Mereka adalah sekelumit asa yang nyaris mati, gencar menolak untuk pergi, membiarkan hati masing-masing terhantui, oleh nyawa mereka sendiri.
━━━━━━━━━━
Pada detik-detik terakhir nafasnya yang sayup berubah jadi buih dan lebur di muka danau, mata Lia yang kabur menangkap sesuatu yang bercahaya. Terang sekali, seperti api, seperti bukan, seperti api yang menyala-nyala. Kemudian ia merasa terbebas, tangannya tak lagi dicekal, kakinya tiada lagi yang menahan. Di bawah danau jadi terang sekali, tapi Lia sudah kepalang menyedot terlalu banyak air— ia menebak, sebentar lagi bakal mati.
Sewaktu Lia mau menutup mata lagi, ia rasakan sesuatu merengkuh pinggangnya. Ia lantas ditarik ke atas, sampai kepalanya balik menyapa udara. Lia tidak bisa bernafas, sesak sekali segala yang ada. Tahu-tahu semua jadi buram, sekitar menggelap, tapi Lia yakin betul dirinya tengah dipeluk oleh api yang menyambar-nyambar. Anehnya, ia merasa hangat, bukan terbakar, dan hilang.
Lantas si api redam, ia tak lagi menyala dan menyalak selayak sewaktu dirinya terbang. Mukanya yang basah dengan sisa-sisa air nampak kecewa bukan main. Ia terlambat, sebagian besar jiwa si gadis telah diambil oleh yang tinggal di bawah danau. Bayang-bayang hitam milik orang-orang yang mati tenggelam dan kematiannya tiada pernah disadari oleh siapa pun.
Untuk menghidupkan jiwanya yang tinggal secuil, laki-laki api itu harus membagi jiwanya sendiri pada si gadis agar ia tetap hidup. Gadis yang malang, pikirnya. Ia tenggelam sendirian di penghujung malam yang dingin, tiada seorang pun yang diharap datang memberi selamat. Ia berhak hidup, jadi si api berbaik hati.
Ia cium gadis itu di bibir, si api membagi nafas dan jiwanya. Sayup-sayup sewaktu meniupkan udara ke dalam si gadis, ia lantas melihat banyak sekali memori tentangnya. Ia hidup di dalam pikiran orang lain, siapa yang menyangka. Si api hidup dengan penuh tawa bersama gadis ini, hampir selalu bersama setiap hari, saling mengasihi. Kendati demikian, si api yang sekarang tak mengerti. Ia bukan manusia, tak ingat pernah jadi manusia juga— ia lahir di laut, dalam sekali, bersama hewan-hewan besar dengan bentuk menyeramkan yang setia mengikuti ke mana saja ia pergi, mengikuti cahaya apinya yang menyala-nyala. Ia tinggal di laut dalam, menyusuri butiran pasir yang halus dengan kaki telanjang, dan masuk ke kapal-kapal karam, mengantar anak-anak manusia yang tersesat di sana untuk naik ke muka laut, melihat matahari di permukaan, dan menyaksikan mereka menghilang.
Tiada ia ingat pernah hidup bersama dengan si gadis yang kini tengah direngkuhnya penuh kehati-hatian itu. Ikan-ikan di dasar bilang, ia lahir atas kehendak laut yang ingin memadamkan berkobarnya api dendam. Agar tidak menjadi sosok yang jahat, jiwanya telah dimurnikan. Ia terlahir sebagai api, yang tidak akan padam meski di dalam air, menerangi dan menemani mereka yang tersesat di dasar laut sampai menemukan jalan kembali.
Sedetik kemudian gadis itu terbatuk-batuk, tangannya yang semula lemas lantas mencengkram bahu si api kuat-kuat. Si api diam menunggu, damai memandangi muka si gadis yang pucat sekali sehabis bangkit dari detik-detik penjemputan ajal. Sewaktu mereka bertatapan, si api lebih dulu mengulas senyum, sedang si gadis ganti menatapnya dengan bingung.
"Anak baik, kau baik saja?" suaranya lembut mengudara, kendati terdengar berat di saat yang sama. Lia, ia merasa tak asing dengan suara dan wajah itu— mirip siapa, ia tak ingat. Mungkin kekasihnya? Atau barangkali bukan? Yang ada dalam kepalanya hanya sebuah nama, Felix. Tapi, Felix siapa pun ia tak tahu. Ia merasa bingung. Merasa de javu, merasa pernah melihat sesuatu padahal baru melihatnya sekarang ini. Menyadari raut kusut itu tak kunjung hilang, si api lantas mengelus-elus pucuk kepala si gadis dengan halus, dengan lembut, dengan penuh kasih. Membuat Lia selanjutnya dengan ragu bertanya, "Namamu, Felix?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Deep End
FanfictionUntuk menyalakan api, korek membakar diri. ━━━━━━━━━━ cover by canva.