03. laut yang terbakar

29 5 0
                                    

Dum spiro, spero.

━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠━⁠

Tengah malam, lebih sedikit. Hari telah berganti, saat Lia akhirnya memutuskan untuk tidur di dalam van saja, alih-alih menetap bersama dengan Yeji dan Chaeryeong —ia mengenal gadis yang setahun lebih muda darinya itu sebagai kekasih dari Han Jisung, di tenda. Bukan apa-apa, hanya saja di luar menurut Lia terlalu dingin. Sementara untuk alasan lain, Yeji mendengkur keras sekali setelah mabuk berat bersama Seungmin. Lagi, Chaeryeong tidur seperti orang mati dengan bau alkohol menyeruak memenuhi tenda. Lia tidak akan munafik, ia mengonsumsi alkohol juga, hanya saja malam ini suasana hatinya buruk, sehingga meninggalkan meja lebih dulu.

Selain karena terkenang akan atmosfer lama bersama kekasihnya di tempat yang sama, ia juga kehilangan minat untuk lanjut mengobrol lebih lama selepas Hyunjin membuat keributan —kekasihnya juga andil, jadi itulah mengapa kini Shin Ryujin sudah tidak ada lagi di sini bersama mereka. Lia bukan tidak mau mengerti, tapi berapa kali pun ia mencoba memahami, tidak ada yang bisa ia tangkap selain Hyunjin kawannya itu menjalani hubungan yang rumit. Dan Lia, ia tidak suka dengan hal-hal yang rumit— kebalikannya, ia menyenangi hidup yang biasa-biasa, kalau bisa damai terus (kendati ia tahu, ini tidak mungkin). Itu juga adalah alasan ia mengencani Felix sebelum benar-benar cinta, karena pemuda itu memang sangat apa adanya, terlebih saat sedang bersamanya, tidak ada yang ditutup-tutupi.

Lalu saat ia baru akan membuka pintu belakang van putih milik ayahnya itu, tahu-tahu tangan Hyunjin menyambar lebih dulu. Pemuda itu setengah mabuk, Lia tahu— karena Hyunjin mengekorinya saat pergi meninggalkan meja lebih dulu beberapa waktu tadi. Mukanya masih sama frustrasi, sekarang kelihatan lebih buruk dengan mata setengah bahas seolah baru saja selesai menangis. Atau jangan-jangan, memang benar Hyunjin habis menangis.

"You good, bro?"

"Menurutmu saja?" dan bunyi sedotan ingus pun terdengar dengan kerasnya, membuat Lia kontan memasang ekspresi jijik; teramat geli, juga sedikit lucu mengingat baik Hyunjin maupun dirinya bukan sedang berada di usia remaja lagi. Kendati demikian, bukan berarti orang dewasa tidak diizinkan untuk menangis. Itu boleh, Lia kadang melakukannya sambil memandangi foto Felix yang diam-diam ia sembunyikan di lemari paling bawah, sebab kalau orang rumah sampai tahu, pasti bakal dibuang jauh-jauh bahkan dimusnahkan.

Bahkan setelah pemuda itu menghilang, ia masih disalahkan atas rasa kehilangan yang Lia alami. Felix disalahkan atas rasa sedih dan putus asa yang melanda Lia hingga kehidupan sosial gadis itu jadi berantakan tidak tertata. Ia disalahkan atas apa saja, bahkan atas sesuatu yang barangkali tak pernah benar-benar dilakukan olehnya. Lia tidak mengerti mengapa keluarganya sangat tidak menyukai Felix. Setiap kali Lia bertanya soal alasan, yang didapatnya selalu jawaban berbunyi perbedaan kelas sosial di antara mereka.

"Kau menangis? ... Beneran menangis?" itu untuk memastikan saja, soalnya bukan sekali dua kali Hyunjin menyedot ingusnya sendiri dengan bunyi sekeras itu. Seperti anak sekolah dasar yang sengaja ingin memberitahukan pada semua orang bahwa ia baru saja menangis, seperti itu. Wajahnya yang sudah jauh dari rupa anak-anak, jelas jadi kelihatan lucu— seperti orang dewasa yang depresi berat setelah diceraikan istri dan tak memenangkan hak asuh anak. Pokoknya, lucu sekali. Tapi meski demikian, Lia tak ingin mengacau lebih jauh, sehingga ia lantas bicara lagi, "Mau minum bir?"

"Kau yang terbaik!" tahu-tahu pemuda itu semangat lagi, kendati berikutnya secepat itu pula ia bersedih lagi. Tangannya yang satu masih memegangi pintu, sementara satunya mengusap-usap perut. Matanya yang berair itu kemudian menatap Lia dengan pandangan jengkel, membuat si gadis mengangkat tangan dan mendorong wajah menggelikan itu menjauh.

Deep EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang