1

956 122 7
                                    

Seharusnya kehidupan adalah tentang hak setiap manusia atas dirinya. Raga dan jiwa merupakan bagian yang terpenting yang tak bisa dikuasai oleh siapa pun, selain Tuhan dan manusia yang dititipkan, apalagi jika berbicara tentang harga diri, tentu tak bisa disandingkan dengan berapa pun nominal uang yang ada di dunia ini. Namun, bagaimana jika raga dan jiwamu terpaksa harus dikorbankan demi melanjutkan kehidupan?

•••

Seharusnya pagi hari menjadi awal baik untuk memulai hari baru. Seharusnya memang begitu, namun setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam memilih takdir, dunia akan terus berputar tanpa peduli seberapa besar penderitaan yang sedang dialami.

Terlihat seorang lelaki berkulit pucat meringkuk di ranjang ukuran besar, seperti seekor kucing tak berdaya. Entah berapa tetes air mata keluar setiap matahari memunculkan eksistensinya. Tubuh yang sebelumnya terlihat sehat, mulai mengurus, bukan karena tak mendapat asupan makan yang cukup, namun ia yang selalu menanggung beban atas 'siksaan' setiap harinya.

So Junghwan, nama yang indah bukan? Bukan hanya nama saja, wajah cantik, kulit putih pucat, rambut halus pada dirinya juga terlihat indah. Lelaki usia 20 tahun itu bahkan sering kali dianggap terlalu muda untuk usianya yang sudah beranjak dewasa. Bukan hanya nama dan penampilan fisik saja yang membuat Junghwan mendapat perhatian penuh, sifat dan sikap baiknya juga ikut disoroti. Junghwan bagai salah satu bukti kesempurnaan dari ciptaan Tuhan. Tak heran, banyak orang yang diam-diam memujanya.

Setiap kesempurnaan manusia pasti ada kekurangan yang dimiliki, meski hanya celah kecil. Sejatinya kekurangan yang dimiliki Junghwan lebih condong ke arah keluarga. Beruntung sekali jika terlahir dari keluarga yang sangat menyayangi dan bertanggungjawab untuk merawat buah hati mereka, dan Junghwan tidak menjadi salah satu orang yang beruntung. Ia lahir dari keluarga dengan berbagai macam masalah, mulai dari ayah yang melarikan diri dan mencari kehidupan lain bersama keluarga baru, dan ibu yang memilih menjadi simpanan para pejabat agar terlepas dari segala keterpurukan. Junghwan juga tidak mengenal keluarga lain, ia pun hanya mengingat masa kecil dengan keluarga intinya sampai berusia 17 tahun. Setelahnya, Junghwan ditinggalkan di rumah seorang diri dengan segala hutang yang harus ia bayarkan.

Bukan dengan uang, tapi dengan jiwa dan raganya. Sebab sang ayah dan ibu telah menjadikannya jaminan atas uang yang selama ini mereka pinjam.

Buruk sekali, terlalu buruk untuk seorang anak yang belum mengenal banyak hal di dunia ini.

•••

Suara decitan pintu membuatnya menoleh. Junghwan segera membenarkan posisi menjadi berlutut di atas ranjang. Aura mencekam semakin terasa, apalagi saat cahaya dari luar pintu memantul ke dalam kamar, siluet seorang lelaki sangat jelas terlihat.

Tubuh tinggi yang memiliki bahu lebar dan dada bidang menghampiri Junghwan tanpa berkedip. Junghwan berusaha mengontrol diri, menahan agar tidak bergetar karena rasa takut yang sangat mendominasi. Tatapan serigala itu bagai sebuah pusaran yang akan menelannya hidup-hidup. Junghwan hanya bisa berharap pada kebaikan 'sang tuan'.

"Good morning, give me a gift."

Sial. Nampaknya ini bukan hari keberuntungannya. Atau mungkin Junghwan lupa bahwa setiap hari adalah kesialan untuknya?

Junghwan sedikit bangkit penuh keterpaksaan. Merubah posisi menjadi menungging. Alhasil bokong sintalnya lebih terlihat dari luar celana pendek yang dikenakan.

"Akhhh.."

Tepat sekali. Pembukaan hari yang cukup bagus bagi lelaki di hadapannya. Mendengar desahan adalah sapaan pagi terbaik.

So Junghwan sangat sulit menyembunyikan reaksi setiap kali Park Jeongwoo menyentuh lekukan tubuhnya. Secara otomatis, ia akan mengeluarkan desahan tanpa diminta paksa.

Senyuman miring muncul di wajah sang tuan kala melihat jemari Junghwan mulai membuka celana pendek yang ia kenakan. Baru beberapa detik menatap, surainya sudah lebih dulu diremat kuat, Junghwan mendongak, pandangan mereka saling beradu.

"Jangan terlalu lama, jangan membuang-buang waktu saya."

Mendengar itu, Junghwan cukup mengerti bahwa ia telah mendapat teguran pertama. Maka, tak menunggu lama lagi, ia langsung memasukkan kejantanan sang tuan ke dalam mulut.

Berhasil. Jeongwoo sedikit luluh, ia melonggarkan rematan. Junghwan bisa bernapas lega, walau keadaan belum terlalu membaik. Karena tak ingin membuat sang tuan terpancing amarah, Junghwan mulai melakukan tugasnya.

Tangannya mengocok kejantanan perlahan, mulutnya menghisap, dan lidah yang berperan dalam menjilat. Tiga sentuhan berhasil membuat Jeongwoo melepaskan rematannya. Bersamaan dengan Junghwan yang semakin aktif bermain. Sesekali ia memberanikan diri melirik keadaan sang tuan, rupanya lelaki tampan itu sedang memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Tak dapat dipungkiri, sesekali Junghwan memuja diam-diam.

Tanpa Junghwan sadari, ia semakin kuat menghisap kejantanan sang tuan. Napas Jeongwoo mulai menggebu. Tangannya ikut membantu mendorong kepala Junghwan agar semakin mendekat, bahkan ia pun ikut menggerakkan pinggul.

Beberapa kali hentakan pinggul, disertai dengan hisapan mulut yang tak berhenti, berhasil membuat Jeongwoo mencapai pelepasan.

"I'm cumming, babe."

Junghwan hampir saja tersedak saat Jeongwoo malah semakin memasukkan miliknya hingga mengenai tenggorokan. Cairan itu berada di dalam sana hingga keluar melalui sudut bibir karena Junghwan tak kuasa menelannya. Meski sudah terbiasa, namun rasanya masih tak cocok di lidah. Ia bahkan tak jarang mati-matian menahan mual.

Selesai mendapat 'hadiah', Jeongwoo pergi tanpa mengatakan apa pun pada Junghwan yang hanya bisa menatapnya tanpa berusaha menahan.

Memang apa yang harus ia harapkan? Mendapat pelukan atau ciuman dari sang tuan karena sudah menjadi penurut? Tidak, itu semua tidak akan terjadi. Walau bagaimana pun, sebanyak apa pun kalimat manis yang ia dengar, tak akan merubah fakta bahwa Junghwan hanyalah alat pemuas nafsu yang memang ditugaskan dengan tujuan melunasi semua hutang kedua orang tuanya selama 10 tahun.

Junghwan tidak akan bisa berharap lebih, bahkan tidak pantas menaruh hati pada sang tuan. Ia dan Jeongwoo memiliki batasan jelas dan tembok tinggi yang tidak dapat dihancurkan seperti layaknya kehidupan di negeri dongeng.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang