Tiada ruang yang teramat kosong daripada berharap seseorang untuk datang.
━━━━━━━━━━
Sebab Lia tak punya tujuan utama, ia memilih untuk berkeliling saja. Mungkin setengah sampai satu jam, kemudian kembali ke van untuk menendang Hyunjin keluar. Ia sudah membeli cokelat panas dan menggunakan jaket tebal, jadi Lia kini sedang jauh dari yang namanya kedinginan. Tak jauh dari bumi perkemahan, ada sebuah danau yang sempat mampir ke pikirannya beberapa waktu silam. Ada cukup kenangan manis di tempat itu, jadi Lia berjalan dalam sunyi menuju ke sana.
Ia tak takut disakiti oleh siapa pun itu, soalnya tempat ini terbilang aman. Ada pos jaga di bagian gerbang masuk bumi perkemahan, tiada boleh orang asing mengakses begitu saja. Ada syarat-syarat seperti kartu tanda anggota dan bukti sewa, atau apalah itu Lia tidak terlalu peduli soalnya Seungmin dan Yeji sudah mengurusnya.
Di kade danau yang sederhana itu, Lia berjalan hingga sampai ke bagian ujung. Jembatannya terbuat dari kayu, begitupula dengan pembatasnya. Ia lantas duduk sendiri saja memandangi langit malam yang sama sekali bebas dari bintang dan bulan. Bagusnya, penerangan umum di sekitar masih cukup bercahaya untuk bisa membuat matanya melihat muka danau dengan jelas. Kendati remang, airnya yang tenang nampak mengkilap dan sedikit bergelombang sebab angin juga tengah bertiup samar-samar.
Sebelumnya, Lia tak pernah merasa sebegitu sendirian dan kesepian. Tapi, setelah mengenal Felix rasanya banyak hal telah berubah. Ia yang biasanya tak masalah pergi ke mana-mana sendiri, jadi merasa aneh sewaktu tak ada yang menemani. Tapi, Lia pun enggan meminta barang salah seorang teman untuk ikut serta— ia tak senang soal merepotkan dan direpotkan.
"Hah ...." malam jadi berat, menyadari bahwa ia sekarang sendiri, dan sewaktu mendengar kecipak air di sekitar kakinya yang berayun-ayun di atas muka danau, Lia bergidik. Hendak diangkatnya kaki itu, tapi sesuatu yang teramat halus nan dingin menariknya lebih dulu.
Dan sebab penerangan yang kurang, yang bisa ditangkap oleh mata Lia cuma sebatas bayang-bayang hitam yang pekat, melingkari pergelangan sebelah kakinya. Lalu menariknya pelan-pelan, tapi kuat. Lia mundur dengan tegang, panik menyelimuti. Sewaktu ingin berteriak, udara di sekitarnya seolah habis terhisap oleh sesuatu entah apa. Rasanya sesak, suaranya tak ada yang keluar.
Sedetik kemudian, ia jatuh, menyisakan kecipak air yang sayup-sayup suaranya hilang ditelan malam. Sebanyak apa pun Lia mengais ke atas, ia malah makin terseret ke bawah. Anehnya, di dalam danau tidak segelap itu. Ia melihat tangan-tangan hitam yang jumlahnya tidak sedikit, pelan-pelan merengkuhnya, membawanya terus menuju ke bawah— nafas Lia hampir habis, kakinya tak lagi bisa bergerak sebab banyak sekali tangan yang menahan.
Yang dilakukannya kemudian adalah menutup mata rapat-rapat, membiarkan pelan-pelan sisa oksigen di rongga dadanya raib sendiri. Di bawah danau jadi tak seterang tadi. Airnya terus mendingin, telinganya berdering nyaring. Lia pernah menolak diajari berenang karena berpikir Felix akan selalu ada bersamanya, jadi ia tak payah susah-susah mempelajari hal itu. Dan di sisa-sisa nafasnya, Lia tahu-tahu merasa teramat menyesal. Ia ingin meminta maaf pada Felix, sebab telah menolak kebaikan pemuda itu soal belajar berenang.
Hyunjin, Lia berharap entah karena suatu hal atau apa, semoga si bodoh itu mencarinya, menemukannya, menyelamatkannya. Sebab tak ada yang bisa diharapkan oleh Lia selain kedatangan Hyunjin. Atau anggap saja Lia bodoh, bodoh sekali, terjebak di masa lalu, atau entah apalah itu— ia ingin Felix datang, seperti dulu, membawanya menepi dengan sabar.
━━━━━━━━━━
Hyunjin menyedot ingusnya keras-keras, seperti bocah yang habis kena marah lalu menangis sebab merasa tak terima— ah, kalau saja hubungannya dengan Ryujin tidak serumit ini. Ia pikir semua bakal baik-baik saja, sampai kemudian manusia bermarga Choi itu sungguhan menunjukkan di mana posisi Hyunjin sebenarnya. Yang jelas, di tempat yang paling tidak diuntungkan. Posisi yang sangat rawan, untuk dibuang dan dilupakan. Tapi toh, di saat sekarang Hyunjin dari menyadari suatu hal. Bahwa di setiap cerita tentang orang-orang yang sedang jatuh cinta, di situ pula ada sedikit banyak orang yang harus dibuang untuk melanjutkan kisah yang ada.
Barangkali, Hyunjin yang mengambil peran itu.
Barangkali— ah brengsek, Hyunjin tidak mau jadi orang yang terbuang. Dilupakan. Padahal, pernah terkait. Hyunjin kan bukan penghibur. Ia tulus menyayangi Ryujin, kendati sudah lama tahu bahwa di belakang mereka ada Beomgyu. But bro just didn't know that he's being stupid.
Satu sedotan ingus lagi, dengan mata yang barangkali sudah sembab benar. Pemuda yang sedang menopang dagu dengan siku bertumpu pada bingkai jendela mobil itu lantas mendengus. Batinnya tahu-tahu panas, emosinya sudah sarat, Aku barusan ngapain sih? Nangisin apa?
Sampai kemudian matanya tahu-tahu jadi nyalang menatap ke arah lautan. Ya, walau sesekali tetap menyedot ingusnya yang terus turun sebagai bayaran atas air mata yang telah ditumpahkan secara banyak-banyak. Ia kemudian berpikir, apakah badai akan datang sebab tahu-tahu angin jadi sangat kencang. Ombak bergulung-gulung, mata Hyunjin jadi perih dan makin menyipit.
Ia pikir meteor, tapi Hyunjin ingat soal cara kerja gravitasi. Walau Hyunjin tidak menekuni dunia ilmu soal itu, ia benar ingat tentang segala hal yang ada di bawah atmosfer Bumi pasti akan jatuh, terus menuju ke bawah. Namun gumpalan api yang besar itu keluar dari laut, menyalakan ombak, meninggalkan bara yang lenyap bersama dengan ribuan buih. Terus ke atas seperti roket yang lepas landas, di antaranya samar-samar Hyunjin melihat seseorang— dilingkupi oleh api yang sangat terang dan merah menyala.
Hyunjin jadi menggosok-gosok mata, mau menolak percaya tapi gumpalan api sebesar manusia dewasa itu masih di sana. Melayang di atas langit yang gelap, seolah sengaja datang untuk membagi cahayanya. Susah payah kemudian ia menelan ludah, sementara api itu melesat cepat sekali sampai langit malam jadi gelap lagi.
Untuk yang kali kedua, Hyunjin menggosok mata. Untuk yang kali sekian, ingusnya balik turun— tidak ia sedoyo, segalanya tahu-tahu jadi membingungkan untuknya. Hyunjin menangis lagi, meratap apakah ada yang salah dengan matanya. Apakah alkohol sudah merusak cara kerja otaknya, apakah Lia tidak apa-apa jika ia tetap di sini saja?
Hyunjin lantas meringkuk memeluk diri selepas menutup jendela dan mengunci rapat pintu yang ada. Merinding bukan main, tapi terlanjur pusing. Kalau tidak salah, ia minum banyak bir kaleng dari tempat penyimpanan air dingin— tidak tahu punya siapa, sesaat setelah Lia pergi beberapa waktu lalu. Hyunjin tidak tahu yang baru saja menyambangi pandangannya itu apa, yang jelas kalau itu sejenis setan, roh jahat, atau hasil sekutu dengan iblis yang kemudian membuat manusia bisa kebal api dan menaiki motor seperti dalam film yang pernah ditontonnya, atau barangkali iblis dari neraka yang harus darah manusia, atau apalah itu— Hyunjin akan selamat selama bersembunyi di dalam mobil.
Ia tidak khawatir tentang yang lain, soalnya Seungmin termasuk orang yang beriman, begitupula dengan Yeji. Yang lain juga Hyunjin ingat mereka memakai atribut keagamaan, yang berarti mereka percaya pada Tuhan. Pacarnya Han punya kalung salib, Yeji memakai gelang dengan tanda yang sama. Kalau Hyunjin, sering memakai kalung juga— tapi, untuk gaya-gayaan saja. Jadi, kalau benar gumpalan api sebesar manusia dewasa itu adalah sesuatu dari dunia lain yang menginginkan jiwanya, Hyunjin merasa sudah benar sebab berhasil menyembunyikan diri di dalam mobil seorang diri.
"Ah, apa itu juga ya yang tadi dilihat oleh Lia?" ia menggumam sendiri sambil merapatkan selimut, "Tapi, Lia kan mabuk. Mungkin dia membual."
Pentingnya sebuah kaca.
━━━━━━━━━━
.
.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep End
FanfictionUntuk menyalakan api, korek membakar diri. ━━━━━━━━━━ cover by canva.