2. Sebilah Pisau

196 28 7
                                    

Bararang Apartment
Jakarta, 2031

Kepul panas pancake buatannya masih terlihat jelas kala wanita dengan tubuh tinggi—tegak, menghampirinya. Rapih, monoton, dan kaku. Apalagi tatanan rambut wanita itu yang selalu disanggul menjadi satu. Membuat Deretha terkadang gemas dan ingin melepas.

"Pancake, Maya?" tawarnya sembari meniup kecil potongan pancake yang ia tusuk dengan garpu.

Seperti biasa, wanita kaku itu menolak ajakan sarapan-nya.

"Ada apa? Kamu bisa bicara tanpa harus menunggu saya selesai sarapan." Dan tumben sekali, Maya—personal assistant-nya— naik ke atas sebelum ia menghubunginya lebih dulu untuk menyampaikan kebersediaan-nya dihampiri.

"Nona harus segera bersiap."

Deretha sontak menatap tubuhnya sendiri yang memang hanya terbalut bathrobe tanpa sempat memakai pakaian dalam satupun. Lalu kembali menyuapkan potongan pancake ke dalam mulutnya dengan santai.
"Seingat saya, hari ini saya tidak memiliki agenda apapun."

Deretha menggerakkan pisaunya untuk memotong tiga lembar pancake sekaligus. Namun melihat keterdiaman dan keraguan dari Maya, ia letakkan pisau dan garpu itu, lantas memangku tangan. Benar-benar menjatuhkan fokus pada wanita kaku tersebut yang sepertinya ragu akan kata yang ingin ia sampaikan.
"Ada apa?"

"Aparat kepolisian berada di lobi. Menunggu Nona."

Deretha melipat dahi.
"Karena pesta narkoba Darius? Bajingan itu menyebut nama saya?"

"Mereka menemukan sidik jari Nona pada pisau yang berada di dekat jasad Bapak."

Pisau?

Jasad Bapak?

Sebentar.

Deretha menatap bingung pada pasang mata Maya. Sebutan Bapak hanya Maya peruntukan pada satu orang, Tuan-nya sebelum Deretha membawa Maya berada di sisinya. Yang berarti ialah Sutedja.
"Jasad Bapak?"

Wanita itu mengangguk pelan dengan tatapan pias, sarat akan kesedihan dan rasa bersalah.
"Petang tadi—"

"Petang tadi?! Dan kamu baru memberitahu saya pada jam 11 siang, Maya?!" sentaknya. Menatap tajam sang asisten yang juga menatapnya. Namun ia tak memiliki waktu untuk sekedar bertanya atau pun kembali melampiaskan kemarahannya.

"Siapkan pengacara. Pak Hendra. Saya ingin dia." Deretha bangkit dari duduknya. Menyeret langkah dengan cepat menuju ruang wardrobe untuk sekedar memakai pakaian yang lebih layak.

"Tidak ada yang mengabari saya, pun dari rumah utama. Petugas lobi lah yang menghubungi saya bahwa ada beberapa aparat polisi yang mencari Nona." Maya mengungkapkan alasan-nya sebelum bergegas menghubungi pendamping hukum yang ia sebut tadi.

Sembari sibuk bersiap, pikiran Deretha melayang. Ada yang tidak beres.

Oh, tentu saja.

Semalam, Sutedja baru saja mengundang Deretha dan Brahmana untuk makan malam. Menunggu Deretha meski ia baru bisa meninggalkan acara penghargaan setelah pukul sepuluh malam, yang mana melewati jam makan malam seharusnya.

Membicarakan hak waris yang berpindah ke tangan-nya dan sebuah perjodohan. Lantas menyuruhnya pergi lebih dulu sebab Brahmana sudah bertingkah di luar kendali, tidak terima usahanya selama hampir seumur hidup itu tak berarti apapun.

Lalu Sutedja meninggal pada petang hari. Terbunuh? Dengan pisau yang memiliki sidik jari Deretha? Alih-alih Brahmana?

Ayolah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Deretha's MadnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang