Terjebak di Gudang

672 11 1
                                    

Sebenarnya, sudah berapa lama aku terjebak di sini?

Aku terduduk bersandar di tembok pada sebuah ruangan yang remang-remang ditembus sinar mentari. Ruangan ini cukup besar, tetapi penuh dengan barang-barang yang sedikit berdebu dan entah bakal digunakan atau tidak. Sambil memeluk kedua paha dan betisku yang melipat di lutut, rasanya bosan sekali hanya berdiam di sini menunggu ketidakpastian.

Sejak pagi, Papa dan Mama pergi ke rumah saudara dan meninggalkanku menjaga rumah bersama adik lelakiku. Dengan seharian ini hanya memakai kaus tanpa lengan berwarna putih dan celana strit kuning saja, kerjaanku hanya bermain HP dan sesekali menonton TV. Namun, saat aku iseng masuk ke gudang rumahku karena teringat dengan boneka bekasku saat SD, tahu-tahu pintu gudang tertutup sendiri dan kini tidak bisa dibuka lagi.

Nampaknya, pintu gudang ini rusak. Mungkin terkunci sendiri atau engselnya agak aneh. Yang jelas, aku harus pasrah dan menerima nasibku saat ini. Setidaknya, aku bisa memaksakan diri untuk tidur siang di lantai.

Sialnya, karena sejak pagi aku banyak minum, kini aku mulai merasa kebelet pipis.

Setengah jam atau mungkin sejam tak ada perkembangan. Terkadang kupaksakan berdiri untuk mencoba menarik pintu, tetapi tetap saja tak mau terbuka. Aku mulai merasa kesal, tapi entah kepada siapa. Mama dan Papa? Mau tidak mau harus kutunggu sampai sore hingga mereka tiba dan membukakan pintu dari luar.

Kalau sampai sore, apakah aku masih sanggup menahan pipis? Soalnya makin lama makin terasa kebeletnya. Kini, pelukan tanganku semakin erat pada kedua kakiku. Selangkanganku mulai terapit kuat dengan kedua pahaku. Jemari kedua kakiku terkadang bergesekan berusaha menahan pipis yang rasanya semakin mendesak.

“Eehh…!”

“Lah, kok! Kakak ngapain di sini?”

Aku sedikit kaget saat melihat pintu lemari bekas di depanku tiba-tiba terbuka. Tentu saja itu bukan hantu, tetapi adik laki-lakiku yang entah kenapa duduk di dalamnya sambil bermain game di HP-nya. Ia pun beranjak untuk duduk di sampingku.

“Dari tadi kamu di situ? Ngapain?”

“Main game, Kak. Rasanya seru di dalem lemari gitu. Kayak punya ruang gaming kecil.”

“Hah? Aneh-aneh aja kamu…”

“Terus Kakak di sini ngapain? Kelihatan kayak orang gabut.”

“Tadi cuma iseng ngambil barang bekas, sih. Eh… Tahu-tahu pintunya kekunci. Mana gak bisa dibuka lagi…”

“Eh, yang bener, Kak!?”

Adikku terheran dan sedikit panik. Sambil fokus memainkan game-nya, dia beranjak dan menghampiri pintu. Tangannya yang kecil tapi tampak berisi sekuat tenaga menarik tangannya. Namun, tidak ada hasil kecuali dirinya yang sedikit mengaduh kesakitan.

“Siapa yang kunci ini?”

“Mana Kakak tahu…”

“Harus nunggu Mama dan Papa pulang, dong…”

Aku hanya mengangkat alis dan mengangkat kedua tangan, memberi gestur tidak bisa apa-apa. Adikku ikut pasrah seperti diriku. Ia pun duduk kembali di sebelahku. Namun, tidak seperti diriku yang merasa bosan, dia masih asyik bermain game kesukaannya itu, Mobile Legends.

Karena bosan, aku pun ikut melihatnya bermain game walau tidak terlalu mengerti. Badanku agak menyamping dan condong mendekatinya, sedangkan posisi dudukku kini adalah kedua kaki yang melipat dengan salah satu sisi paha sebagai tumpuan ke lantai. Tidak seperti dia yang begitu tenang meski harus bertarung di dalam game, aku risih sendiri dengan saling menggesekkan pelan kedua pahaku karena makin merasa kebelet pipis.

“Wah… Jago juga ya, Dek” pujiku yang sedikit mengerti melihat karakternya sering mengalahkan pemain lain.

“Oh, iya dong… Rank mythic nih, bos!” katanya sombong meski aku tidak mengerti maksud dari ranking itu.

Berkali-kali aku basa-basi menanyainya soal game ini, membuatnya sedikit terganggu meski mau menjawab semua pertanyaanku. Setidaknya, aku berusaha agar tidak terlalu ingat dengan rasa kebeletku. Meskipun begitu, aku sendiri sudah tak tahan ingin pipis sampai mulai menyelipkan tangan kiriku di antara himpitan kedua pahaku.

“Kakak kalo mau main nanti Adek ajarin, deh…” katanya sambil menengokku.

Wajahnya yang antusias menjadi terheran melihat gelagatku yang begitu risih. Segera ia sadar dengan tingkahku selama ini.

“Kak, lagi kebelet pipis, ya? Dari tadi nahan-nahan gitu kayaknya, haha…” candanya.

“Heh…!?”

Aku sedikit tersentak malu, tapi memang tidak perlu ada yang kututupi. Lagian, dia ini adikku sendiri. Namun, hanya kubalas pertanyaannya itu dengan anggukan saja.

“Emang kuat, ya?”

“Ya enggak, lah. Gimana, dong… Masa harus nungguin yang lain pulang” kataku sedikit merengek sambil menyelipkan kedua tanganku di antara kedua pahaku.

Adikku langsung berhenti dan keluar dari game di HP-nya, lalu dia mengajakku untuk memaksa menarik pintu gudang yang terkunci ini bersama-sama. Kalau menariknya bareng, mungkin bisa terbuka meski nantinya rusak, begitu katanya.

Kami berdua sama-sama memegangi gagang pintu logam yang cukup besar ini dengan kedua genggaman tangan, tetapi kami berdiri dengan posisi sejajar dan bersebelahan. Dengan aba-aba adikku, tarikan kami terasa begitu kuat hingga tangan kami sama-sama sedikit kesakitan. Sayangnya, berkali-kali usaha kami menarik, pintu ini belum juga terbuka meski kami mulai kelelahan.

Cerita Mengompol Sehari-hariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang