Karena suasananya jadi terlalu awkward buat menyelesaikan tugas biologi yang sudah tinggal sepersekian persen itu, Sabda dan Randu malah keluar untuk membeli es teler.
Keluarnya pakai salah satu mobil punya Papa Sabda, sebab mobil cowok itu masih masuk bengkel karena ban-nya bocor.
Nggak seperti dugaannya yang membayangkan bahwa Sabda akan meledeknya sepanjang hari soal pengakuannya, Sabda terlihat lebih kalem dari biasanya.
Cowok itu fokus menyetir tanpa merecokinya. Hal yang sebetulnya Randu syukuri dalam hati, sebab ia tidak bisa membayangkan betapa merahnya pipinya jika Sabda meledeknya habis-habisan.
"Gue boleh nanya sesuatu nggak?"
Sabda akhirnya bersuara setelah sekian lama. Tatap cowok itu masih lurus ke depan.
"Apaan?"
"Kenapa lo mau merahasiakan hubungan kita? Apa lo malu macarin gue?"
Randu geplak lengan Sabda sekuat tenaga hingga cowok itu mengaduh pelan.
"Kok lo mukul gue?" protes Sabda lebay.
"Abisnya kalo ngomong suka ngawur."
"Berarti lo nggak malu pacaran sama gue?"
"Ya enggak lah Sabda pekok!"
"Terus kenapa?"
Sudah lama Sabda menyimpan pertanyaan ini. Ia tidak pernah bertanya sebelumnya, sebab menghargai keputusan cewek itu. Pasti Randu punya alasannya sendiri.
Sabda hanya tau sebatas Randu yang tidak mau mengekspos hubungannya pada publik.
"Gue cuma ... belum siap." Randu menarik napas pelan. "Lo tau sendiri gimana populernya lo, baik di sekolah maupun di luar. Gue belum menyiapkan diri untuk nerima reaksi mereka nanti."
"..."
"Gue nggak yakin reaksi positifnya bakal lebih banyak dari yang negatif. Gue harap lo mengerti yang gue maksud."
Randu melirik Sabda hati-hati. Cowok itu masih diam entah memikirkan apa.
Ia meremas pergelangan tangannya. Gugup karena Sabda tidak kunjung bereaksi hingga dirinya tersentak oleh sesuatu.
Dengan satu tangan memegang kemudi, Sabda menyentuh tangan Randu. Gerakannya begitu pelan dan hati-hati. Membuka satu-persatu jemari Randu yang terkepal untuk kemudian menautkannya dengan jemari miliknya.
Tidak bohong, setiap pergerakan Sabda berpengaruh besar padanya. Pacuan jantung Randu menggila di dalam sana.
Seakan belum puas, Sabda mengangkat genggaman tangan mereka untuk mendaratkan kecupan di punggung tangan Randu.
"Lo tau Yaya, gue belajar nyetir satu tangan buat ini." Sabda menunjukkan tangan mereka yang saling bertaut. "Biar bisa pegang tangan cewek yang gue sayang."
Randu mati-matian menahan senyumannya agar tidak semakin melebar.
"Makasih udah jelasin ke gue. Apapun keputusan lo, gue dukung asal lo happy jalaninnya."
Tidak ada reaksi lain yang sanggup Randu beri selain mengangguk.
"Tapi jangan harap gue diem aja kalau lo dapat perlakuan nggak menyenangkan kayak kasus Mey dulu."
"..."
"Lo tau lo nggak punya pilihan selain jujur sama gue 'kan, Yaya?"
"Iya, gue nggak akan sembunyiin apapun dari lo."
"Good girl."
Setelahnya, tidak ada yang bicara lagi. Keduanya merasa cukup dengan hanya menikmati keheningan yang tercipta seraya saling menggenggam tangan satu sama lain.
Sampai di lampu merah, Randu dikejutkan oleh suara ketukan di kaca. Seseorang memanggil namanya dari luar.
Randu memanjangkan leher untuk melihat siapa pelakunya.
"Oi Randu," Seorang cowok yang mengendarai sepeda motor melambaikan tangan padanya sambil nyengir. Posisinya tepat berada di sebelah mobil mereka.
Itu Sean, ketua kelasnya yang dikenal sangat bucin pada pacarnya.
"Sama siapa lo?" Sean mencuri-curi pandang pada Sabda yang masih hah-heh-hoh tidak mengerti. Untung saja kacanya hanya terbuka seperempat.
"Bukan siapa-siapa, i-itu gue sama adek gue." Randu berusaha menutupi Sabda dari pandangan Sean.
Tanpa banyak babibu, Randu berbalik memunggungi Sean. Dengan masih mempertahankan posisi demi menutupi Sabda, cewek itu meraih tudung hoodie lalu memakaikannya dengan sembrono.
"Siapa?" Sabda bertanya tanpa bersuara ketika Randu sibuk menalikan tudung hoodie-nya.
"Sean." jawab Randu dengan hanya menggerakan mulutnya saja.
Berbeda dengan Randu yang kelabakan, cowok itu tampak santai saja.
"Bukannya adek lo masih esde ya? Kok udah gede aja?" Sean masih tertarik merecoki Randu dan seseorang yang menyetir di sampingnya.
"B-begitulah pertumbuhan bocil jaman sekarang."
Randu menjawab sambil mengeratkan tali hoodie hingga hampir saja Sabda kecekek. Sekarang wajah cowok itu membulat mengikuti ruas tali yang mengerut di bagian pinggir. Membuatnya tampak begitu konyol.
"Lo pikir gue akan percaya dengan mudah?" Sean mengintip dari balik kaca hingga hidungnya menempel di sana. "Lo punya cowok Ran? Jiahhh kok sampe segitunya disembunyiin?"
Sean masih mengintip, untungnya Sabda yang sudah terbungkus seperti Teletubbies itu menolehkan kepala ke arah sebaliknya hingga Sean tidak bisa melihat wajahnya.
"Bukan pacar, kok! Itu adek gue."
"Gue nggak percaya, mana ada anak esde udah bisa nyetir mobil. Kalo adek lo macem Shiva yang selalu nyocot 'jangan panggil aku anak kecil paman itu' mah masih bisa dipercaya." Sean tersenyum menggoda sambil menaik-turunkan alisnya. "Nggak mau ngaku nih?"
Ya Tuhan, belum cukup hubungan mereka diketahui oleh biang gosip macam Raka, masa masih harus bocor ke ketua kelas juga?
Menghela napas panjang, Randu akhirnya menyerah. "Iya, dia pacar gue."
Sean tersenyum licik. "Gitu kek ngaku dari tadi apa susahnya. Pake ditutup-tutup segala padahal udah jelas-jelas gue kenal cowok lo itu."
Randu menggigit bibir bawahnya khawatir. "Bisa nggak lo sembunyiin ini dari anak-anak?"
"Kenapa gue harus?" Sean bertanya songong.
Sebelum Randu melancarkan protes lanjutan, lampu sudah berubah menjadi hijau. Sean berlalu dari sana sambil cekikikan.
Randu menoleh horror pada Sabda yang tampak santai melajukan mobilnya.
"Gimana ini? Kita harus ngapain?!" Randu blingsatan di tempat duduknya.
"Nanti kita pikirin sambil mam es teler."
"Pekok!"
-O-
untuk kelen yang masih setia membaca enih book, lopyuu lima juta <3
22 Juli, 2024.
ifira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet N Sour
Fanfiction•Sequel Poison & Wine―• Setelah berpacaran, Sabda dan Randu memutuskan untuk merahasiakan hubungan mereka dari dunia. Semuanya masih baik-baik saja sebelum rumor buruk meluap ke permukaan, membuat keduanya menghadapi situasi yang cukup sulit dan men...