Permainan yang Tak Terucapkan

189 31 0
                                    

Cahaya pagi yang lembut menembus jendela dapur, menciptakan pendaran lembut di seluruh ruangan. Naruto, mengenakan apron biru pudar yang terikat di pinggangnya di atas celana jeans dan kaos, berdiri di depan kompor. Setiap kali ia membalik pancake, suara desisan panas dari wajan memecah kesunyian dapur yang tenang. .

Sasuke memasuki dapur dengan langkah tenang yang memancarkan kehadiran yang kuat. Ia mengenakan kaos abu-abu gelap dan celana jeans. Sasuke memilih kursi di meja dengan gerakan yang penuh keanggunan dan duduk dengan santai, tatapannya menilai setiap gerakan Naruto dengan ekspresi acuh tak acuh.

Naruto melirik ke belakang, berusaha untuk mempertahankan nada ceria yang terpaksa. "Selamat pagi, Sasuke. Pancake akan segera siap."

Sasuke meneguk kopi dari cangkirnya, matanya tertuju pada Naruto dengan sikap dingin dan tidak peduli. "Mari kita berharap rasanya lebih baik daripada yang terakhir."

Pegangan Naruto pada spatula semakin mengencang, buku jarinya berubah menjadi putih. Matanya menyipit, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun kemarahan mulai membuncah. "Apa maksudmu? Rasanya baik-baik aja kok."

Senyum tipis muncul di bibir Sasuke, matanya menyipit sedikit saat ia mengamati reaksi Naruto dengan penuh kepuasan. Senyum itu, meskipun halus, mengungkapkan betapa senangnya Sasuke dalam merespons kekesalan Naruto.

.
.
.

Sarapan disajikan dengan nuansa tegang. Naruto, wajahnya memerah campuran malu dan kesal, meletakkan pancake di atas meja dengan gerakan yang agak tergesa-gesa. Sikap santai Sasuke semakin mempertegas ketegangan di antara mereka. Saat mereka makan, komentar-komentar Sasuke disampaikan dengan lapisan sedikit sopan santun, namun nada sarkasme Sasuke jelas terasa.

"Apa kau mencoba resep baru? Rasanya... beda," komentar Sasuke, dengan nada yang penuh ejekan, suaranya dingin.

Wajah Naruto memucat, rahangnya mengeras menahan frustrasi. Ia berusaha fokus pada makanannya, tetapi setiap komentar Sasuke seperti tusukan kecil yang semakin menambah rasa kesalnya. "Tidak, resepnya sama. Mana bedanya."

Senyum Sasuke disembunyikan tapi matanya bersinar dengan kepuasan tersembunyi. Ia bersandar di kursinya, jelas menikmati efek dari kata-katanya pada ekspresi Naruto.

.
.
.

Perpustakaan, yang dikelilingi oleh rak-rak buku yang tinggi dan aroma buku-buku lama yang menenangkan, seharusnya menjadi tempat santai bagi Naruto. Mengenakan hoodie abu-abu dan celana olahraga, ia tenggelam dalam kursi empuk di sudut ruangan, mencoba menghilangkan diri dalam halaman novel yang ada di tangannya.

Sasuke, dengan kaos putih sederhana dan celana gelap, memasuki perpustakaan dengan langkah penuh tujuan. Gerakannya terencana, hampir seperti predator saat ia memilih sebuah buku dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Naruto.

Saat Naruto berusaha menenggelamkan diri dalam novel, kehadiran Sasuke menjadi semakin mengganggu. Naruto sesekali mengubah posisinya, membuat suara-suara kecil yang mengganggu.

"Buku paling baik dinikmati dalam keheningan total," kata Sasuke, suaranya mengandung nada sarkasme yang halus.

Kesabaran Naruto mulai menipis. Tangannya menggenggam buku dengan erat, sementara matanya berkilat menahan frustrasi. Akhirnya, ia tidak bisa lagi menahan kemarahannya. "Kau sebenarnya mau berbicara apa sih?"

Tatapan Sasuke bertemu dengan mata Naruto, matanya bersinar dengan kegembiraan yang tak terucapkan. Ia tetap diam, tetapi senyum tipis di bibirnya menunjukkan bahwa ia menikmati ketidaknyamanan yang dialami Naruto.

Ketegangan antara mereka semakin meningkat saat Naruto berusaha mempertahankan ketenangannya. Setiap komentar Sasuke, yang tampaknya dirancang untuk memprovokasi Naruto, hanya memperburuk rasa frustrasi yang sudah membesar.

Pengantin yang DitukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang