Mungkin sudah sejam lamanya aku terjebak di kelasku yang sudah sepi ini. Di luar, hujan masih turun deras, membuatku terpaksa menunggu dengan bosan, sedangkan teman-teman kelasku ada yang membawa payung atau jas hujan, bahkan ada yang nekat mandi hujan. Salahku sendiri juga yang kelupaan membawa payung sebelum berangkat ke sekolah.
Sebenarnya aku tidak sendiri di sini, melainkan berdua bersama seorang teman kelasku, Apip. Bukannya tidak suka, tapi orang ini sangat pendiam di kelas kami. Padahal, kami berdua adalah teman sebangku, walaupun sebenarnya itu hasil dari acakan tempat duduk oleh wali kelas. Kami juga baru sekitar sebulan duduk sebangku di semester pertama kelas 3 SMP saat ini. Ya, bisa dibilang kami baru saling kenal.
Paling masing-masing dari kami hanya sibuk bermain HP. Seringnya aku bertanya beberapa hal kepadanya untuk basa-basi, meski hanya dijawab sepatah atau dua patah kalimat saja. Apip juga kadang mencoba memulai pembicaraan, tetapi selalu tidak jauh dari memuji diriku sebagai siswi teladan karena selalu ranking satu seangkatan, menjadi wakil ketua OSIS, dan meraih medali perak di OSN. Jujur, aku tidak terlalu suka kalau dipuji-puji begitu, sih.
“Apip… Lu merasa lagi kebelet, gak?”
“Eh? Enggak, tuh” dia menjawab kaget karena heran dengan pertanyaan anehku yang mendadak.
“Oh… Kalo gua, sih… Dari tadi kebelet pipis. Hehe…”
Aku sama sekali tidak merasa malu mengakuinya. Biar topik pembicaraan kami tidak terlalu kaku.
“Kenapa gak ke toilet, Keisha?”
“Lu tau, ‘kan? Toilet sekolah kita kotor terus. Malesin tahu…” keluhku.
“Jadi?”
“Paling gua tahan sampe pulang ke rumah, sih” kataku sambil menunjukkan kedua sepatuku yang mengetuk-ngetuk lantai karena kebelet.
“Mudah-mudahan sempet, ya” katanya.
Aku terkekeh hampir melepas tawa karena lucu mendengarnya, “Haha… Kalo aja gak hujan begini, mungkin gua udah tenang pipis di rumah…”
Benar saja, setelah aku memulai topik pembicaraan yang lebih personal, Apip menceritakan pengalamannya saat demam parah karena mandi hujan. Agak kurang nyambung dengan topik tadi, sih.
Akhirnya, hujan pun mulai mereda. Apip ikut senang melihat diriku yang sumringah. Karena hanya berdua, ia mau saja kuajak bergesa-gesa keluar kelas dan menuju gerbang sekolah, menunggu angkot tercepat. Hanya hitungan detik hingga satu angkot tiba. Segera kunaiki dan duduk di belakang supir. Tadinya sih mau pamitan dulu, tapi aku tak menyangka saat Apip menaiki angkot yang sama denganku, hanya saja rumahnya lebih dekat. Ia kini duduk tepat di sampingku.
Di tengah jalanan yang agak macet, angkot ini tidak terlalu cepat jalannya. Aku tidak bisa bohong kalau merasa makin kebelet pipis hingga mulai mengapit kuat kedua pahaku. Setiap angkot ini berhenti mendadak untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, aku merasa dorongan pipisku semakin kuat hingga kuremas ujung bawah rok biruku.
Di sebuah persimpangan, sang supir mengerem begitu keras karena hampir menabrak sebuah motor. Semua penumpang ikut berguncang dan panik, beberapa emosi memarahi si supir. Badanku terhempas dan terjepit di belakang kursi supir. Belum sempat sadar dan tenang, badanku terdorong lagi oleh badan Apip yang menindih badanku karena terguncang juga.
Sesaat setelah terkaget, pikiranku langsung tertuju pada sensasi basah dan hangat di balik rok biruku. Makin kuhimpit kedua pahaku hingga bisa kutahan rembesan hangat itu. Aku tidak sengaja mengompol sedikit, membuat ujung bawah celana dalam katun abu-abu mudaku terasa sangat lembap sekarang dan rasanya tidak nyaman.
“Eh, Keisha… Sori banget, ya… Lu gak apa-apa, ‘kan?” kata Apip dengan nada agak bergetar karena merasa bersalah.
“Enggak usah minta maaf gitu, Pip. Bukan salah lu juga lagian” balasku dengan memberikan senyuman agar dia tenang.
Sebenarnya, lebih tepat menyalahkan si supir daripada dirinya karena telah membuatku kelepasan mengompol sedikit. Namun, aku memilih berusaha menghiraukannya dan lebih fokus untuk lebih kuat menahan pipisku karena makin kebelet.
Beberapa menit insiden tersebut, aku baru sadar kalau Apip sudah tiba di tujuannya saat pamit kepadaku.
“Duluan ya, Keisha” katanya sembari membayar ongkos.
“Eh… Iya, Pip… Eh, tunggu…”
Bukan di luar kendaliku kalau aku ikut turun dari angkot dan menghampirinya. Jelas dia bingung dengan tingkahku.
“Rumah lu masih jauh gak dari sini?” tanyaku.
“Paling lewat gang bentar, terus sampe sih. Kenapa, Keisha?”
Sebelum melanjutkan bicara, aku terdiam karena merasa dorongan pipis yang sangat kuat menusuk selangkanganku. Refleks kutekuk kedua lututku dan kurapatkan kedua pahaku sekuat tenaga.
“Kalo gua lanjut ke rumah, rasanya gak bakal keburu deh… Udah kebelet banget soalnya…” kataku sambil menari-nari dengan betisku karena kebelet pipis.
“Boleh ikut ke rumah lu gak buat numpang pipis? Sori ya kalo ngerepotin” pintaku memohon.
“Eh, boleh kok…” balasnya terbata karena ikut panik melihat keadaanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/373189270-288-k144474.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Mengompol Sehari-hari
Teen FictionKumpulan cerita mengenai kejadian mengompol yang dialami seorang remaja.