43

24.9K 1.8K 41
                                    

Deka perhatikan, Aric sering sekali menatap ke luar jendela. Entah menatap jalan raya atau bangunan-bangunan disana. Ia tidak tau, namun Deka merasa Aric bisa memandang kesana dengan durasi waktu yang cukup lama. Bahkan beberapa kali Deka dapati Aric lebih asik memandang ke luar jendela daripada istirahat dan memakan makan siangnya.

"Liatin apa sih?" Deka, Aric, juga beberapa orang lain baru saja selesai meeting. Mendiskusikan beberapa hal. Sekarang sudah masuk jam makan siang, seperti sebelumnya, Aric lebih betah berdiri menghadap ke kaca jendelanya.

"Bukan apa-apa" Aric menjawab singkat. Nyaris sebulan ini kegiatan favoritnya memang hanya ini. Ia datang ke showroom bahkan ketika tidak ada pekerjaan. Ia memandang restoran Gika berjam-jam lamanya. Setidaknya dari sini, ia merasa beruntung dapat melihat Gika sesekali.

Melihatnya turun dan masuk mobil selama beberapa hari belakangan sudah cukup.

"Gimana sama Mariska? Katanya kalian udah gak pernah ketemu ya?" Mariska adalah teman kuliah Deka. Entahlah, ada banyak sekali kebetulan di hidup memang. Mariska yang pernah datang dan membeli satu unit mobil disini menjadi akrab pula dengan Aric. Dia beberapa kali mengiriminya kue buatannya sendiri, juga bertanya kabar melalui pesan. Namun sejak terakhir kali Aric membatalkan janji waktu itu, juga sedang tidak bisa memikirkan hal lain selain Gika, membuatnya pelan-pelan lupa dan nyaris tidak peduli dengan Mariska.

Aric tidak buta, juga bukan tidak peka. Atas pengaruh Deka, juga andil Deka, Aric menyadari bahwa agaknya Mariska tertarik padanya. Dia bukan bermaksud terlalu percaya diri dan lain-lain, tapi sikapnya memang terlalu kentara.

Ia juga sempat menanyakan perubahan Aric yang tiba-tiba ini. Katanya. Padahal Aric sendiri merasa ia tidak melakukan hal lebih. Ia terima kue itu dan tetap berterimakasih walaupun bukan dia yang menghabiskan, ia tetap menjawab pertanyaannya dengan baik soal kabar dan kesibukannya melalui pesan. Namun soal meminta bertemu memang Aric tidak wujudkan.

"Gak ada waktu, sibuk." Tidak benar-benar sibuk sebenarnya, pekerjaannya masih bisa di katakan santai. Tapi memang Aric rasanya belum juga tidak tertarik membangun hubungan baru.

"By the way, Mariska bilang lo dulu udah pernah nikah? Itu bener?" Aric berbalik, mengambil duduk di samping Deka dengan tenang. Memang tidak banyak yang mengetahui fakta itu. Bukan karena berniat menyembunyikan, karena memang tidak ada saja yang mempertanyakan. Dan Mariska tau ketika tanpa sengaja melihat cincin yang Aric pasang di kalungnya. Sebenarnya ia sembunyikan karena tidak sampai hati untuk membuangnya. Mariska tidak sengaja lihat, dan Aric jujur menjelaskan. Bahwa itu adalah cincin pernikahannya yang masih ia simpan meskipun tidak ia sematkan lagi di jarinya. Mengingat keterkejutan Mariska hari itu, rasanya ia paham bahwa Aric memang belum benar ikhlas.

"Iya, kenapa?" Deka menggeleng, mereka mungkin memang akrab juga dekat sejak showroom ini berdiri. Tapi ternyata kedekatan yang ia maksud tidak sama dengan yang di rasakan Aric.

"Gak, cuma nanya." Aric tidak lagi menanggapi.

"Cerai kenapa bro? Udah lama?" Aric baru tau kalau laki-laki juga bisa sepenasaran itu.

"Cerai karena saya bodoh, lanjutkan pekerjaan kamu. Saya pulang duluan." Deka sampai melongo. Aric meninggalkan Deka diruangan itu sendirian

Akhir-akhir ini ia juga menyadari Aric selalu pulang lebih awal dari yang lain. Tidak masalah, dan tidak akan di cegah. Toh, Aric memang yang paling berkuasa disini.

_______

"Gika?" Aric dengan keberanian diri, datang mendekat pada Gika yang baru saja keluar dari restorannya.

Well, sebenarnya selama ini Aric memang menyamakan jam pulangnya dengan Gika. Tapi baru hari ini ia memberanikan dirinya mendekat lagi sejak sebulan lalu ia di tolak. Tentu, perempuan mana yang masih mau menerimanya jika ia di posisi Gika?

BORN TO BE OVERLOVE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang