“Cepetan, ges… Nanti keburu banyak yang ngantri…”
Bersama ketiga teman kelasku, kami menuruni tangga dengan tergesa-gesa tepat beberapa detik setelah bel istirahat pertama berbunyi. Kantin sekolah memang agak jauh dari kelas kami hingga harus melewati lapangan sekolah.
Nafas kami mulai terengah-engah saat akhirnya tiba di kantin sekolah, tepatnya di sebuah antrian yang mulai terlihat ramai. Sayang sekali kami harus mengantri agak lama, tetapi begitu antrian di belakang kami mulai menumpuk, setidaknya kami sedikit bersyukur karena merasa sudah cukup cepat.
Semua murid yang mengantri saat ini sama-sama antusias untuk berburu satu jajanan yang menjadi primadona di kantin sekolah, yaitu kebab khas Turki. Rasanya enak, isiannya beragam, tetapi harganya bisa dibilang sangat sepadan.
“Eh… Aduh…” rengkihku.
“Kenapa lu, Rin?” tanya teman di depanku, Nadia.
Refleks kusilangkan kedua kakiku begitu suatu dorongan menusuk tepat di selangkanganku. Sebenarnya, beberapa menit sebelum kelas berakhir, aku sudah menahan-nahannya. Namun, karena terlalu memikirkan untuk membeli kebab di kantin, barulah sekarang kusadari betapa kebelet pipisnya diriku saat ini.
“Gua pengen pipis…” kataku.
“Pipis dulu, gih! Entar ngompol, loh…” canda teman di belakangku, Sofia.
“Mana ada…!” balasku.
Sebenarnya ada toilet sekolah yang cukup dekat dari kantin. Masalahnya, aku tidak bisa langsung meninggalkan tempatku di antrian begitu saja.Mengapa? Antrian kedai kebab ini sangat ramai dan bisa dibilang agak ricuh. Terkadang, ada saja murid yang baru datang, tapi ia bisa saja menyela antrian karena ada temannya yang sudah menitipkan tempat antrian untuknya. Setiap ada yang begitu, murid lainnya di antrian merasa kesal karena merasa telah didahului.
Oleh karena itu, pemilik kedai kebab ini memberikan aturan bahwa tidak boleh ada yang menitipkan antrian untuk siapa saja. Semua harus mengantri untuk diri sendiri. Itulah sebabnya aku tidak bisa menitipkan tempatku pada teman-temanku.
“Yang kuat, Rin. Gua juga sedikit kebelet, nih” kata temanku yang paling belakang di antara kami berempat, Tia.
“Eh, lu juga?” tanyaku.
“Iya. Abis dapet kebabnya, kita ke toilet bareng ya.”
“Iya, iya…”
Namun, diriku semakin tidak tahan ingin pipis. Betis kananku bergiliran menekan sisi depan dan sisi belakang betis kiriku demi menahan pipis.Antrian di depan kami terasa lambat. Wajar saja karena menyiapkan satu kebab butuh waktu yang tidak sedikit, apalagi kalau yang memesan kelamaan memilih isiannya.
Sebenarnya, bisa saja aku menitipkan pesananku pada temanku. Namun, melihat orang-orang memesan sendiri kebabnya, aku juga jadi ingin pesan sendiri. Aku ingin memilih isiannya sendiri karena dari kejauhan kulihat ada begitu banyak yang bisa dipilih.
Entah berapa lama kami mengantri, tapi rasanya diriku sangat menderita. Keringat dingin sudah terasa di dahiku. Otot selangkanganku sudah kutegangkan sekuat mungkin karena dorongan pipis semakin kuat. Duh… Kenapa hanya demi sepotong kebab aku rela menderita begini. Memang sih, berdasarkan review salah satu temanku, kebab di kedai ini memang rasanya sangat enak.
Yang jelas, aku sangat fokus dengan menahan kebelet pipisku. Obrolan ringan di antara kami berempat bahkan jarang terjadi karena mungkin tidak enak melihatku yang merespon dengan teringkih-ringkih karena menahan pipis. Hanya satu hal yang membuat hatiku sedikit lebih tenang, yaitu setiap kami berempat perlahan maju di antrian panjang ini.
“Ah… Ah… Aduh…”
Dua orang lagi memesan kebab sebelum giliran Nadia tiba, temanku yang paling depan di antara kami berempat. Entah kenapa, dari tadi agak lengket dan sedikit hangat di antara himpitan kedua pahaku.
“Pesan satu ya, Bu” kata Nadia yang sudah mendapatkan gilirannya untuk memesan.
Aku makin tidak kuasa menahan kebelet pipisku. Kebetulan, ada Sofia yang menutupi sisi belakangku dan Nadia yang menutupi sisi depanku. Spontan kuselipkan tangan kiriku di antara himpitan kedua pahaku, tepatnya masih di atas kain rok putihku.Namun, merasa dorongan pipis muncul lebih kuat, diam-diam tetapi dengan cepat kumasukkan jemari tangan kiriku ke dalam rokku, hingga tepat menekan ujung bawah dari kain katun celana dalam katun merahku.
“Eh… Kok udah basah…”
Aku merengek menyadari bahwa diriku dari tadi sudah tak terkendali melepaskan pipisku sedikit. Rengekanku agak terlalu keras hingga Nadia dan Sofia ikut mendengarnya.
“Serius lu, Rin? Udah ngompol, lu?” tanya Nadia agak kencang.
“Ih… Jangan kenceng gitu, dong…!” kataku malu sambil menaik-turunkan kedua pahaku.
“Mending cepetan ke toilet, Rin. Mumpung lu udah di depan, bisa bilang ke Ibu-nya dulu. Pesennya belakangan, toh dia udah tahu kalo lu udah di depan sini” kata Sofia.
Di tengah risau hatiku menahan pipis, ide Sofia terdengar cemerlang bagiku. Sesaat ingin kucoba idenya itu, aku keburu dipanggil oleh Ibu pemilik kedai kebab di depanku.
“Pesen apa, Nak?” tanyanya.
“E-eh, eh… Anu… Pesen satu, Bu…” kataku terbata-bata karena sedikit terkaget.
“Isiannya mau apa?”
“Be-bentar ya, Bu...” kataku sambil melihat-lihat seisi kedainya karena begitu banyak pilihan isian dan lengkap dengan harga yang tertera jelas.
“Daging… Terus pake keju…”
Aku memesan dengan merintih karena pipisku sudah di ujung tanduk. Jemari tangan kiriku makin kuat menekan ujung bawah celana dalam katun merahku yang tadinya lembap menjadi agak basah lagi karena rembesan hangat lagi-lagi menembusnya.
“Pake sosis yang besar itu ya, Bu…” kataku terengah-engah.
“Oke… Pake selada dan tomat?”
Aku mengangguk. Samar-samar, kudengar Tia menyuruhku segera ke toilet. Namun, tidak kuhiraukan karena pesananku sebentar lagi akan selesai. Aku tahu, kini ada aliran hangat yang pelan-pelan menjalar di kedua betisku.
“Pake saus? Mayones?”
“Mayones pake, tapi jangan saus ya, Bu.”
Kebab pesananku akhirnya sudah siap. Ibu kedai tinggal menyerahkannya saja kepadaku. Begitu tangan kananku siap menerimanya, mendadak semburan hangat yang lebih kuat terasa membanjiri jemari tangan kiri di dalam rok putihku.
“A-ah… Yah…”
Kontan kulepaskan jemari tangan kiriku begitu air hangat semakin banyak membasahinya. Kuangkat sedikit sisi depan rokku dengan tangan kananku, menampakkan kedua pahaku yang menghimpit dan tersilang.
Namun, di antara himpitan kedua pahaku, aliran tertahan-tahan pipisku mengalir setelah turun dari ujung bawah celana dalam katun merahku. Hanya sesaat hingga pipis jatuh ke lantai di antara kedua kakiku yang agak melebar. Nadia panik, Sofia dan Tia juga, apalagi Ibu pemilik kedai.
Entah berapa detik diriku tak terkendali mengompol berdiri. Begitu aliran pipis sudah turun hingga ke betis dan hampir mengenai kaus kakiku, refleks diriku berjongkok dengan kedua tangan mengangkat lebih tinggi rokku. Pipisku sudah tak sanggup kutahan sepenuhnya lagi.
Dengan deras pipis membasahi celana dalam katun merahku di sisi bawahnya, lalu langsung jatuh ke lantai di bawah posisi jongkokku. Genangan pipis mulai tercipta seiringan dengan sisi pantat celana dalamku yang basahnya semakin naik ke sisi atasnya. Wajahku begitu hangat dan mataku mulai tak kuasa menahan tangis. Kutangkupkan wajahku yang sudah sangat malu pada kedua lututku agar tidak dilihat siapapun.
Ketiga temanku jelas panik dan kelabakan. Sofia dan Tia berdiri agak membungkuk menutupi sisi belakang dan sampingku. Sayup-sayup terdengar suara dari murid-murid di belakang kami.
“Eh, ada yang ngompol tahu…”
“Mana-mana… Pengen lihat dong…”
“Gila… Udah SMP masih aja ngompol gitu… Hahaha…”
“Ya elah… Pake ngompol segala. Makin lama nih ngantrinya…”
Mendengarnya saja membuatku begitu malu dan mulai perlahan terisak. Ketiga temanku menenangkan diriku dengan menepuk pundak dan punggungku. Mungkin agak samar, tapi kudengar suara Ibu pemilik kedai yang sama sekali tidak memarahiku, tetapi malah ikut kasihan.
“Ambil dulu ya, Nak. Udah banyak yang nunggu lama, tuh” katanya.
Barulah kuingat kalau antrian di belakangku masih panjang dan orang-orang mungkin mulai kesal. Kebetulan pipisku sudah habis. Spontan aku berdiri dan mengambil kebab pesananku meski dari dalam rokku tetesan pipis masih jatuh ke lantai dari celana dalam katun merahku yang basah kuyup.
“Ma-makasih banyak ya, Bu…”
Pikiranku masih agak buyar, tetapi kutitipkan kebabku pada Nadia dan Sofia. Tahu-tahu, saat diriku berjalan cepat mencari toilet, Tia sudah mengikutiku dengan lebih cepat.
“Gua juga udah gak kuat pengen pipis, Rin. Makanya gua nitip ke Sofia tadi” katanya.
Jalannya begitu cepat hingga ia kini malah di depanku. Begitu memasuki toilet, sejenak kulihat ada aliran pelan di sisi belakang kedua pahanya sebelum kami masuk ke bilik toilet masing-masing. Aku tak menyangka, tapi nampaknya Tia juga sudah mengompol sedikit. Dia tadi bilang sih kalau kebelet pipis juga saat mengantri.
Di dalam bilik, kulepas rok dan kugantungkan di dinding. Kulepas kaus kaki dan sepatuku karena ingin membilas paha dan betisku yang terkena bekas mengompol. Celana dalam katun merahku jelas tak terselamatkan karena sudah bau pesing dan basah kuyup di permukaan depan maupun sisi pantatnya.
Aku jadi bingung harus pakai apa di balik rokku karena tidak membawa celana dalam ganti. Paling sekarang aku pasrah duduk di kloset dengan celana dalam katun merahku yang masih menempel basah di selangkangan dan pantatku.
“Rin, lu bawa celana dalam ganti gak?” tanya Tia melalui chat HP karena ada banyak orang di toilet saat ini.
“Enggak, Tia. Lu gimana?” balasku.
“Waduh… Kasihan lu, ya. Gua bawa, sih. Kebetulan tas kecil gua selalu dibawa kemana-mana.”
“Terus gimana gua, dong…? Lagian mana ada yang jual daleman di kantin…”
“Lu mau pake punya gua gak, Rin?”
“Eh, lu bawa dua celana dalem?”
“Bukan… Gua cuma ada satu, tapi kalo lu gak keberatan mau pake bekas gua…”
“Gapapa, Tia… Yang penting gua ada ganti. Makasih, ya…” balasku mengetik cepat.
Sebenarnya aku sempat tertegun saat mengetahui kalau aku harus terpaksa memakai celana dalam bekas Tia pakai. Namun, pilihan itu masih jauh lebih baik daripada tidak memakai dalaman sama sekali di balik rokku.
“Gua kasih lewat bawah bilik ya, Rin.”
“Oke…”
Sesaat kemudian, sebuah tangan menjulur di sebelah bilikku, tepatnya di bawah bilik yang membentuk celah dengan lantai. Langsung saja kuambil suatu kain dari tangannya. Kain yang dimaksud tidak lain adalah celana dalam katun berwarna hijau lumut bekas Tia, dengan ujung bawahnya yang sudah lembap karena ia sempat mengompol sedikit tadi.
Setelah melepas celana dalamku yang basah kuyup, aku cebok dan perlahan mengenakan celana dalam hijau lumut milik Tia tadi. Lalu, kukenakan kembali rok putihku juga kaus kaki dan sepatuku. Setelah merapikan pakaian yang agak kusut, aku keluar bilik dengan ditunggu Tia yang sudah berada di depan pintu toilet.
“Gimana, Rin? Sori, ya… Itu bekas gua ngompol dikit. Hehe…” kata Tia sedikit malu.
“Gapapa, kok. Makasih banget, ya… Emang agak basah dikit nih, tapi masih agak nyaman dipake kok…” kataku.
Setidaknya di sisa hari ini, aku harus menahan sensasi kemaluan dan kedua pahaku yang menyentuh permukaan lembap bekas ompol dari ujung bawah celana dalam katun hijau lumut milik Tia.
Kami berdua pun langsung ke kelas karena menerima pesan chat dari Sofia dan Nadia yang membawakan kebab pesanan kami ke kelas. Meski masih merasa agak canggung karena habis mengompol tadi, aku masih asyik mengobrol dengan teman-temanku sambil menikmati enaknya kebab yang mungkin sepadan dengan nasib malangku di kantin tadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mengompol Sehari-hari
Ficção AdolescenteKumpulan cerita mengenai kejadian mengompol yang dialami seorang remaja.