dari kursi karena posisi dudukku sering berganti. Kedua betisku mulai tak bisa kutahan untuk menari-nari. Nafasku juga mulai tak teratur. Pokoknya, kini pipisku sudah di ujung hingga aku mulai lepas kendali dari reaksi tubuhku yang sekuat tenaga menahan kebelet pipis. Akibatnya, Bu Linda pun mulai menyadari gelagat anehku.

“Kamu kenapa, Laras? Kok kayak gak enak badan gitu.”

“Eh..? Enggak kok, Bu… Hehe… Cuma pegel dikit aja.”

Lima menit lagi waktu istirahat akan habis dan kertas ujian yang kuperiksa hanya beberapa lembar lagi. Begitu selesai, aku masih sempat berlari ke toilet. Ingin sekali secepat mungkin keluar dari ruang guru ini, apalagi basahnya celana dalam katun jingga yang kukenakan sudah membuatku tidak nyaman.

Tanpa kuduga, kertas ujian milikku kini sudah di genggamanku untuk diperiksa. Nilainya nyaris sempurna: 97.

“Wah, emang Laras ini pintarnya minta ampun, ya” puji Pak Yudha.

“Udah biasa itu, Pak” kata Bu Linda.
Pujian keduanya membuatku sedikit lega di tengah kesulitanku menahan kebelet. Tak butuh waktu lama hingga beberapa guru di ruang ini mendengar juga hasil ujianku tersebut.

“Wuih, selamat ya, Laras...” puji seorang guru yang lewat di belakangku.

“Gak usah kaget, ah. Ujian IPA kemaren juga bagus dia” kata guru IPA-ku di baris meja yang lain.

“Pokoknya apotek tutup buat Laras, mah” canda Pak Irfan dari kejauhan.

Aku tidak bisa menutupi diri kalau saat ini diriku begitu sumringah dan sedikit tersipu malu. Namun, di tengah diriku yang berjuang menahan kebelet pipis, rasanya semua kebahagiaan ini tidak mengurangi rasa gundahku.

Jemariku gemetaran menuliskan nilai ujianku sendiri. Konsentrasiku sudah buyar karena pipisku sudah di ujung tanduk. Pikiranku begitu kacau hingga begitu suatu dorongan pipis yang menusuk kandung kemihku, aku terkaget dan refleks berteriak pelan karena panik. Kendaliku lepas hingga kedua tangan kiriku kutekan kuat-kuat ke selangkangan.

“Laras, kamu kok gelisah gitu? Jangan-jangan…” Bu Linda mulai menyadari apa yang kulakukan dari tadi, “Kamu kelihatan kayak pengen pipis, loh…”

Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Makin kutekan kuat kedua tanganku di selangkangan, sedangkan kepalaku sedikit menunduk karena malu.

“A-anu…” Diriku masih malu untuk mengakui, “I-iya, Bu… Laras kebelet pipis…”

“Jangan ditahan-tahan gitu, hei…! Penyakit, loh” hardik Pak Yudha.

Lagi-lagi aku tersentak kaget karena Pak Yudha ikut mengetahui kepolosanku ini demi menahan pipis. Aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan.

“Pakai aja toilet guru di sebelah. Gak apa-apa, kok” kata Bu Linda.

Hatiku menyesal sedikit. Mengapa tadi tidak kucoba izin saja ke toilet guru kalau akhirnya memang dibolehkan? Ah, sudah terlanjur. Yang penting kini aku bisa segera pipis di toilet.

“Baik, Bu… Makasih banyak, ya…”

Hatiku menyesal sedikit. Mengapa tadi tidak kucoba izin saja ke toilet guru kalau akhirnya memang dibolehkan? Ah, sudah terlanjur. Yang penting kini aku bisa segera pipis di toilet.

Kedua betisku mulai melemas, tapi kucoba untuk berdiri. Spontan kurasakan rasa lega yang kelepasan dari kendaliku. Aku merasakan seperti ada air hangat yang tumpah di kedua pahaku. Aku kelabakan menyadari aliran air mulai menjalar di kedua lututku. Refleks kurapatkan lebih kuat kedua pahaku. Sayangnya, usaha terakhirku sia-sia.

