Chapter 10. (POV Saka)

6.9K 626 99
                                    

Setelah kejadian tersebut, aku sama sekali tidak menyesalinya. Yang aku tidak suka setelah kejadian itu adalah ketika Saina justru menganggapku seperti orang asing, bahkan interaksi kami semakin terbatas karena disebabkan beberapa faktor.

Faktor pendorong yang benar-benar aku sadari adalah Saina menghindariku. Ya, dia selalu berusaha untuk tidak terlibat lagi denganku, menganggap malam tersebut hanyalah sebuah kesenangan dunia yang harus segera dilupakan dan tidak untuk diingat.

Hingga tak terasa aku sudah melewati sebulan penuh dengan ditemani hari-hari yang aku anggap suram. Aku tetap memegang teguh prinsipku untuk tidak pernah melupakan gadis itu dan tentang apa yang sudah kita lalui. Tampaknya, penantian yang aku lalui tidak sia-sia. Di suatu pagi, aku mendapati Saina bertamu ke rumah kecilku dengan berurai air mata.

Aku tentu khawatir dan lantas bertanya. Awalnya gadis itu ragu untuk menjawab namun lama kelamaan akhirnya Saina membuka suara, memberitahu suatu hal yang mampu membuatku terkejut, bahagia bahkan sedih. Dia bilang, dia hamil seorang janin berusia empat minggu, dan karena itu dia diusir.

Aku tahu, itu anakku karena tidak mungkin Saina hamil anak pacarnya karena sewaktu kejadian itu, aku mendapati bercak merah di seprai pertanda hanya akulah yang menyentuh gadis itu. Dan lagi, yang aku ingat, rumor mengatakan jika Saina dan pacarnya telah putus karena pria tersebut lebih memilih adik Saina ketimbang Saina sendiri.

Aku dengan tangan terbuka menerima Saina untuk tinggal di rumahku, tiga hari kemudian aku melamarnya dan selama tiga hari sebelumnya, Saina selalu bersikap ketus kepadaku.

Aku akhirnya menikah, dan kami tidak mengundang terlalu banyak orang, hanya keluarga terdekat seperti saudara ibu dan ayahku, serta orang tua Saina. Tapi pasangan paruh baya yang bergelar sebagai 'orang tua' tersebut tidak datang sehingga hanya keluargaku saja yang datang.

Masih jelas terekam di benak bagaimana sedihnya Saina kala itu. Hari yang seharusnya dipenuhi suasana bahagia dan haru justru menjadi menyedihkan bagi Saina. Dan hal tersebut semakin membulatkan tekadku untuk membahagiakan gadis itu.

Untuk mahar sendiri sudah aku kirimkan ke kediaman orang tua Saina, tapi sayangnya mereka menolak mentah-mentah dan justru memberikanku surat berisi caci maki mereka padaku.

Pernikahan kami berjalan selama kurang lebih lima tahun. Pada tahun pertama aku terpaksa harus putus kuliah karena Saina ingin kuliah kembali dan aku tidak memiliki uang untuk membiayai kuliah dua individu, ditambah lagi keinginan Saina terhadap barang mahal membuat keuanganku semakin kacau.

Entah karena aku yang terlalu memaksa dan Tuhan membalasku dengan cobaan bertubi-tubi, Saina mengalami keguguran karena kelelahan, kami sempat bertengkar hebat dan lagi-lagi aku yang harus mengalah. Tak sampai di sana, warung warisan orang tuaku bangkrut sehingga membuat mentalku menjadi terganggu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena setelah tahun kelima pernikahan kami, aku tidak lagi bisa mengendalikan apa yang aku lakukan. Pikiranku seakan tidak bisa dikendalikan sehingga membuatku kerap kali linglung dan berakhir mengamuk. Meski begitu, aku masih bisa melihat wajah wanita yang dulu menatapku penuh kebencian beralih menjadi tatapan cinta yang dibalut rasa bersalah.

Ingin rasanya aku dekap, tapi aku tidak bisa mengendalikan diriku. Jika aku tetap memaksa, bisa-bisa bukannya mendekap, aku justru berbuat kekerasan. Aku ingin berteriak bahwa aku tidak ingin seperti ini, aku ingin hidup normal bersama wanita yang aku cintai.

Tapi apa boleh buat, bahkan aku tetap tidak bisa mengendalikan diriku hingga ajal hendak menjemput. Kewarasanku pulih ketika Saina berbisik di dekat telingaku. Dia berkata, "aku minta maaf untuk semuanya. Aku istri yang buruk, kalay memang kita bisa bertemu lagi aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku tidak peduli dengan hartamu, yang aku mau cuma kamu."

Pikiranku seolah terbuka, namun apa boleh buat, semuanya sudah terlambat. Aku menghembuskan napas terakhirku dengan kepala berpangku di pangkuan istriku.

Setidaknya itulah yang aku ingat sebelum aku menyadari jika aku kembali ke masa lalu dan kami baru saja memulai jenjang pernikahan kami. Sepertinya, itulah penyebab kenapa setelah aku terbangun, Saina bersikap begitu berbeda.

Sepertinya dia juga kembali ke masa lalu...

TBC.

NEXT Konflik mantan pacar, hehehe

EnervateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang