01. seorang kekasih yang hilang

69 7 0
                                    

Jiwa kita adalah api yang berkobar, menjelma atma dalam segala ada— bila suatu waktu padam, bisa jadi berakhir melalui dua jalan; sumbu yang habis terbakar, atau angin yang bertiup terlalu kencang.

━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━

Pemuda itu bungkam, semua macam emosi sudah luruh redam. Yang tersisa kini cuma sebuah harap, semoga kekasihnya tidur dengan nyenyak di dalam tenda yang hangat, tiada suatu apa pun yang membangunkan atau mengganggu lelapnya sampai pagi menjelang. Biar malam ini, ia menderita sendiri— mati sendiri, menjadi kaku dalam sunyi. Ia tak tahu sudah melakukan apa, segala yang baru saja ia alami tidak bisa lagi dicerna oleh kepala.

Orang-orang itu siapa, mengapa menahan dirinya atas nama yang bahkan Felix tidak tahu bagaimana wujudnya. Ia tak pernah melihat wajah sang ayah, apalagi ibunya. Ia cuma seorang pemuda yang tumbuh besar di sebuah panti milik gereja, bersama kakak dan adik perempuannya. Kendati kini, ia tak tahu lagi di mana dua saudarinya itu. Dewasa merampas banyak hal, dan di kota dekat pelabuhan besar tempatnya tinggal itu, hidup cuma mengandalkan satu atau dua pekerjaan dengan gaji tak seberapa besar jelas tidak cukup. Maka dari itu, selepas keluar dari panti, mereka memutuskan untuk berpisah. Tidak bertukar nomor telepon, hidup masing-masing berbekal kata bebas— dari kehidupan panti yang mencekik, dari gereja sesat yang pelan-pelan menghisap habis kewarasan.

Ia tak punya siapa pun. Kalau ia benar bakal mati malam ini, barangkali tak akan ada yang mencari. Keluarga tak punya, hanya ada seorang kekasih saja. Sebut ia lancang, sebab berani mengencani anak semata wayang seorang konglomerat yang menurut rumor beredar adalah penyumbang dana terbesar dari beasiswa yang diterimanya di awal perkuliahan dua setengah tahun silam. Ia pun tahu, betapa besar rasa tak suka yang diemban oleh keluarga sang kekasih sebab menjalin hubungan dengan dirinya yang bukan siapa-siapa.

Kalau ia benar mati malam ini, barangkali orang-orang itu akan senang bukan main. Bak berhasil mengusir seekor kecoa di antara kupu-kupu bersayap emas. Bahkan pada detik-detik nafasnya yang mulai memberat, Felix tak mengerti mengapa jauh di dalam hatinya yang barangkali sudah koyak sebab ditusuk-tusuk menggunakan entah apa itu, ia memikirkan Lia. Ia memikirkan bagaimana pagi gadis itu saat terbangun seorang diri di dalam tenda yang barangkali membeku resletingnya— dan bagaimana reaksi beberapa teman-teman sang kekasih, saat menyadari ia telah tiada di tempat yang seharusnya.

Mereka, mungkin senang. Mungkin tatapan tak terima yang dilayangkan pada Lia pada akhirnya akan hilang. Dibanding teman-teman Lia, Felix sadar ia bukan apa-apa. Background keluarga yang tidak jelas, uang yang selalu dicari setiap waktu, semuanya— ia tahu ia bukan golongan anak-anak yang datang dari kalangan sendok emas. Berbeda dengan Hyunjin dan saudara kembarnya, atau Han dan pacarnya, lebih-lebih lagi Seungmin; mereka punya semuanya, segala yang dimau didapat dengan mudah. Begitu juga Lia, kekasihnya bak tuan putri dari istana— sedangkan Felix, barangkali cuma seorang pelayan kelas kroco, yang paling rendah.

Tapi, mengapa ia masih merindukan Lia? Berharap tidur gadis itu tak tenang, dan terjaga, dan bergerak mencarinya. Mengapa Felix jadi berharap supaya ia hidup sedikit lebih lama? Bukankah jika ia mati, kehidupan penuh tatapan hina yang ditujukan padanya juga akan tiada? Kemudian ia tak payah lagi bekerja di empat tempat yang berbeda, dimaki habis-habisan karena telat membayar sewa apartemen, dan yang buruk-buruk yang selama ini ia terima. Mengapa ia ... begitu merindukan Lia?

Sekali saja, ia ingin melihat wajah itu. Senyumnya yang manis, rambut panjang tergerai. Gadis yang manja dan akan menangis kala mendapatinya terluka, kendati cuma sebesar jarum saja— kalau Felix mati hari ini, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri. Kalau ia mati hari ini dan di jauh sana Lia menangis sebab tak berhasil menemukannya, Felix tak ragu mengutuk habis-habisan malaikat maut yang akan menjemputnya. Kendati sebelum itu, barangkali jiwanya bakal lenyap lebih dulu.

"Lia ..."

"Oh, masih hidup rupanya," bersama dengan suara itu, kepalanya yang tertunduk lesu dan berdarah disapa menggunakan kayu batangan. Ia dipaksa mendongak dengan pandangan yang total buram— tangannya sakit, diikat berjauhan pada sebuah tiang; orang-orang yang kejam, ia tak dibiarkan mati dengan tenang.

"Kita buang saja. Dia tidak akan hidup dengan kondisi seperti itu kalau kita membuangnya."

Ada tiga orang di dalam rumah kayu di ujung tebing itu; yang dua berdiri tanpa luka, yang satu terikat dan sekarat. Di bawah sana ombak menghantam karang, suaranya keras menggelegar. Barangkali sudah malam benar, sunyi sekali dari riuh manusia— Felix tak menyenangi malam yang mencekam, jadi ia mulai lapang bilamana malaikat maut bakal datang. Tak ada cahaya di ruang itu, tapi pintu yang terbuka mempersilakan cahaya bulan malu-malu menyapa. Itu tidak terang, sama sekali, tapi cukup untuk membuat Felix sadar bahwa ia ada di dalam sebuah rumah entah milik siapa. Bau kayu dan darah yang menyatu, rasa dingin yang menjalar dari lantai yang berderit sewaktu dua pria itu bergerak melepas ikatannya— tahu-tahu, air matanya turun tanpa permisi; tanpa isakan, tanpa suara, hanya mengalir dengan deras begitu saja.

Salah seorang pria yang memaksanya untuk berdiri pun tertawa remeh, kepalanya kemudian ditoyor tanpa beban, membuat Felix kian merasa menyedihkan. Yang satu mengambil karung, membungkus kepalanya yang berdenyut dengan itu dan mengikatnya di ujung leher menggunakan tali. Felix berhadapan dengan gelap, lagi. Ia dipaksa melangkah keluar rumah— lantai kayu, lantai kayu, lantai kayu, anak tangga tiga turunan, tanah, rumput basah. Ia mendengar suara ombak dan angin, luka-lukanya pun terasa mendingin kendati perit yang ada sama sekali tidak reda.

Rumput basah itu kemudian habis, bersama dengan dorongan pada punggungnya yang penuh memar, si pemuda dipaksa meninggalkan ujung tebing. Ia melayang di udara dan bergelut dengan angin musim gugur yang teramat dingin. Tangannya mengais kekosongan, sampai kemudian mendarat di antara air dan batu karang. Felix mencicip asin, tapi ia tahu itu bukan air laut— ia tak lagi mendengar suara dua laki-laki kejam itu, yang ada cuma kecipak air di antara karung yang membungkus suaranya. Ia tahu sewaktu tubuhnya yang penuh luka kemudian tersapu ombak besar, membawa raganya yang semula tertusuk karang-karang nan tajam itu terhempas jauh ke lautan.

Felix tahu, ia akan mati. Ia tak mungkin terselamatkan. Ia pasti mati. Jadi, ia menutup mata erat-erat sebelum udara dalam karungnya lenyap. Tangannya tak mengais lagi, kakinya berhenti mengayun. Bahkan di saat-saat terakhir hidupnya, yang ia lihat adalah Lia— yang kemudian musnah bayangnya, bersama nyawa yang terangkat naik begitu saja. Ia tak akan menyumpahi malaikat maut yang datang menjemput, ia akan mengulurkan tangan dengan lega dan lapang; selesai sudah sekarang.

Malam itu, kekasih seseorang telah hilang.

━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠
.

.

.

.

.

To be continued

Deep EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang