Gema Ketidakpuasan

179 27 0
                                    

Seperti biasa, Matahari pagi baru saja mulai merayap di atas cakrawala, memancarkan sinar keemasan lembut melalui jendela-jendela besar di kediaman Uchiha. Ruangan yang biasanya tenang kini terasa berat dengan ketegangan yang tak terucapkan. Naruto sudah berada di dapur, gerakannya cekatan dan terlatih saat ia menyiapkan sarapan. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan jeans, pakaian santai yang kontras dengan kegundahan di pikirannya.

Naruto bergerak di dapur dengan rutinitas yang hampir otomatis. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan bau bacon yang sedang digoreng, memenuhi ruangan dengan bau yang menghibur namun gagal menutupi ketidaknyamanan yang tersisa di udara.

.
.
.

Sasuke, berpakaian kemeja biru navy dan celana gelap, masuk ke dapur dengan langkah yang anggun namun terkesan dingin. Ekspresinya kaku, matanya yang gelap menunjukkan kelelahan dan ketidakpuasan. Ia duduk di meja dapur dengan postur tegak, menatap cangkir kopi di depannya dengan intensitas yang menyiratkan kegundahan batin. Uap dari cangkir kopi yang panas tampak sebagai satu-satunya sumber kehangatan di ruangan yang dingin.

Naruto mencuri pandang ke arah Sasuke, berusaha memahami suasana hati pria itu. Meski tak ada kata-kata yang terucap, keheningan di antara mereka seolah berbicara. Jarak emosional yang diciptakan Sasuke terasa nyata, dan Naruto merasakan adanya sesuatu yang salah—emosi yang telah menggelora sejak hari pernikahan yang kacau.

.
.
.

Suara lonceng pintu tiba-tiba memecah keheningan, mengejutkan Naruto dan Sasuke. Jantung Naruto terasa berdebar, menyadari bahwa kedatangan Sakura kemungkinan akan mengguncang ketenangan pagi ini. Dengan napas berat, ia melangkah menuju pintu depan, setiap langkah terasa penuh antisipasi.

Saat ia membuka pintu, Sakura berdiri di sana dengan penampilan yang mencerminkan campuran kerentanan dan tekad. Mengenakan blouse pink pucat dan rok yang mengalir, wajahnya tampak lelah dan merah karena kurang tidur serta kekacauan emosional. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum memulai percakapan.

"Aku perlu bertemu Sasuke," katanya, suaranya bergetar namun tegas.

Naruto mengangguk, menatap Sakura dengan simpati. "Silakan masuk."

.
.
.

Naruto memimpin Sakura ke dapur, di mana Sasuke duduk dengan sikap yang menegangkan dan tidak menyambut. Mata Sakura mencari tatapan Sasuke, dipenuhi campuran harapan dan kecemasan. Ia melangkah maju dengan hati-hati, tangan terlipat canggung di depan tubuhnya.

"Sasuke," Sakura memulai, suaranya bergetar lembut, "kita perlu bicara. Aku tidak bisa terus seperti ini tanpa tahu di mana posisiku denganmu."

Tatapan Sasuke sesaat melirik ke arah Sakura sebelum kembali menatap cangkir kopi. Diamnya seperti tembok, penghalang yang menyiratkan ketidakpedulian. Kejadian pernikahan—pelarian tiba-tiba Sakura dan peran tak terduga Naruto—telah meninggalkan Sasuke dalam keadaan terpojok dan emosional.

Wajah Sakura memerah, dipenuhi kemarahan dan rasa sakit hati. "Aku kira kita memiliki sesuatu, Sasuke. Kenapa kau menutup diri dariku?"

Sasuke hanya memiringkan kepalanya, ekspresinya datar dan impasif. Ia menyesap kopi dengan lambat, gerakan yang tampak hampir acuh. Beban tindakan Sakura, pelariannya dari pernikahan, adalah luka yang belum sembuh. Kehadirannya kini seperti pengingat menyakitkan dari kekacauan dan rasa malu hari itu.

Menyadari ketegangan yang meningkat, Naruto campur tangan dengan suara lembut dan menenangkan. "Sakura, mungkin kita semua perlu mundur sejenak. Ini tidak membantu siapa pun."

Sakura menoleh ke Naruto, matanya penuh harapan akan pemahaman. "Aku hanya perlu tahu kenapa dia menghindar dariku. Aku kira kita punya masa depan bersama."

Tatapan Naruto melunak, dan ia memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Kadang-kadang, orang perlu waktu untuk memproses perasaan mereka. Berbicara terlalu cepat bisa membuat segalanya semakin buruk. Mungkin memberi sedikit ruang akan membantu."

Frustrasi Sasuke semakin terlihat, meskipun ia tetap diam. Matanya, biasanya dingin dan jauh, kini menunjukkan kilatan keputusasaan. Kenangan akan keluarnya Sakura secara dramatis dari pernikahan telah melukai harga dirinya dan sangat mempengaruhi emosinya. Usahanya untuk kembali ke hidupnya terasa seperti pelanggaran.

Tidak mampu menahan konfrontasi lebih lanjut, Sasuke berdiri secara tiba-tiba. Gerakan itu tajam dan tegas, memecah ketegangan di ruangan. "Sakura, aku sudah jelas tentang posisiku. Aku perlu kau pergi. Aku tidak bisa terus berbicara tentang ini."

Wajah Sakura merosot, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kau melakukan ini? Kita bisa menyelesaikannya."

Tatapan Sasuke semakin keras. "Aku tidak ingin menyelesaikan apapun. Pergilah."

Sakura berdiri dengan hati hancur akibat kata-kata Sasuke. Ia menoleh pada Naruto, matanya mencerminkan kesedihan dan kebingungan. "Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa."

Naruto meletakkan tangan yang menenangkan di bahunya, menawarkan senyuman simpatik. "Kadang-kadang, memberi seseorang ruang adalah cara terbaik untuk membantu mereka menemukan kejelasan. Aku di sini untukmu, Sakura."

Dengan hati yang berat, Sakura berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah terasa seperti beban yang diangkat, meskipun digantikan oleh rasa kehilangan yang mendalam. Saat ia meninggalkan kediaman Uchiha, ia melirik sekali lagi ke belakang, ekspresinya campuran pengunduran diri dan harapan.

Setelah Sakura pergi, Sasuke kembali ke perpustakaan, tempat perlindungannya dari kekacauan emosional. Perpustakaan, disinari oleh cahaya lembut sore hari, adalah tempat yang damai untuk introspeksi. Rak-rak buku dan jendela besar yang menghadap ke taman menciptakan suasana yang tenang.

Naruto mengikuti Sasuke, merasakan kebutuhannya akan ruang tetapi juga ingin menawarkan dukungan. Ia duduk di meja terdekat, menghormati kebutuhan Sasuke untuk diam.

"Apakah kau ingin membicarakan sesuatu?" tanya Naruto lembut, suaranya penuh perhatian.

Sasuke menggeleng perlahan, ekspresinya lelah dan hampa. "Tidak sekarang. Aku masih memproses semuanya."

Naruto mengangguk, memahami kebutuhan Sasuke akan kesendirian. Ia tetap duduk di meja dengan tenang, memberi Sasuke ruang untuk mengatasi emosinya.

.
.
.

Sementara itu, Sakura berjalan mengendarai mobilnya jalan-jalan Konoha, hatinya dipenuhi dengan rasa penolakan dan kebingungan. Ia menemukan ketenangan di taman yang sepi, di mana bunga yang mekar dan angin lembut menawarkan istirahat sejenak dari kekacauan emosionalnya. Keluar dari mobil sebelum duduk di bangku, ia mengeluarkan ponselnya dan membaca pesan dari Naruto, yang menawarkan kata-kata dukungan dan dorongan.

Jari-jarinya melayang di atas layar saat ia mengetik balasan, mengungkapkan rasa terima kasihnya atas kebaikan Naruto. Kata-kata itu menjadi obat bagi jiwanya yang terluka, memberikan sedikit kenyamanan di tengah patah hati.

.
.
.

Saat hari beralih menjadi malam, Naruto dan Sasuke berada di ruang tamu sekali lagi. Ruangan itu disinari oleh cahaya lembut matahari terbenam, menciptakan suasana yang menenangkan yang kontras dengan ketegangan sebelumnya.

Naruto melirik Sasuke, yang sedang menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya. "Apa kau ingin membicarakan sesuatu?" tanya Naruto, suaranya penuh perhatian lembut.

Tatapan Sasuke tetap tertuju pada cakrawala, ekspresinya mencerminkan beban pikirannya. "Tidak sekarang. Aku masih mencoba memahami semuanya."

Naruto menawarkan senyuman hangat, matanya mencerminkan pemahaman yang tenang. "Tidak apa-apa. Ketahuilah bahwa aku di sini jika kau perlu berbicara."

Sasuke mengangguk, kilatan penghargaan terlihat di matanya. Keheningan di antara mereka adalah bukti kedalaman ikatan mereka yang berkembang. Meskipun tidak diucapkan, ada pemahaman timbal balik yang memberikan rasa nyaman.

TBC

Pengantin yang DitukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang