Lintas Alam Pramuka

881 12 2
                                    

Kegiatan pramuka pekan ini terasa spesial karena diadakannya persami di dataran tinggi – terkenal tetapi cukup dekat dari ibukota – yang penuh dengan pepohonan dan kebun-kebunan. Setelah berangkat dari sekolah saat dini hari, semua murid kini telah berbaris rapi untuk apel pagi tepat saat matahari mulai menyinari hari. Semua murid mengenakan pakaian pramuka lengkap dengan aksesorisnya: kacu, topi baret atau boni, tali tambang, pisau kecil, dan peluit.

Meski beberapa ada yang mengantuk, arahan dari pembina membuat semuanya seksama mendengarkan mengenai apa yang harus dilakukan hari ini. Setiap regu harus berpetualang di alam bebas dengan menempuh jalur sesuai dengan peta yang disediakan. Selama perjalanan, akan ada lima pos yang masing-masing memiliki ujian yang harus dilewati dengan menerapkan ilmu kepramukaan yang telah dipelajari selama ini.

Tentu yang membuat semuanya antusias adalah adanya pemberian hadiah bagi regu pria dan regu wanita terbaik. Nilai yang diperoleh dari semua pos dan lamanya waktu untuk mencapai titik akhir dari perjalanan menjadi penilaian utama untuk penentuan regu terbaik tersebut. Dengan bentang alam yang luas, tentu setiap regu akan menempuh perjalanan dengan cepat atau lambat tergantung saat bagaimana membaca peta yang diberikan.

Sebelum perjalanan dimulai, pembina memberikan waktu sejenak untuk semua murid mendiskusikan rencana awal, juga untuk kesempatan bagi siapapun yang ingin ke toilet dahulu. Selama perjalanan, mana ada toilet umum untuk digunakan.

“Kalian ada yang mau ke toilet dulu gak?” tanyaku pada keempat anggota reguku yang lain.

Semuanya tidak ada yang ingin ke toilet. Bahkan ada yang sudah ke toilet sebelum apel tadi. Bukan apa-apa, tetapi ada cerita kondang saat persami tahun lalu ada yang sampai mengompol di tengah perjalanan.

“Lu sendiri gak mau ke toilet dulu, Tiara?” tanya salah satu temanku.

“Gua juga gak kebelet, sih” balasku.

Sesaat setelah mengatakannya, entah kenapa aku malah merasa sedikit ingin pipis. Benar-benar cuma sedikit, sih. Soalnya aku sudah sempat pipis saat di rest area sebelum tiba di tempat persami saat ini.

“Semuanya sudah siap? Ayo bisa mulai berangkat sekarang, yuk…”

Sahutan pembina membuatku mengabaikan keinginan kecilku tadi. Bersama anggota reguku, kami memulai perjalanan menjelajahi alam bebas yang asri. Dengan peta panduan dan kompas, kami yakin bisa cukup cepat tiba di titik akhir.

Sinar mentari mulai menunjukkan panasnya saat kami tiba di pos pertama. Jaraknya cukup jauh dari titik awal tempat apel tadi. Mungkin hampir sejam kami berjalan ke sini. Di pos ini, kami berlima diuji untuk memeragakan gerakan semaphore secepat dan tepat dari setiap kata yang diberikan oleh kakak pembina.

Kami berlima berjajar dan telah siap dengan bendera semaphore di kedua tangan. Kakak pembina telah siap membunyikan peluitnya untuk memberikan setiap kata untuk menguji kami. Total adalah sepuluh kata yang diujikan. Setiap satu per satu kata disebutkan, rasanya mudah saja bagi kami menggerakkan dan memposisikan tangan karena seringnya berlatih.

…Bulutangkis…Republik…Komputer…Pelabuhan…

Pipis…

Kata itu menjadi akhir dari ujian kami yang berhasil menebak semua kata dengan cepat dan tanpa celah. Kata yang mulai sulit beranjak dari pikiranku. Di balik rok coklatku, mulai muncul sensasi menggerayang yang rasanya menusuk kandung kemihku. Setelah menyerahkan bendera semaphore kepada kakak pembina, kami melanjutkan perjalanan.

Mungkin sekitar setengah jam kami berjalan hingga tiba di pos kedua. Di sini, kami diuji untuk menaksir tinggi sebuah pohon besar dengan metode yang telah diajarkan. Semakin dekat hasil tebakan kami, nilainya semakin besar. Sebagai ketua regu yang sayangnya agak payah dalam berhitung, aku hanya bisa menjadi orang yang mengambil langkah dari pohon dan berdiam di satu posisi sebagai patokan.

Setelah temanku yang satu membidik puncak pohon dan puncak kepalaku, diskusi alot mulai berlangsung karena ada dua temanku yang berdebat mengenai tinggi pohon sebenarnya.

“Kata gua sih sekitar 7,6 meter ini” kata salah satu temanku berargumen.

“Kekecilan itu… Kayaknya 8,2 meter lah” debat temanku yang lain tidak mau kalah.

Aku yang mendengar perdebatannya hanya merasa ikut runyam. Yang kulakukan saat ini hanya berdiri di posisiku sambil melerai mereka dari jauh. Berdiam berdiri begini membuatku mulai merasa kebelet. Mungkin diam-diam kuhentak-hentak kedua kakiku ke tanah agar tidak terlalu mencolok sedang menahan pipis.

Akhirnya, semuanya sepakat bahwa tinggi pohon berkisar 7,9 meter setelah menghitung ulang. Kami berlima pun mulai melanjutkan perjalanan lagi menuju pos berikutnya.

Perjalanan berjam-jam membuat semuanya mulai kelelahan. Semua temanku meneguk minuman yang mereka bawa, kecuali diriku. Pertama, aku sendiri orangnya tidak suka banyak minum. Kedua, aku juga belum merasa lelah sekarang.

Ketiga, yang paling penting, aku makin merasa kebelet ingin pipis dan agak takut kalau banyak minum.

Pos ketiga menyambut regu kami dengan tongkat bambu dan tali tambang yang jumlahnya tak terkira. Tidak jauh dari sini ada beberapa tandu yang telah dirakit, mungkin hasil kerja dari regu yang datang lebih cepat ke sini daripada kami.

Pos ini bisa dibilang pos favoritku saat ini. Kami disuruh untuk membuat tandu hanya dari sepasang tongkat bambu. Nilai diberikan berdasarkan waktu penyelesaian, panjangnya tali yang digunakan, kerapian ikatan, dan kekuatan dari tandu saat mengangkat beban.

Kami berlima saling mengerubungi dalam membuat tandu agar diriku lebih mudah memandu semuanya. Setiap instruksi kuberikan, baik untuk mengikat, membuat simpul, melilit tali, atau menahan posisi tongkat bambu. Meski jujur rasanya saat sulit karena fokusku sedikit terganggu akibat sambil menahan pipis.

Mereka berempat sangat fokus membuat tenda berdasarkan instruksiku. Mereka mungkin tidak melihat kedua kakiku yang kusilangkan sekuat mungkin demi menahan-nahan pipis.

“E-eh… Awas jatuh itu bambunya…” teriak salah satu temanku.

Temanku yang lain agak lengah memegangi tongkat bambu hingga hampir jatuh dan membuat semua ikatan lepas. Kalau itu terjadi, tentu semuanya harus mulai mengikat dari awal dan semakin memakan waktu.

“Eiitt… Dapat…!” kataku refleks menahan tongkat bambu yang hampir jatuh tadi.

Bukan kedua tanganku yang menahannya karena kugunakan untuk membuat simpul, tetapi dengan dihimpit oleh kedua pahaku. Dengan betisku yang menyilang, kuangkat tongkat bambu itu perlahan-lahan hingga tahu-tahu sudah terjepit di antara sisi atas kedua pahaku dengan rapat.

“Biar lebih kuat dan ngiketnya gampang, gua tahan gini ya” kataku.

Padahal, itu hanyalah alasan semu. Yang sebenarnya kulakukan adalah menikmati tongkat bambu yang tertekan kuat-kuat di ujung bawah permukaan kain katun dari celana dalam hitamku. Rasanya aneh sekali, tetapi membuat kebelet pipisku agak mereda. Seperti menyelipkan tangan ke selangkangan, hanya saja tidak ada yang tahu karena yang kugunakan adalah tongkat bambu yang salah satu unjungnya tak terlihat di dalam rok coklatku.

Setiap dorongan pipis muncul, nafasku tertahan dan mulai agak merintih. Refleks juga jepitan kedua pahaku semakin kuat dan ujung tongkat bambu semakin kuat juga kutekan tepat pada kemaluanku yang terlapisi celana dalam katun hitamku.

Akhirnya, tandu buatan regu kami selesai setelah sekitar tujuh menit. Waktu yang cukup cepat, membuat kami senang, tetapi aku sendiri sedikit kecewa di hati karena tidak bisa lagi diam-diam menahan pipis dengan posisi terenak seperti tadi. Kini, tidak ada lagi tongkat bambu yang terhimpit di antara kedua pahaku yang mulai merapat karena merasa kebelet lagi.

Kini, saatnya tandu buatan kami diuji. Kedua temanku mengangkat tandu di masing-masing ujungnya, sedangkan aku sebagai ketua regu mau tak mau menjadi beban yang diangkat. Meski sempat kesulitan, keduanya dapat mengangkatku dengan mudah.

“Eh, kok kayak ada bekas basah gini ya bambunya” kata salah satu temanku heran.

Diriku juga ikut heran mendengarnya. Namun, begitu kutengok tangan kanannya yang kebetulan memegangi ujung tongkat bambu yang berada dekat sekali dari kepalaku, barulah kusadari hal yang cukup memalukan.

Ada jejak basah seperti terkena aliran air pada ujung tongkat bambu tersebut. Meski masih dugaan, tapi aku cukup ingat kalau ujung yang itulah yang sempat masuk ke dalam rokku hingga tepat menekan ujung bawah celana dalam katun hitam milikku.

Cerita Mengompol Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang