III - A Frightened Child

91 13 29
                                    

Odasaku masih melirik Dazai dengan heran setelah mereka menuntaskan misi bersama dan hari beranjak gelap. Keduanya berjalan di trotoar, masing-masing dengan pikiran berbeda, tidak ada obrolan. Hening. Sejenis hening yang mengambang lengket saat kau terlalu lelah untuk bicara.

"Apa ada yang salah?"

Dan akhirnya, Odasakulah yang menuntaskan keheningan itu.

Dazai seolah baru tersadar saat mendengar pertanyaan Odasaku. Akhirnya dia kembali ke dunia nyata. Telinganya penuh dengan lalu lalang kendaraan, orang-orang pengguna jalan, dan, tentunya, pertanyaan barusan yang masih bergaung dalam kepalanya.

Apakah ada yang salah?
Jelas ada yang salah!

Seharusnya akhir bahagia seperti ini sama sekali tidak ada.

Harusnya Dazai pulang dari misi bersama Kunikida, merasa kosong tapi baik. Merasa tidak pantas melakukan kebaikan, tapi tetap ingin melakukannya juga. Berdebat dengan dirinya sendiri. Mengingatkan dirinya sendiri akan nasihat Odasaku.

Bukannya ... bukannya berjalan dengan Odasaku, menemui malam yang indah dan tenang, saat tangan mereka tidak berlumuran darah atau pekerjaan kotor, kemudian ...

"Aku cuma berpikir apa sebaiknya kita pergi ke bar sekarang," kata Dazai. Entah kenapa, menurut firasatnya, dia harus menyebutkan "bar" alih-alih ke "tempat biasa" saat merujuk pada Bar Lupin yang biasa mereka datangi bersama.

Apakah dia yang di sini juga biasa pergi ke bar bersama Odasaku? Bagaimana dengan Ango? Apakah ... apakah mereka masih teman minum?

Dazai merasa geli karena harapannya yang terlalu muluk---kapan tepatnya dia belajar cara berharap seperti ini? Bergaul dengan para detektif pasti sudah membuatnya ketularan positif.

Dia takut kalau hubungannya dengan Odasaku di 'sini' berbeda dengan di dunia nyata tempatnya berasal.

Bagaimana kalau di sini mereka cuma sebatas rekan kerja? Bagaimana kalau Dazai tidak pernah ada dalam masa lalu Odasaku di bar itu? Bagaimana kalau mereka sama sekali bukan teman minum?

Kepalanya penuh pertanyaan yang menuntut jawaban cepat. Namun jawaban adalah satu-satunya hal yang tidak bisa Dazai dapatkan dengan cepat.

Dan dia benci saat kepalanya mulai berisik.

Rasanya lebih baik bunuh diri ....

"Bukankah kita memang akan ke sana?" Odasaku makin terlihat heran. Lelaki berambut merah itu jadi yakin: memang ada yang salah dengan Dazai. Tapi dia tidak tahu apa itu.

Dazai memang selalu aneh, tidak bisa ditebak, sukar diikuti jalan pikirnya. Namun entah bagaimana mereka bisa akrab dalam waktu singkat. Seolah-olah ...

Seolah-olah keduanya memang ditakdirkan untuk menjadi teman.

Dazai akhirnya sadar mereka memang sedang menuju ke Bar Lupin. Diam-diam dia merasa amat lega. Jadi, sepertinya, dalam dunia mimpi ini pun mereka adalah teman minum yang saling berbagi cerita-cerita tidak penting seputar apa saja.

Satu kekhawatiran besar yang sejak tadi menindih dada Dazai seperti bongkahan batu, mendadak hilang ditiup angin puting beliung.

--o0o--

Dazai memainkan es dalam gelas wishky-nya, memesan kepiting kaleng, menghirup aroma nostalgia yang menusuk dada. Sementara Odasaku ada di sebelahnya, diam dan nyata, sedang meneguk minumannya sendiri.

Dazai tidak bisa lebih bahagia dan sekarat daripada ini.

Apa yang harus mereka bicarakan sekarang?

Dazai seperti orang kehilangan ingatan. Tidak fokus. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya dalam tahun-tahun ke belakang. Jadi, untuk mencari aman, lelaki kurus itu memulai percakapan: "Apa Odasaku ingat saat pertama kali kita datang ke sini?" dengan nada ringan seolah hanya 'tiba-tiba ingin bernostalgia'.

Dazai menanti respon Odasaku dengan sabar. Jauh dalam hati, dia takut Odasaku akan memandang heran ke arahnya dan bilang, "Apa maksudmu? Ini pertama kalinya kita datang ke sini."

Pikirannya penuh. Tidak bisa tenang---lebih tidak bisa tenang dari biasanya.

Di satu titik, Dazai sadar, dia masih bisa sedikit menikmati ketegangan dalam pertarungannya melawan Dostoyevsky; meski harus memutar otak dan benar-benar bekerja keras sampai hampir mati. Namun, untuk menebak respon Odasaku saat ini, dia sama sekali tidak bisa.

Dia takut.

Seolah-olah dia sudah kehilangan seluruh kejeniusannya. Dan sekarang dia hanya anak kecil yang menantikan jawaban.

Dan Odasaku melihatnya. Merasa heran dengan ekspresi Dazai yang sejak tadi mirip seorang bocah yang hampir menangis---rasa-rasanya Odasaku pernah melihat ekspresi itu di suatu tempat. Seperti deja vu.

"Tentu saja aku ingat." Jadi Odasaku pun mencoba mencairkan suasana dengan sikap santainya. Dia lebih suka melihat Dazai tertawa sambil mengatakan beberapa lelucon konyol. Seperti biasanya. Seperti saat mereka sedang kumpul bersama.

"Tentu, tentu~!" Dazai bersenandung riang sambil tetap memainkan es batu dalam gelasnya.

Dazai melirik Odasaku yang sedikit tersenyum. Lelaki berambut kemerahan itu melanjutkan, "Aku hampir tidak percaya seseorang seperti Sakaguchi-san merekomendasikan tempat ini pada kita."

Ada jeda dua detik sebelum Dazai membuka mulutnya, "Dia memang kelihatan seperti orang kaku yang tidak tahu caranya bersenang-senang."

"Kau benar." Gelas Odasaku sudah kosong. Es batunya berdenting pelan saat lelaki itu meletakkannya di meja konter. "Ini tempat yang bagus," katanya sambil melihat interior Lupin yang hangat dan tenang. Sangat cocok dengan seleranya.

Seperti gua beruang. Bar yang memberi kesan terhentinya waktu.

"... mereka menyebutnya hidden gem! Tempat yang bagus, tapi jarang ada yang tahu~ kita beruntung sudah menemukannya." Dazai memutar kursinya, pura-pura melihat sekeliling dengan senang.

Dia tidak suka cara Odasaku memanggil nama Ango barusan.

Delusional Reality [Bungou Stray Dogs!AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang