27. Bunga Pemilik Makna

101 26 141
                                    

“Ku latih hati ini dengan cinta, agar mampu menampung mawar beserta durinya.”

—Mahmoud Darwish

•••

S E L A M A T   M E M B A C A . . .

Flashback On.

“Halo anak ganteng.. lagi nunggu jemputan, ya?” tanya seseorang, yang Arhankara sendiri tak mengenali orang itu siapa.

Di halte dekat dengan sekolah dasarnya, Arhan duduk dengan perasaan tenang. Anak kecil yang sedang menduduki kelas tiga sekolah dasar itu sedang mencoba hal baru. Biasanya, selepas pulang sekolah ia selalu menunggu jemputan tepat di luar gerbang sekolah atau pos satpam. Tapi hari ini berbeda, Arhan memilih duduk di halte yang sepi, sendirian. Dengan membawa sebuah alasan karena ingin sedikit demi sedikit memberanikan diri. Siapa tahu nanti, mama dan papanya bisa memberikan izin agar ia bisa pulang sendirian seperti teman-temannya yang lain alih-alih diantar-jemput menggunakan mobil pribadi.

Arhan sedikit terperangah, kala orang itu tiba-tiba saja bertanya. “I-iya, Tan.. te?” sahutnya dengan nada bingung.

Arhan kecil menelusur orang itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sebentar, sepertinya ada yang janggal dari orang di hadapannya. Badannya kurus serta tinggi. Warna kulitnya sawo matang. Wajahnya dipoles cantik dengan make-up yang cukup tebal. Rambutnya hitam lurus hingga sepinggang. Tubuhnya dibaluti dengan mini dress berwarna coklat muda yang kelihatan lumayan seksi. Tidak ada yang aneh memang dari penampilannya tersebut, hanya saja ada yang membedakan ketika orang itu berbicara. Suaranya terdengar seperti laki-laki, tidak sinkron dengan penampilan feminimnya yang sudah bergaya seperti seorang biduan. Arhan dibuat bingung, dia itu sebenarnya laki-laki atau perempuan?

“Ikut sama Tante yuk, nanti Tante belikan ayam warna-warni,” ajak orang itu, yang ingin dipanggil (Tante) seraya memberikan embel-embel layaknya seorang penculik.

Arhan menggeleng cepat. Detak jantungnya pun ikut berpacu lebih cepat. Ia merasa panik. Mau bagaimanapun anak kecil akan takut dengan yang namanya orang asing. “Nggak Tante. Aku mau pulang,” tolaknya. Yang tadinya senantiasa duduk dengan tenang, kali ini Arhan beringsut berdiri— berancang-ancang untuk kabur jika orang itu benar-benar akan menculiknya kemudian dijual.

“Kok nggak mau, sih—” perkataannya tiba-tiba saja terpotong.

Jlek!

Awww! Saaakiiittt!” Dan diteruskan dengan pekik  kesakitan sebab seorang anak perempuan cantik memakai hijab instan putih yang sudah tak beraturan tiba-tiba entah datang dari mana, menginjak kaki orang asing tersebut bertenaga serta tanpa ada aba-aba.

“Mampus! Sakit yah? Makanya jangan genit-genit sama anak kecil, Om!” seru anak perempuan itu dengan wajah songong. Kemudian ia tersenyum puas.

“Kok kamu manggilnya Om, sih?! Nggak sopan tau!” komentar Arhan, karena merasa kaget ketika mendengar penuturan anak perempuan seusianya yang memanggil orang itu dengan panggilan Om alih-alih Tante atau panggilan lainnya yang sesuai dengan gender.

“Terus aku harus manggil dia Teteh? Kakak gemesh atau Tante, gitu?! OGAH BANGET!” protesnya dengan raut wajah tak terima.

Akandra | Antara Laut dan Senja [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang