Chapter 09. (POV Saka)

37.1K 2K 74
                                        

Hari itu aku menjalani hariku seperti biasa, dimulai dari pagi hari aku akan berangkat kuliah dan jika masih sempat aku akan membuka warung warisan dari orang tuaku sekaligus satu-satunya sumber penghasilan yang aku dapat.

Kebetulan, kuliahku dimulai pada pukul sembilan pagi sehingga tepat tengah hari aku bisa membuka warung. Tampaknya hari itu sebuah hari keberuntunganku. Bagaimana tidak aku menganggapnya keberuntungan? Pasalnya pengunjung hari itu teramat ramai bahkan aku harus menunda menutup warung. Warung yang biasanya hanya buka selama enam jam, berakhir berjalan selama sepuluh jam.

Tepat pukul sepuluh malam, saat hendak menutup warung, seorang gadis yang sedang terlihat mabuk mendatangi warung. Aku tertegun sejenak, bukan karena takut atau apapun itu, aku hanya terkejut karena gadis itu adalah orang yang aku suka di kampus.

Namanya Saina, dia adalah salah satu teman satu fakultas yang memang biasa berinteraksi denganku karena kami kerap kali menjadi satu kelompok dalam persentasi yang dosen suruh. Yang aku tahu, dia seorang anak konglomerat dan dia juga cukup sombong terhadap orang-orang yang dia anggap tidak terlalu dekat.

Contohnya aku. Meski sering berinteraksi dia juga masih terkesan sombong kepadaku, entah karena apa? Aku pun juga tidak tahu. Tetapi hal tersebut tak menyurutkan rasa sukaku pada gadis itu justru semakin lama rasa suka berakhir menjadi rasa cinta.

Ya, aku mencintainya.

Awal mula perasaan cinta itu muncul ketika hujan deras mengguyur kota ini. Tepat setelah kelas dibubarkan, aku berjalan dengan tempo cepat menyusuri koridor kampus. Namun, di tengah jalan langkahku terhenti ketika mendengar suara seseorang sedang tertawa riang. Bersamaan dengan itu aku menoleh keluar dan menemukan seorang gadis sedang melompat-lompat layaknya anak kecil di tengah guyuran hujan.

Aku saat itu tak menyangka orang yang aku anggap sombong ternyata bisa tertawa lepas seperti itu hanya karena diguyuri hujan. Aku tidak tahu apa yang mengasyikkan dari kegiatan tersebut tapi tak dapat aku pungkiri dia terlihat sangat cantik.

Aku terus menatapnya hingga seorang laki-laki menegurku, membuat fokusku teralihkan. Dapat aku lihat seorang laki-laki yang tampaknya dari fakultas berbeda juga sedang menatap ke arah Saina sehingga aku tanpa sadar kembali menatap ke luar.

"Dia selalu menyukai hujan. Beberapa kali dia meluapkan perasaan di tengah hujan, kadang menangis, kadang tertawa. Orang-orang hanya tahu dia seorang yang sombong, tapi sebenarnya dia bersikap begitu karena tidak mendapatkan kasih sayang orang tua."

Aku seketika menoleh, saat kata pertama terucap dari laki-laki tersebut. Benakku dipenuhi tanda tanya hingga tanpa sadar aku berucap. "Memangnya orang tua Saina sudah meninggal?"

Pria itu menggeleng kemudian mengangguk. "Ayahnya masih hidup dan ibunya sudah tiada. Sekarang Saina sudah memiliki ibu tiri yang telah ayahnya nikahi tepat setahun setelah ibu kandungnya meninggal. Karena itulah Saina selalu tidak diacuhkan bahkan tak segan-segan membandingkannya dengan adik tirinya."

Alisku mengernyit dalam. Aku berpikir kenapa ayahnya bisa sejahat itu? Bahkan ayahku sendiri tidak pernah membandingkanku dengan siapa-siapa. Seketika aku merasa bahwa masalah Saina jauh lebih berat dariku yang seorang yatim piatu. Setidaknya ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan tepat setelah aku tamat SMA jadi aku masih merasakan apa itu kasih sayang keluarga.

Rasa takjub, kasihan, sekaligus kagum menelusup ke dalam hatiku. Dan lama kelamaan rasa itu menjadi cinta. Masih menjadi misteri siapa laki-laki yang menceritakan tentang Saina karena setelah aku menanyakan dari mana dia tahu semua informasi tersebut, pria itu justru pergi dan tidak berkata apa-apa.

Lamunanku buyar saat suara cukup keras masuk ke pendengaranku. Aku menemukan Saina telah terduduk dengan derai air mata yang bercucuran. Tanpa pikir panjang aku lekas menutup warung kemudian membawa Saina ke rumahku yang terletak tepat di depan warung.

Aku menidurkannya di ranjang namun entah mengapa, saat aku hendak mengambil air hangat, Saina justru menarikku kemudian mencium tepat di bibirku. Tentu aku menolak dan berusaha mendorong gadis itu.

Meski aku mencintainya, aku tidak akan mau merusaknya. Tapi setelah ciuman itu terlepas, Saina justru kembali menarikku seraya mengatakan sesuatu yang membuat aku mematung. "Sentuh aku. Tolong, aku gak sengaja meminum obat perangsang."

Sadar tidak sadar, malam itu aku menyentuh Saina--wanita yang aku cintai. Bergelut di bawah selimut, mengusir hawa dingin malam dengan kehangatan. Sebagai laki-laki normal, aku tidak bisa berpikir jernih lagi dan justru merusak gadis yang aku cintai.

TBC.

Malam nanti aku up lagi masih Saka POV ya. Tentang masa lalu dan segala sesuatu yang mengejutkan.

Enervate (Republish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang