chapter five

106 11 0
                                    

3rd POV

ᅠᅠSuara jangkrik mengisi keheningan pada malam hari itu, suara-suara lain juga mulai bermunculan, seperti halnya suara lolongan anjing serta kicauan buruk hantu.

Kebisingan dari luar itu berhasil diredam oleh tembok yang menjadi pelindung sebuah rumah. Di dalam sebuah ruangan—kamar—suara kebisingan lain bisa sedikit terdengar sampai ke kamar yang ada di sebelah ruangan itu.

Nampaknya cahaya lampu masih terlihat melewati kaca. Suara ketikan keyboard dan gesekan alat tulis bisa terdengar dengan lebih jelas jika seseorang berjalan semakin dekat ke arah ruangan itu. Sepertinya, ada seseorang yang tengah melakukan aktivitas di dalam sana.

CLICK

TAP
TAP

PUK

"[Name]? " Suara serak itu langsung memutus seluruh kegiatan yang tengah dilakukan oleh gadis itu—[Name]. Sang gadis menolehkan kepalanya ke belakang, sembari mencopot headset yang tengah digunakannya.

"Eh, Papa? " seru [Name]. Dirinya menyunggingkan senyum pada sang ayah, Fukata menguap sekali, lalu dirinya mengucek mata 5 watt itu.

"Kamu masih ngerjain project musik itu? Ditambah belajar? Apa ngga pusing kamu nanti? " tanya sang ayah. Mendengar pertanyaan itu, [Name] lantas menggeleng sebagai jawaban.

"Ngga kok Paa, lagipula, Mama yang minta aku buat nyelesain project ini secepat mungkin, soalnya bakal langsung dinilai sama kakak-kakak di tempat les ku, " jelas [Name]. Hal ini langsung membuat sang ayah terpaksa mengerti dengan keadaan, tangannya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak terasa gatal, lalu tangan yang satunya digunakan untuk mengelus pelan rambut putrinya.

"Yaudah kalo emang kamu sanggup, selesai ngerjain ini semua kamu langsung istirahat ya, supaya kamu ngga kesiangan bangun besoknya. Inget, kamu ada jadwal latihan memanah besok, jadi pastikan kondisi badanmu tetep fitt, " ujar sang Ayah panjang lebar. [Name] hanya mengangguk patuh mendengarkan ceramahan dari Ayahnya, dirinya juga mengangguk kecil di setiap jeda pendek yang diciptakan oleh Ayahnya tadi.

"Papa balik ke kamar dulu, kalo kamu butuh apa-apa panggil Papa aja. " Setelannya, Fukata berbalik badan dan pergi meninggalkan [Name] di kamar itu. Gadis itu tak langsung kembali menghadap ke laptop-nya, dirinya menatap ke arah pintu sejenak sebelum melanjutkan tugasnya.

"Teven? " ucap [Name] secara tiba-tiba. Dirinya menekan satu tombol pada laptop-nya, dan setelah itu suara seseorang terdengar. Suara serak namun masih menguarkan semangat itu menyahut panggilan dari sang gadis.

"Ya, [Name]? Aku masih di sini kok, " ujar Steven yang sudah mengerti maksud panggilan dari gadis itu. Mendengar suara dari sahabat-nya, [Name] lantas menghembuskan napas lega karena lelaki itu—Steven—masih tetap terjaga untuk bisa menemaninya menyelesaikan kesemua tugasnya pada malam hari itu.

"Untung aja kamu masih mau nemenin aku. Sekali lagi maaf ya kalo aku ngerepotin kamu buat minta nemenin aku nyelesain project ini, " tutur [Name] dengan perasaan tak enak.

Mendengar hal itu, Steven terdiam sejenak, sang gadis sempat meminta maaf padanya dengan alasan yang sama, tetapi Steven mengatakan bahwa dirinya merasa tak keberatan sama sekali dengan keinginan [Name] untuk ditemani itu. Lelaki itu tahu bahwasanya [Name] itu penakut, tetapi, gadis itu tak berani menunjukkannya kepada siapapun—kecuali Steven—rasa penakutnya itu. Yah, Steven berusaha memaklumi sih.

"Gapapa kok [Name], kamu ngga perlu ngerasa bersalah. Justru aku seneng banget bisa nemenin kamu kayak gini, aku jadi ngerasa dibutuhin sama seseorang, terlebih lagi kamu, " ujar Steven. Lelaki itu sedikit berguling di atas kasurnya sembari mendekatkan handphone-nya—karena Steven menggunakan handphone saat sesi voice call ini sedang berlangsung—ke arah wajahnya. Semburat tipis muncul pada pipi Steven, entah karena apa. Dirinya berhasil mengungkapkan unek-uneknya tanpa rasa gengsi kepada [Name], dan dirinya merasa senang dengan hal itu.

[Name] merenung sebentar. Dirinya tak mengerti, tetapi jantungnya terasa berdetak lebih cepat dikala Steven mengungkap hal itu. Gadis itu tak mampu mengatur ataupun mengeluarkan salah satu emosinya saat ini, sehingga dirinya hanya merespon dengan anggukan kecil—walaupun faktanya Steven tak mampu melihat hal itu.

Dan malam itu berakhir dengan [Name] yang menyelesaikan project musiknya dengan lancar, tentunya dengan bantuan Steven yang memang lumayan paham dalam bidang musik. Steven lah yang menjadi pendengar pertama untuk musik [Name] itu, sang Adam merasa itu adalah salah satu keberuntungan baginya.

Esok harinya, Steven memamerkan hal tersebut kepada teman-temannya.

Chapter ini spesial diisi dengan [Name] x Steven, aku mau ngasi liat chemistry mereka sedikit demi sedikit dari sini, sksksksk.

𝐌𝐘 𝐃𝐑𝐄𝐀𝐌 [ WEE!! × Reader × Oc ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang