3

677 90 10
                                    

Peran kaum kelas bawah di dunia ini mungkin hanya sebagai pelengkap kehidupan. Junghwan sudah merasakan sendiri bagaimana hidup tanpa memiliki pilihan. Lahir sebagai kaum kelas bawah berarti tidak bisa memilih menjalani kehidupan yang nyaman. Buktinya sekarang Junghwan harus terlibat dengan hutang yang mengharuskan ia tinggal bersama orang asing yang membatasinya mengenal dunia luar. Ia akui Jeongwoo memang masih memiliki sisi baik, namun tak dapat dipungkiri jika ia juga masih berharap akan kebebasan hidup. Di usia 17 tahun lalu, Junghwan tidak sempat menikmati masa remaja. Masa-masa yang seharusnya dapat diisi dengan banyak kegiatan seperti menjalani hobi dan berteman dengan banyak orang. Belum lagi Junghwan juga ingin sekali melanjutkan pendidikan yang sempat tertunda. Jeongwoo hanya menyekolahkannya hingga jenjang SMA dengan memanggil pengajar untuk datang ke rumah. Ingin sekali rasanya menyinggung perihal pendidikan lebih tinggi pada sang tuan muda, namun Junghwan teramat sungkan, lebih tepatnya tak memiliki cukup keberanian.

Tidak tau nanti jika tiba-tiba saja ia berubah pikiran.

•••

Setelah melakukan banyak aktivitas di rumah, seperti menyiram tanaman, memakan makanan ringan, dan menonton film di ruang tamu, kini Junghwan sudah mulai merasa bosan. Kapan tuannya akan pulang?

Baru saja dibicarakan, suara pintu terbuka mulai terdengar.

"Muffin?"

Junghwan yang mendengar suara itu segera berlari ke arah pintu untuk menyambut sang tuan rumah.

"Selamat datang, tuan."

Bagai seekor kucing yang patuh, Junghwan sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. Mungkin saja Jeongwoo merasa lelah dan membutuhkan sedikit hiburan, maka ia bisa menggunakkan tubuh Junghwan saat ini juga.

Jeongwoo tersenyum. Ia lempar tas kerja berwarna hitam ke sembarang arah. Lengan kekarnya mengangkat Junghwan dengan secepat kilat. Junghwan balas melingkarkan lengan pada leher sang tuan. Tubuhnya hanya pasrah saat dibawa menuju lantai atas. Dan ketika pintu kamar ditutup, Junghwan tau bahwa ia tidak akan selamat.

•••

Aroma khas sperma memenuhi ruangan. Bercaknya mengotori kasur dan lantai. Bukti bahwa dua insan baru saja melakukan kegiatan panas. Junghwan masih terbaring di atas ranjang, sulit berpindah karena tubuhnya terasa amat sakit. Jeongwoo benar-benar menggunakkannya tanpa ampun.

Ia membuka mata perlahan, mencari keberadaan sang tuan. Ternyata lelaki itu masih dengan kebiasaan yang sama setelah melakukan kegiatan intim. Menghisap asap dari gulungan putih sambil duduk di pinggir jendela. Jeongwoo nampak tenang menatap ke arah luar, meski lebih banyak pepohonan yang terlihat, karena di lingkungan ini memiliki jarak cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lain.

Junghwan terus menatap sang tuan yang samar terlihat karena hanya mengandalkan cahaya dari arah luar yang menerangi tubuhnya. Ruangan di rumah besar ini memang didominasi hitam pekat, hanya ada sentuhan warna lain di beberapa sisi, tidak terlalu mencolok. Sehingga jika tidak ada penerangan, maka akan sulit melihat sekitar.

Mungkin Jeongwoo menyadari jika sedang diperhatikan. Ketika ia menoleh, Junghwan masih tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sang tuan mengisyaratkan Junghwan untuk mendekat dengan tangannya. Yang lebih muda menurut, meski masih kesulitan berjalan.

Saat sudah berada dalam jarak dekat, tangan Junghwan ditarik, berakhir duduk di pangkuan. Posisi duduknya menyamping, namun masih bisa leluasa melihat Jeongwoo dalam jarak sedekat itu. Kedua lengan Jeongwoo melingkar di tubuhnya. Hati Junghwan menghangat, ia sangat senang diperlakukan seperti ini setelah sebelumnya 'dihabisi'.

Jeongwoo mulai mendekatkan wajah pada leher Junghwan. Ia memberi tiupan di sana, berhasil membuat si manis bergidik. Melihat reaksi Junghwan malah membuatnya terkekeh. Jeongwoo memutuskan melanjutkan aksi dengan memberikan ciuman kupu-kupu. Leher yang masih terlihat ruam kemerahan, kini kembali menjadi sasaran. Bibir Jeongwoo bergantian tugas dengan lidahnya. Ia jilati leher jenjang pucat itu perlahan. Mirip seperti menjilati es krim. Wajah Junghwan mulai memerah, padahal sudah sering diperlakukan seperti itu, namun ia masih saja kesulitan mengontrol ekspresi.

Reaksi Junghwan adalah pendorong agar bertindak lebih. Jeongwoo yang tak puas hanya mencium dan menjilati, akhirnya menambahkan gigitan dan hisapan. Semakin banyak ruam merah yang ia ciptakan.

Jeongwoo layaknya seorang seniman yang melukiskan setiap karya pada tiap bagian tubuh Junghwan.

Dan Junghwan bagai kanvas putih hanya bisa mendesah dan meremat kedua tangannya. Tuannya sangat gila dan berhasil membuatnya ikut menggila.

•••

[ 2 weeks later ]

Hari yang begitu membahagiakan untuk Junghwan. Ia masih tak menyangka bahwa hari yang semula hanya ada dalam impiannya, kini mulai menjadi kenyataan. Hari ini ia akan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di kampus.

Ya, mahasiswa di kampus.

Apakah Junghwan patut berbangga diri atas segala pengorbanan yang telah ia lakukan atau malah mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang sudah menjadikannya jaminan atas hutang?

Jeongwoo, seorang lelaki yang memiliki sisi iblis dan malaikat itu akhirnya menuruti permintaan Junghwan. Permintaan yang cukup menguras biaya lebih, karena Jeongwoo harus mengeluarkan uang untuk menanggung pendidikan Junghwan hingga selesai. Junghwan kira permintaannya akan ditolak mentah-mentah karena sangat terlihat tak tau diri. Sudah berhutang, malah meminta lebih. Namun, Jeongwoo ternyata berbaik hati mengabulkannya.

Setelah memilih beberapa kampus, akhirnya Jeongwoo menetapkan pilihan pada kampus dengan kualitas yang cukup bagus dan jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah, tentu saja agar bisa lebih mudah mengawasi Junghwan. Meski Jeongwoo menaruh kepercayaan, tetap saja ia harus memastikan bahwa Junghwan tidak melarikan diri ketika diberi kesempatan untuk mengenal dunia luar.

Mereka tiba pada pukul 1 siang di kampus. Ketika keluar dari mobil dan menginjakkan kaki pertama kalinya, Junghwan sangat terkesima. Ternyata bayang-bayangnya tentang lingkungan kampus sangat jauh berbeda, lebih indah melihat secara langsung daripada hanya membayangkan saja.

Jeongwoo sedikit mengacaukannya, lelaki itu menggandeng tangan Junghwan dan segera pergi menuju salab satu gedung untuk melakukan pendaftaran.

•••

Selesai. Junghwan sudah selesai mendaftarkan diri sebagai mahasiswa baru di sana. Ia tinggal mengikuti rangkaian apa saja yang telah ditentukan oleh pihak kampus sebelum mengikuti perkuliahan. Salah satu aturan yang wajib dilakukan calon mahasiswa baru adalah melakukan tes kesehatan. Meski pun sudah mengisi formulir, Junghwan harus tetap melakukannya.

Akhirnya ia diarahkan menuju ruangan khusus yang berada tak jauh dari ruang pendaftaran, masih di gedung yang sama. Dari dalam ruangan terlihat seorang dokter yang baru saja keluar dan memanggil satu persatu nama calon mahasiswa agar segera memasuki ruangan.

Junghwan memutuskan duduk di kursi tunggu. Ia mendapat antrean nomor 25, masih harus menunggu 4 nomor lagi. Lelaki manis itu tidak ditemani oleh sang tuan, pihak kampus tak mengizinkan orang tua atau pendamping ikut menemani ketika akan melakukan tes kesehatan. Junghwan tidak mempermasalahkan hal itu.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?"

Lamunannya buyar saat mendengar suara seseorang di sebelah. Ketika mendongak, terlihat seorang lelaki yang nampak tak asing bagi Junghwan.

"Kamu?"

Dunia begitu sempit. Junghwan kembali bertemu dengan pemilik bola basket yang baru saja ia temui beberapa hari lalu.

Stockholm SyndromeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang