Arus yang Berubah

167 29 0
                                    

Cahaya matahari pagi pertama bersinar lembut masuk melalui jendela besar di rumah Uchiha, menerangi seluruh dapur yang luas dengan keemasannya. Cahaya hangat ini menghiasi permukaan meja dapur. Bau kopi segar mengisi udara, memberikan rasa hangat dan nyaman yang menenangkan. Naruto dengan cekatan membalik pancake di atas wajan dengan penuh keyakinan. Dia mengenakan kaos biru terang dan jeans yang agak pudar, terlihat santai seolah pagi ini adalah momen tenang dari kehidupan yang penuh gejolak akhir-akhir ini.

Pikiran Naruto melayang pada pertengkaran antara Sasuke dan Sakura yang belum terselesaikan. Ketenangan pagi ini terasa seperti istirahat singkat yang akan segera terganggu oleh masalah rumit

.
.
.

Lonceng pintu berdenting tajam, memecah keheningan pagi, dan menarik Naruto dari lamunannya. Dengan hati-hati, ia meletakkan spatula dan mengusap tangan pada handuk dapur yang mulai kotor. Saat pintu terbuka, Sakura muncul di ambang pintu. Wajahnya mencerminkan tekad dan kelelahan; matanya lelah namun penuh semangat. Sakura mengenakan jas navy dan rok senada, rambutnya disusun rapi.

"Selamat pagi, Naruto," sapanya, meskipun ceria, terdapat nada kepaksaan yang tidak dapat disembunyikan.

"Naruto tersenyum ramah. "Selamat pagi, Sakura"

"Aku perlu bicara dengan Sasuke," jawab Sakura, suaranya serius namun juga ragu.

Naruto mengangguk, memimpin Sakura melintasi rumah yang sunyi. Langkah mereka terdengar di atas lantai kayu yang berkilauan, diselingi dengan suara hak sepatu Sakura yang bergema lembut. Ketegangan mencuat di antara mereka, terasa dalam setiap gerakan dan sikap Sakura.

.
.
.

Saat mereka memasuki dapur, Sakura mendekati Sasuke yang duduk di meja sarapan, tenggelam dalam tablet yang dibacanya. Sasuke mengenakan sweter abu-abu dan jeans gelap, tampak santai dalam posisinya, namun ekspresinya menunjukkan jarak emosional yang jelas. tablet itu seakan menjadi perisai, membentuk penghalang antara dirinya dan dunia luar.

Sakura membersihkan tenggorokannya dengan lembut, suaranya bergetar dalam suasana yang tegang. "Sasuke, kita perlu bicara. Kita tidak bisa terus menghindari masalah ini."

Sasuke melirik sekilas ke arah Sakura sebelum kembali fokus pada layar tablet. Ia menyesap kopi dengan lambat, ekspresinya sulit dibaca, seolah membiarkan keheningan berbicara untuknya. Keheningan yang berat menggantung di udara, dipenuhi dengan frustrasi yang tidak terucapkan dan ketegangan yang mengambang.

Naruto, merasakan ketegangan yang meningkat, terus menyiapkan sarapan dengan gerakan yang lembut dan menenangkan. Bunyi piring yang bertabrakan dan desisan wajan memberikan latar belakang yang menenangkan, berusaha meredakan suasana yang membeku. Ia melirik Sakura, melihat bagaimana ia berjuang untuk berbicara dengan Sasuke di tengah ketegangan yang meningkat.

.
.
.

Melihat frustrasi Sakura yang semakin mendalam, Naruto memutuskan untuk ikut campur tangan dengan lembut. Ia meletakkan tangannya di bahu Sakura, sentuhannya lembut dan menenangkan. "Mungkin akan lebih baik jika kita membahas ini sambil sarapan. Kadang-kadang, berbicara saat makan bisa membuat semuanya terasa lebih ringan."

Sakura menatap Naruto, matanya memancarkan campuran rasa syukur dan kesedihan. Ia mengangguk, menerima tawaran itu, dan duduk di meja dengan sedikit berat hati. Naruto mulai menyajikan sarapan dengan gerakan yang tenang dan penuh perhatian, berharap menciptakan suasana yang lebih santai di meja.

Saat mereka duduk untuk makan, Naruto mencoba memasukkan sedikit keceriaan ke dalam percakapan. "Jadi, Sasuke," ia memulai dengan nada ceria, mencoba menarik perhatian Sasuke, "apa kau membaca buku menarik belakangan ini?"

Pengantin yang DitukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang