Pemakaman.
Sekali lagi dia berada di sana, ditemani gemerisik angin dan debur ombak di kejauhan. Pemakaman itu sunyi bagai surga tersembunyi. Dan dia selalu menyukainya.
Dazai masih ingat teriakan Kunikida saat membangunkannya siang tadi. Suara itu sekarang membekas jelas di kepalanya; nyaris tidak bisa dihilangkan. Menggantikan melodi kasar melankolia yang biasa membuatnya terjaga sepanjang malam.
Lelaki itu melangkah ke tempat yang biasa dia datangi, di atas sebuah bukit kecil dekat sebatang pohon tua. Dia duduk bersandar pada pohon itu sembari bersila, terlihat enggan menyentuh sedikit pun nisan putih pucat yang tertanam tak jauh darinya; yang memberi kesan seolah-olah benda itu memang selalu berada di sana.
Bukan Odasaku, tapi rupanya, di sini pun dia tetap memiliki orang untuk dikunjungi. Seseorang yang tetap mati karena salahnya.
Sejujurnya, putih sama sekali bukan warna yang cocok untuk orang itu. Dazai terkekeh sedikit. Bisa dia bayangkan reaksi orang itu jika tahu apa yang dilakukan atau dipikirkannya sekarang. Tapi kemudian, tawa santainya berhenti di tempat sebab dia ingat bukan Akutagawa Ryunosuke yang dikenalnyalah yang kini terbaring di bawah nisan putih tersebut.
Tiba-tiba saja dia merasa kosong. Seperti orang yang mendadak tuli dan buta di tengah lautan pesta kembang api.
Siapa tahu Akutagawa-kun yang ini cocok memakai warna putih ....
Angin lembut menyapu wajahnya. Warna senja mulai meninggalkan cakrawala.
Dazai masih merasa pusing karena obat yang dia tenggak tadi malam. Adalah keajaiban yang menjengkelkan bahwa lelaki itu bahkan bisa berdiri dan masuk kerja, walau sangat terlambat, beberapa jam setelahnya---padahal dia bisa mengajukan cuti sakit kalau saja rencana itu berhasil.
Tapi mau bagaimana lagi? Toh, dia tidak benar-benar menenggak setengah botol obat. Banyak juga yang tercecer di lantai dan wastafel ...
"Konyol."
Dazai bangun sembari merapikan pakaian. Dia pandangi sekali lagi nisan pucat bertuliskan kanji "ryuu" di permukaannya yang agak kasar. Lelaki itu tersenyum geli, kemudian pergi setelah mengusap---mengelus---puncak nisan Akutagawa dengan sangat lembut.
"Nanti aku datang lagi." Dia berjanji kepada angin.
... dan matahari pun terbenam¹
---o0o---
"Kau tidak boleh begadang hari ini, Ranpo."
Jauh dari Yokohama, di sebuah penginapan mahal di tengah Kyoto, dua orang detektif muda sedang menikmati pemandian air panas sebagai paket liburan sehari-semalam yang dihadiahkan klien karena kinerja Edogawa Ranpo yang lebih dari kata memuaskan---"Sekadar kata-kata takkan cukup untuk menggambarkan kepuasan saya!" seru klien mereka yang berapi-api. Kemudian, Ranpo dan Oda bersenang hati menerima tiket liburan tersebut.
"Odaaaa, aku mau makan onsentamagoooo²!"
Ranpo merengek saat merasa Oda akan mengatur jam tidurnya seperti orang tua yang kolot.
"Kau sudah makan itu setengah jam lalu."
Sementara Oda, dengan penuh kesabaran seperti biasa, sama sekali tidak terganggu dengan keluhan Ranpo. Malah sebenarnya, dia sangat mau bekerja sama untuk menikmati onsen lebih lama lagi; yang penting mereka bangun besok pagi dan siap untuk pulang sebelum sore---Oda sudah mengantisipasi kecenderungan Ranpo bangun siang di hari libur dan kegigihannya mencicipi semua jajanan yang jarang dia temui di hari biasa.
Aku akan merapikan barang-barang kami sebelum tidur, pikir Oda yang belum bergerak dari tempatnya, menenggelamkan sebagian wajah ke air hangat sembari memejamkan mata dengan khidmat.
Jarang-jarang mereka bisa menikmati hal mewah seperti ini---penginapan kelas satu di Kyoto! Ranpo berjingkat riang karena sang klien benar-benar mengenali bakat super hebatnya.
Ranpo berenang mengejar bebek karet. Oda pura-pura tidak melihat; dia setengah mengantuk. Mereka diam sementara jangkrik mengisi malam yang sunyi itu.
Diam-diam Oda berterima kasih. Bukan pada si donatur yang murah hati, tetapi Agensi Detektif.
Tidak ada ketegangan. Tidak ada lagi kehidupan yang penuh hal-hal tersembunyi. Sekarang dia bisa hidup tenang dan menebus dosanya dengan membantu orang-orang yang kesusahan. Beruntung sekali dirinya karena bertemu dengan Ranpo dan Fukuzawa-san.
Kemudian ...
"Hei, Odasaku."
Ya, kemudian Ranpo mulai memanggilnya Odasa ...
"Apa?"
Oda langsung bangun. Sepenuhnya terjaga. Kantuk yang sempat menggelayuti mata kini hilang sepenuhnya.
"Bukankah itu nama yang agak aneh? Kedengaran seperti petani." Ranpo protes sambil memainkan bebek karetnya di dekat Oda. Hanya ada mereka berdua di pemandian air panas.
Oda menghela napas; tidak mengerti kenapa dia kaget karena nama itu keluar dari mulut orang lain.
"Tidak ada yang bisa kulakukan tentang itu," kata Oda sembari memejamkan matanya lagi, "Dazai bilang itu nama yang cocok untukku---dia mau memanggilku begitu selamanya."
Hening lagi. Ranpo masih memainkan bebek karetnya, sementara Oda mulai memikirkan Dazai. Dan saat itulah, erangan kekanak-kanakan Ranpo kembali terdengar: "Odaaaa, kau tidak sadar kalau ada yang aneh tentang dia?"
"Ya," kali ini, Oda tidak bisa setengah tidur meskipun matanya sudah tertutup rapat. "Sejak awal dia memang sangat aneh ..."
"Bukan itu. Bukan sikap sehari-harinya." Suara Ranpo menjadi sangat serius hingga mau tak mau, Oda duduk lebih tegak dan menatap Ranpo lekat-lekat.
Pemuda sipit di depannya kembali berucap, mata hijau yang tajam seperti bilah angin terarah tepat pada pikiran terdalam Oda. Katanya, "Katakan padaku, Oda, apa kau yakin yang bersama kita selama hampir tiga hari ini benar-benar Dazai Osamu?"
---o0o---
Pagi.
Meski agak malas, Dazai berangkat lebih pagi hari itu, terima kasih pada alarm hidup Kunikida-kun yang enggan menerima keterlambatan Dazai lagi---"Kemarin adalah hari terakhir kau bisa bermalas-malasan di kamarmu dan terlambat datang kerja!"
Padahal Dazai hanya pingsan karena overdosis obat sampai lewat jam sebelas. Setelah itu, kan, dia tetap berangkat kerja.
Diam-diam dia kesal juga--
"Hm?"
Lelaki jangkung itu baru saja menjejak Kafe Uzumaki saat melihat Atsushi duduk sendirian; ditemani secangkir ... teh, barangkali, dan menatap ke luar jendela seolah sedang menunggu datangnya badai.
Dazai tersenyum lebar: waktu yang tepat untuk menggali informasi tambahan!
__________
¹ Penggalan bait terakhir dari puisi Nakahara Chuuya: For the Tainted Sorrow (Kesedihan Tak Berujung)Kesedihan tak berujung ini
Membuatku sangat ketakutan
Tak dapat kuberbuat apa-apa menghadapi kesedihan tak berujung ini
Dan matahari pun terbenam(Diterjemahkan oleh Penerbit Kakatua)
² Telur rebus (biasanya setengah matang) yang dimasak di dalam onsen (menggunakan air hangat dengan waktu perebusan yang lama)
_____
Aku gak tau kenapa ngasih judul Dead End, tapi aku suka--
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusional Reality [Bungou Stray Dogs!AU]
FanfictionDazai terbangun di atap gedung Agensi Detektif Bersenjata, dan Odasaku berdiri tepat di hadapannya; padahal dia yakin tidak punya indra keenam. Apakah ini yang disebut gila? . . . . . . . © Asagiri Kafka & Harukawa_35 Alur cerita sepenuhnya milik...