Untuk pertama kalinya mungkin untuk sepanjang hidupnya, Gika bangun jam tiga pagi. Ia mandi air hangat namun tetap merasa dingin, memakai pakaian rapi lalu segera keluar kamar dan duduk di sofa dengan laptop dan ponselnya.
Aric masih tidur, tidak biasanya ia masih terjaga di jam-jam segini. Gika mulai mengerti, Aric meskipun tertidur di sebelahnya, hanya matanya saja yang tertutup. Sebenarnya dia tidak tidur, tapi hari ini Gika lihat sendiri dia sangat lelap.
Mungkin masih lelah, sekembalinya dia dari kantor lagi untuk pertama kali membuat tenaganya terkuras. Entah, jika sudah mengungkit soal itu Gika juga jadi malas.
"Kok udah bangun mbak?" Pak Arman yang memang selalu bangun paling pagi agak kaget mendapati Gika sudah duduk di sofa dengan laptopnya.
"Gak papa sih, pak Arman mau request sarapan gak?" Karena Gika mulai pusing, memikirkan menu sarapan setiap hari membuatnya merasa memikirkan jawaban untuk soal ujian.
"Saya apa aja mbak, perut saya gak rewel kok." Jawaban yang sebenarnya tidak Gika inginkan. Andai bukan pak Arman orangnya, mungkin Gika sudah memukul lengannya.
"Coba tanya mas Aric mbak"
"Males" Gika menjawab cepat. Jawaban Gika itu membuat pak Arman maklum, istri mana yang akan baik-baik saja setelah tau kalau sang suami pulang dengan membawa mantannya?
"Kemarin, pak Aric datang ke kantor__
"Karena ada Shania kan?" Gika sudah tau meskipun Aric menyembunyikan.
Yang sekarang Gika ingin lakukan hanya tetap berada di samping Aric dan mengurusnya seperti biasa. Lupakan soal hati karena Aric tidak akan peduli. Bukankah dari awal dia memang tidak menginginkannya?
Gika teringat ucapan Aric di hari pernikahan mereka, dia bilang bahwa ia akan bosan padanya dan meninggalkannya. Namun apa yang terjadi sekarang membuat pikiran Gika mengarah padanya. Mungkin Aric yang akan segera mengakhiri pernikahan ini.
"Mbak Shania manager baru disana mbak, dia sebenarnya dari kantor cabang. Tapi di pindah tugas kan, pak Aric juga baru tau dua hari yang lalu." Arman berusaha menjelaskan, dia sudah terlanjur bahagia untuk Gika dan Aric. Ia turut kesal melihat kedatangan Shania kemarin. Padahal dia sendiri yang meninggalkan malah dia yang tanpa tau malu kembali
"Kemarin mbak Shania minta izin mas Aric untuk ketemu sama ibu, minta maaf untuk kesalahannya yang dulu." Oh, Gika mengangguk paham. Dalam hati ia bersyukur karena pak Arman mau bercerita meski dia tidak minta.
Gika hanya diam, ia tetap duduk disana hingga pak Arman pamit karena di panggil Aric. Ia melirik jam pada layar ponselnya, baru pukul empat pagi. Gika memutuskan beranjak dari sofa dan menuju rumah mama Salma. Disana, ada fasilitas olahraga. Satu ruangan di lantai tiga diisi full oleh alat-alat olahraga yang canggih, dia sudah mandi dan pasti akan berkeringat. Tapi akan tetap ia lakukan demi agar tidak perlu bertatap muka dengan Aric dulu untuk sekarang.
"Gika? Udah bangun sayang?" Melewati dapur, Gika melihat mama Salma sedang sibuk dengan adonan tepung di depannya.
"Mau buat apa ma?" Meski semalam ada rasa kesal karena mama Salma tidak menjelaskan padanya maksud kedatangan Shania, Gika mana mungkin marah padanya.
"Mau buat pancake, mau bantu?" Gika langsung mengangguk, terlalu pagi untuk membuat pancake. Tapi persetan dengan itu, Gika tidak mau peduli. Juga lupakan soal rencana berolahraga
Gika sedang mencuci banyak stroberi ketika pak Arman datang dan langsung memanggil namanya.
"Di panggil mas Aric" Gika melihat Salma tersenyum padanya.
"Gak papa sayang, ke Aric dulu aja." Gika meskipun masih malas, tetap menuruti ucapan mertuanya. Dengan langkah lambat dan ogah-ogahan, ia memasuki kamar. Sudah ada Aric yang masih mengenakan baju tidurnya, wajahnya agak basah, mungkin habis cuci muka dan sikat gigi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BORN TO BE OVERLOVE ✓
ChickLitI can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower