ep.07

276 36 4
                                    

"Aku mau ke toilet dulu. Bisa hantarkan di mana kamar Jeno?" Tanya Harlin kepada istri kakak iparnya itu.

"Kamar apa? Jeno tidak punya kamar di rumah ini."

Harlin menoleh dengan matanya yang melotot, sukses membuat wanita itu terjengkit kaget.

"Apa?" Tanyanya takut-takut.

"Bongkar saja rumah sebesar ini kalau kamar untuk anak saja tidak punya." Nyinyir Harlin. Dia pergi dari sana mencari toilet lain. Bertanya dengan para pekerja saja lebih baik daripada dengan pemilik rumah.

Mendapat tempat yang dia inginkan, Harlin langsung menelpon kontak dengan riwayat chat hangat antar pemilik tubuh dengan seorang wanita yang Harlin yakini itu adalah orangtuanya.

"Halo?"

"Halo, ini Mama bukan?"

"Ya jelas ini Mama. Aneh pertanyaan kamu ya, Lin."

"Seluruh kontak di hp ku kehapus, jadi aku hanya memastikan saja ini nomor Mama." Alasan Harlin yang entah masuk akal atau tidak.

"Begitu."

"Iya, kalau begitu aku tutup dulu telponnya ya, Ma. Soalnya ada acara di luar."

Harlin keluar dari toilet segera menuju meja makan. Orang-orang sudah berkumpul di sana, mata Harlin menelisik formasi pilihan duduk orang-orang. Itu kenapa Jeno dengan pria jelek duduk berhadapan tetapi menyisakan kursi kosong di kiri kanan mereka?

Harlin berjalan santai mendudukkan dirinya di samping Jeno, tanpa menghiraukan orang-orang yang mencuri pandang ke arahnya.

"Kita masih menunggu orang?" Harlin bertanya kepada pria paling tua di sana, ayahnya mertuanya.

Pria paru baya itu hanya menggeleng. Dia mempersilahkan yang lain juga untuk memulai makan.

Harlin yang terlalu antusias di sana dengan suasana hati yang bagus, mengambilkan lauk pauk untuk Jeno. Senyumnya juga tidak terputus, membuat yang tidak suka interaksi keduanya semakin mendung.

"Kamu juga makan yang banyak." Gantian Jeno yang mengisi piring Harlin yang masih kosong.

"Nasinya jangan banyak-banyak, aku mau lauknya yang banyak."

"Boleh." Jeno tidak protes akan keinginan Harlin.

"Sudah, segini saja cukup. Terima kasih, Jeno."

"Sama-sama."

Harlin mulai makan, sedangkan Jeno menatap orang dihadapannya dengan pandangan penuh kemenangan.

^°^

"Kira-kira kapan tanggal baik untuk melangsungkan acara pertunangan? Saya sekeluarga sudah siap menerima syarat yang diajukan." Raymon memulai perbincangan serius pada sore itu.

"Dua bulan lagi jika bisa kita cari tanggal yang pas. Masalah cincin sudah selesai?" Tanya kepala keluarga kepada istrinya.

"Aku sudah memberikan kepada Harlin untuk desain cincin."

Harlin yang jadi pusat perhatian pura-pura tidak mengerti dengan topik mereka. Dia sibuk memainkan jari-jari lengan Jeno.

"Kamu ditanya mama." Kata Jeno kepada Harlin.

"Kenapa tanya desain cincin ke aku? Memangnya itu untukku? Tanyalah sama yang bersangkutan." Jawab Harlin dengan ekspresi kebingungan yang dibuat-buat.

"Harlin, hubungan seperti ini bukan main-main, jadi jangan pura-pura lupa dan menunda waktu." Kata putra sulung keluarga Lee tak ramah.

Harlin menaikkan sebelah alisnya menatap kakak iparnya itu aneh. "Kakak ipar yang tercinta tidak punya kaca kah? Sendiri yang tidak jelas berbicara tentang hubungan disaat wanita yang bersangkutan istri adiknya sendiri. Kalau gila jangan ngajak-ngajak, gila saja sendiri."

"Otak Harlin pasti sudah dicuci oleh seseorang. Padahal dia sendiri tadinya ingin menikah lagi." Bisik menantu pertama Lee itu kepada mertuanya. Lebih kearah menyindir sih, karena bisikan apa itu yang bisa di dengar orang lain.

"Hei wanita tua tidak sesuai dengan umur, jangan menyindir suami tercintaku, awas kau ya!" Delikan tajam Harlin layangkan.

Jeno yang menyaksikan hanya tersenyum saja. Ternyata sekarang waktunya untuk dia tidak khawatir lagi terpaksa dipisahkan dengan Harlin, kekasih hatinya tampak sudah kembali seperti dulu. Secara logika apa yang dilakukan keluarganya ini aneh, dan karena Harlin sudah kembali maka inilah yang terjadi. Tidak seperti sebelumnya Harlin hanya menjadi pendengar dan menuruti perkataan keluarganya.

"Jadi bagaimana?" Raymon bingung dengan perdebatan keluarga ini.

Sasaran Harlin beralih ke pria yang membuatnya naik darah dari kemarin-kemarin. "Kau pria jelek juga mesum, mending pulang saja sana. Siapa juga yang mau tunangan dengan kau. Gila saja aku sudah punya suami tampan begini malah tunangan lagi dengan pria jelek, rugi!"

"Jaga omongan kau, Harlin!"

"Anda yang harusnya jaga lisan dan sikap Anda, ayah mertua. Anda pikir Anda orang tua saya seenaknya mau menentukan kapan waktu pas saya tunangan. Memang ya keluarga kalian ini paling aneh yang pernah saya temui. Jangan ganggu hubungan saya dengan Jeno lagi." Kata Harlin dengan menggebu-gebu, dia kesal, tapi juga menikmati adegan ini.

"Ayo kita pulang saja. Aku tidak betah di sini." Harlin berbicara kepada Jeno dengan nada suara yang berbanding terbalik.

"Boleh."

^°^

"Ingatan Harlin sudah pulih?"

"Tidak mungkin secepat itu. Minggu lalu aku ke rumah mereka Harlin masih bersikap santai dan terbuka." Jawab Raymon atas pertanyaan nyonya Lee.

"Jeno tidak boleh sebahagia itu, lakukan sesuatu. Anak haram tidak layak bahagia." Nyonya Lee menatap suaminya marah.

"Apa perlu kita melakukan sesuatu kepada Harlin?"

"Apa? Membuatnya ngalamin kecelakaan lagi?"

"Kalau Appa maunya begitu ya tinggal kita susun rencana." Timbal putra sulung Lee.

^°^

Ini tuh hiburan aja ya, guys.

Cegil, it's me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang