Sunoo duduk di sofa apartemen Riki. Menunggu yang lebih muda membuat teh hangat untuknya. Sedang dirinya sendiri sudah berhenti menangis sejak beberapa menit lalu. Kini ia merasa kesulitan membuka mata karena matanya seolah membengkak. Maklum, ia menangis dengan begitu hebat seperti menumpahkan seluruh masalahnya semenjak ditinggal pergi orangtuanya.
Aroma teh menggelitik hidungnya. Tapi tak hanya itu, Sunoo juga mencium aroma khas ramen cup yang sudah dicampur bumbu. Hal itu memancing perutnya berbunyi kembali.
Sunoo dengan refleks menggeser duduknya mendekati Riki yang sudah duduk di sebelahnya. Menaruh nampan berisi teko dan gelas teh beserta dua cup ramen dan seporsi kimchi instan.
"Aku membelinya tadi dalam perjalanan pulang. Seperti janjiku waktu itu, aku membawa kimchi untuk kita makan bersama ramen."
Yang lebih tua menoleh. Menatap pemuda Jepang itu dengan tatapan yang hanya dia sendiri yang tau apa artinya. Senyum simpul pun terbentuk di wajahnya yang sembab saat Riki balas menatapnya.
"Jadi tadi kau berencana ke rumah atap?"
Riki mengangguk. "Meskipun tidak bisa makan di sana, setidaknya aku masih bisa makan ini bersamamu."
Sunoo memalingkan pandangan pada nampan di hadapan mereka. "Kenapa harus bersamaku? Kau bisa memakannya sendiri tanpaku."
Yang lebih muda menatapnya lamat. "Kimchi ini adalah bentuk janjiku padamu. Kalau tidak bersamamu, kimchi ini hanya makanan biasa tanpa makna yang berarti."
Sunoo benar-benar tak mengerti, dari mana Riki belajar kata-kata seperti itu. Sejak tadi, kalimat yang diucapkan bocah Jepang itu bukan kalimat lugas. Dia selalu berbicara dengan kiasan yang membuatnya harus berpikir dulu untuk memahaminya. Atau memang Riki selalu seperti ini?
Melihat Sunoo yang diam saja, membuat Riki akhirnya berinisiatif mengambil satu cup ramen beserta sumpitnya, lalu ia berikan pada yang lebih tua.
"Makanlah, aku tau kau belum makan sama sekali sejak sore."
Sunoo menerimanya tanpa banyak kata. Ia mengaduk-aduk ramennya terlebih dahulu, lantas memasukkannya dalam mulut yang tanpa sadar sudah basah karena air liur. Ia benar-benar lapar. Sepulang kerja langsung packing, belum ditambah dengan dirinya yang menangis hampir sejam. Sekarang tubuhnya benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Dia hanya ingin makan dan tidur.
Riki juga mulai menyantap ramen bagiannya sendiri. Sambil sesekali mencomot kimchi untuk dia beri pada Sunoo dan untuk dirinya juga. Selalu mengecek apakah Sunoo makan dengan lahap atau tidak. Sedikit merasa bersalah saat menyadari satu cup ramen masih belum cukup untuk mengenyangkan perut kosong seseorang yang telah kehilangan tempat tinggal itu.
Sunoo menaruh cup kosong itu di atas meja setelah mencomot sisa mie yang susah dijepit dengan sumpit. Jujur ia masih lapar, tapi setidaknya perutnya sudah terisi dengan makanan.
Riki pun menuangkan teh dari poci ke dalam gelas. Memberikannya pada sang tamu dengan keadaan masih hangat.
"Ah terimakasih," cicit Sunoo sembari menerima gelas itu, dan mulai menyesap teh hangatnya sedikit demi sedikit. Aroma teh ampuh membuat tubuh dan pikirannya menjadi lebih rileks.
Sembari menunggu Riki selesai makan, Sunoo menyibukkan dirinya dengan mengamati sekitar. Apartemen Riki tidak sebesar yang ia bayangkan. Unit apartemen ini tampak luas, tapi kamar hanya ada satu. Ruang tengah tempat mereka beradalah yang paling luas. Sampai-sampai banyak space yang kelihatannya sengaja Riki kosongkan tanpa diberi perabotan apapun.
Sunoo menoleh saat mendengar langkah kaki Riki yang tidak ia sadari telah keluar dari kamar. Pemuda itu membawa selimut dan sebuah bantal.
"Kamar di sini hanya ada satu. Kau bisa pakai kamarku, Hyung," ucapnya sembari menata bantal dan selimut di sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
fate
Fanfiction[niksun] [He Is My Wife side story] Adakah cinta untuk kita? ;slight chaemura