Aku terduduk lagi di kursi dengan merintih. Kedua telapak tanganku meremas kuat-kuat kedua pahaku yang rapat dari tadi. Dengan menunduk malu, rembesan pipisku mulai membasahi lipatan sisi depan rok biruku setelah dari tadi menembus sisi bawah celana dalam katun jinggaku. Engahan nafasku yang berat membuatku melepaskan pertahananku.

Kucuran pipis yang deras mengalir membasahi celana dalam katun jinggaku, dengan cepat hangatnya terasa di sisi depan permukaannya. Air pipis lalu membasahi hem rokku setelah membanjiri sisi dalam rok dan sisi belakang kedua pahaku. Kursi empuk yang kududuki menyerap banyak pipis, membuatnya lebih berat sedikit. Suara pipis yang deras terdengar jelas dari dalam rokku, membuat Bu Linda dan Pak Yudha yang berada di dekatku kaget bukan kepalang.

Puluhan detik aku mengompol, mengabaikan semua panggilan guru kepadaku yang mulai mendengar gemericik pipisku jatuh ke lantai setelah mengalir dan membasahi kaki kursi yang kududuki. Karena posisi dudukku, air pipis turun ke betisku, lalu ikut membasahi kaus kaki dan masuk sedikit ke dalam sepatuku. Selama itu, aku tidak mau memandang siapapun karena sangat malu dan hanya bisa terisak menangis.

Begitu pipisku sudah habis, barulah mau kutengok Bu Linda yang menenangkan diriku. Wajahnya tidak menunjukkan rasa kesal meski aku telah mengompol di kursinya. Yang ada hanyalah wajah ibanya yang membuatku sungkan karena telah merepotkannya. Perlahan beliau membantuku berdiri dan berjalan menuju toilet guru. Begitu risau hatiku melihat tetes-tetes pipisku turun dari rokku yang basah dan membuat jejak jalanku di ruang guru, tetapi Bu Linda menyuruhku untuk mengabaikan saja dan biar petugas sekolah saja yang membersihkannya.

Setelah masuk ke salah satu bilik di toilet guru dan ditinggal oleh Bu Linda, perlahan kulepas ikat pinggang dan kuturunkan rok biruku. Celana dalam katun jinggaku benar-benar basah kuyup. Di sisi depan basahnya hingga batas lubang kaki. Di sisi pantat, celana dalamku benar-benar basah hingga batas karet pinggulnya.

Pintu bilik diketuk seseorang. Kubuka sedikit karena malu kalau sampai celana dalamku kelihatan. Ternyata Bu Linda sudah menyiapkan celana olahraga entah dari mana untukku ganti. Sayangnya, karena tidak ada celana dalam ganti yang kubawa, terpaksa kubilas celana dalam bekas ompolku dengan air saja, lalu kuperas sekuat tenaga. Akhirnya, terpaksa kupakai lagi celana dalam itu meski terasa sangat lembap di balik celana olahraga yang kukenakan.

“Lain kali kalau ingin pipis jangan ditahan-tahan begitu, ya. Gak baik.”

Begitulah nasihat Bu Linda sebelum menyuruhku ke kelas untuk pelajaran terakhir hari ini. Inginnya sih minta pulang, tapi tentu sepertinya tidak dibolehkan.

Sekitar 15 menit aku terlambat masuk kelas, tetapi tidak dimarahi oleh guruku saat itu. Tentu dia tahu kalau aku baru saja mengompol di ruang guru. Setidaknya, guruku ini tutup mulut mengenai kejadian memalukanku tadi.

“Tadi ke toilet, tapi karena kurang hati-hati, kepeleset deh…”

Aku berbohong pada beberapa temanku yang heran melihatku memakai celana olahraga. Mereka tidak akan pernah tahu kalau di balik celana olahraga yang untungnya tebal ini hingga tidak ikut basah, aku masih mengenakan celana dalam katun jingga yang begitu lembap bekas mengompol.

Cerita Mengompol Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang