IV - The Silliest Silliness

90 13 37
                                    

Bar itu memberi kesan terhentinya waktu. Seolah-olah mereka sedang terperangkap beberapa menit di masa lalu, diselimuti perasaan nostalgia yang hangat dan tenang.

Bersama alkohol, percakapan demi percakapan ringan terus mengalir dan terperangkap dalam langit-langit rendah bar bawah tanah tersebut.

Begitulah yang Dazai ingat.

Namun sepertinya, kenyataan di sini berbeda dengan ingatannya.

"Kapan-kapan kita harus menyeret dia ke sini," kata Dazai sebelum menenggak habis minumannya. Dia menidurkan kepala di meja konter, mengamati respon Odasaku.

Odasaku menatap Dazai dengan sabar, "Kau harus berhenti mengganggu Sakaguchi-san."

"Eeeeeh? Kenapaaa? Aku yakin dia tidak akan keberatan?" rengek Dazai. Pura-pura merajuk; cemberut; pipinya masih menempel di meja konter, sementara pandangannya, di mata Odasaku, semakin mirip anak kecil.

Kekanak-kanakan.

Dazai sering menunjukkan sisi kekanak-kanakannya saat keduanya minum bersama.

Odasaku tidak keberatan menerima seluruh ledakan konyol dari rekan kerjanya itu. Malah, sejujurnya, dia menikmati waktu yang mereka habiskan dengan obrolan-obrolan tidak jelas yang topiknya seolah berlompatan riang dari kepala mereka.

Dan ide mengajak Sakaguchi Ango untuk bergabung sejujurnya tidak terlalu buruk. Hanya saja, Odasaku tidak mau mengganggu agen pemerintah yang sibuk itu. Dia juga tidak yakin apakah Sakaguchi bersedia menemani mereka minum seperti ini---lekaki berkacamata itu tampaknya merupakan orang yang serius dan sama sekali tidak suka buang-buang waktu.

Dazai meraih kepiting kaleng di dekatnya, mencungkil isinya dengan jari, diam-diam makan sambil tetap mengamati Odasaku. Pipinya masih menempel di meja konter dan sejujurnya, itu pemandangan yang cukup manis.

Jarang-jarang Dazai berekspresi.

Odasaku menyalakan sebatang rokok. Dazai meminta minumannya ditambah. Es batu berdenting. Suara-suara pelan dari pengunjung bar yang lain. Asap rokok kelabu tipis yang mengental di langit-langit---Bar Lupin sama seperti biasanya. Semua pemandangan itu terperangkap dalam mata Dazai.

Dazai berharap dia memiliki sekotak kartu agar setidaknya bisa mengulang kenangan saat dia dan Odasaku pertama kali datang ke bar itu.

Dia ... dan Odasaku lain yang ditemuinya waktu berumur enam belas tahun.

Bukan Odasaku yang ini.

Tapi Odasaku yang bertanya dulu apakah Dazai, yang waktu itu masih di bawah umur, keberatan kalau dia merokok. Padahal waktu itu Odasaku sedang menuntun Dazai ke sebuah bar.

Dazai pura-pura menikmati rasa kepiting kalengnya.

Dia mau pulang.

--o0o--

Kamarnya hampa seperti seharusnya.

Futon yang belum dilipat di tengah ruangan. Meja kayu kecil yang dijejali botol sake dan setumpuk makanan kaleng. Sebelas gulungan perban dan kasa di lemari. Lima---harusnya empat---botol obat penenang di wastafel dapur. Setumpuk pakaian kotor di keranjang cuci. Sampah yang lupa dia buang. Dan ....

Harusnya masih ada di sana, pikir Dazai.

Dan dia menemukannya; tambang yang hampir dia gunakan untuk gantung diri dua hari yang lalu---atau setidaknya, yang dia ingat kejadian itu adalah dua hari yang lalu.

Entah apakah di sini waktu juga berjalan sama---apakah sudah tujuh tahun sejak dia meninggalkan Port Mafia?

Begitu melihat tambang itu, dingin dan tak tersentuh di antara plastik sampah, Dazai terdiam lama sekali karena mendadak, perasaan bahwa dia sedang menjalani kenyataan hadir dengan begitu pahit dan aneh dari ujung tenggorokannya.

Seperti muntah.

Dia pungut tambang itu, menengadah, mencari tempat yang bagus untuk menggantungnya di langit-langit.

Dazai tidak berniat gantung diri lagi---belum. Tapi setidaknya, melihat tambang itu tergantung di langit-langit, siap pakai kapan saja dia ingin, cukup bisa memberinya sedikit ketenangan pikiran.

Lelaki itu mengembuskan napas, panjang dan berat. Melelahkan. Dia melepas mantel dan rompinya, membuka dasi dan meletakkannya asal di meja, kemudian berbaring di futon yang dingin.

Dingin.

Dia menatap tambang yang tergantung di langit-langit. Kalau gantung diri sekarang, besok pagi rekan-rekannya akan menemukan mayat Dazai yang sudah dingin.

Dia berdecak. Kepalanya benar-benar pusing memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi---Odasaku hidup lagi dan mereka tidak pernah berteman akrab dengan Ango! Lalu bagaimana riwayat hidup Dazai sebelum diterima Agensi Detektif Bersenjata? Apalagi yang berbeda?---ADA APA DENGAN SEMUA INI?

Dia tidak mengerti.

Lelaki itu mengerang panjang sekali, berguling-guling di lantai sambil memikirkan semuanya; menganalisis semuanya; memperkirakan semuanya---semua ini membuatnya semakin gila!

Dazai sadar tidak ada yang melihatnya sekarang. Dia sendirian bersama kegilaan. Tidak perlu bertingkah konyol. Tapi dia sudah terbiasa berguling-guling di lantai saat pikirannya buntu dan tak ada yang bisa membantu---entah bagaimana gerakan itu membuatnya lebih santai sehingga bisa berpikir kembali.

Hanya Chuuya yang tahu kebiasaan anehnya.

Dazai berhenti berguling-guling. Dia bangun dan kepalanya mendadak semakin pusing---kapan terakhir kali dia makan?

Persetan!

Lelaki itu keluar, ke jalan, terburu-buru, setelah meraih mantelnya dan bahkan lupa mengenakan benda itu untuk menghalau angin malam yang semakin dingin.

Waktu itu mungkin sudah lewat pukul tiga dini hari. Ombak berdebur keras di kejauhan tepat saat Dazai menghentikan langkahnya. Terengah-engah, dia tiba di depan pemakaman yang terasa akrab sekaligus asing. Sepi. Ini waktunya para orang mati menikmati kematian mereka.

Dan di sanalah, Oda Sakunosuke seharusnya berada.

Delusional Reality [Bungou Stray Dogs!AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang