08

522 69 3
                                    

Arvy termenung di balkon kamarnya, matanya memandang bebas pemandangan dihadapannya yang mengerikan dan indah disaat bersamaan.

Bulan memancarkan sinarnya cukup terang malam ini, dimata Arvy bulan itu sudah terlihat seperti bulan purnama yang sempurna tetapi kakaknya tadi mengatakan bahwa bulan purnama itu belum sempurna.

Semakin Arvy amati ia tak melihat ketidaksempurnaan itu. Bagaimana kakaknya bisa mengatakan bulan purnama itu belum sempurna?

Hah..

Arvy menghela nafasnya, waktunya untuk tenang hanya dimalam hari, dimana ia mulai memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Arvy masih tak percaya apa yang dialaminya saat ini, mau ia pikirkan sampai rambutnya menjadi putih pun seperti tak membuahkan jawaban dan hasil yang pasti.

Bercerita kepada seorang pun bisa saja ia yang dianggap gila. Situasinya serba salah disini.

Jiwa yang asli juga tak memberinya banyak petunjuk, bahkan ia disuruh membalaskan dendam tubuh ini.

Bagaimana cara Arvy membalaskan dendamnya jika ia tak diberikan petunjuk apa-apa?

Punya dosa apa Arvy di kehidupan sebelumnya hingga Tuhan menjebloskan jiwanya untuk terperangkap di situasi yang bahkan ia tak tau harus bertindak apa dan bagaimana.

Selama ini ia hanya mengamati dan menikmati apa yang ia terima dan dapatkan.

"Vyn sumpah tanggung jawab napa dah, kenapa harus gue sih?"

Arvy mengacak rambutnya kesal, sungguh ia hanya ingin istirahat dari dunia ini itu saja. Selama ini ia bersikap biasa saja hanya untuk menutupi kebohongannya pada diri sendiri.

Arvy takut.

Arvy bingung.

Arvy tak mengenal siapapun disini.

Arvy mendudukkan dirinya di lantai marmer yang suhunya sudah berubah menjadi dingin. Malam yang dihiasi bulan ini sepertinya cukup dingin dibandingkan malam sebelumnya, kakinya ia keluarkan disalah satu sela pembatas besi balkon kamarnya lalu ia ayun-ayunkan. Mengamati ketinggian dari matanya memandang lantai yang mungkin bisa membuat nyawanya hilang seketika ia terjatuh.

Terlalu banyak yang Arvy pikirkan dan pertimbangan. Ia hanya duduk termenung dengan kepala yang ia sandarkan di besi pembatas balkon.

"Keknya terlalu banyak pikiran di otak imut gue deh."

"Vyn kalo ketemu pengen gue tonjok setonjok tonjoknya beneran dah lo, pengen gue bangsat-bangsatin juga lo."

"Ah anjing!"

Sudah tak bisa Arvy menahan segala umpatan dan emosinya, ia capek menunjukkan sifat dengan label anak baik dihadapan keluarga tubuh ini.

Tapi ia harus tau diri, ini bukan tubuhnya dan mereka adalah orang asing bagi Arvy.

Sungguh ia bingung akan perbuatan nantinya. Apa pantas ia menerima semua ini?

Dan apa boleh ia menerima informasi dan afeksi dari keluarga ini, secara logika Arvy hanyalah orang asing yang terperangkap pada tubuh anak mereka.

Semakin dipikirkan semakin membuatnya pusing,

"Udahlah bakal gue lakuin sesuka hati dan mau gue, awas kalo nanti lo protes vyn. Salah lo sendiri, dasar kutu kupret!"

Sepertinya Arvy sudah memutuskan untuk melakukannya sesuai kemauan dan insting anak itu. Ia juga akan berusaha menunggu dengan sabar ingatan yang perlahan-lahan masuk.

Arvy menghela nafasnya, ia berdiri dari duduknya dan melakukan peregangan kecil pada ototnya yang sedikit kaku.

"Huh hah huh hah bisa yok bisa, gini doang mah kecil."

"Ah anjing tapi gue gabisa."

"Tapi harus bisa! Jadi anak baik dan menghormati orang tua, okay?"

"Oke!"

Kebiasaan Arvy untuk meyakinkan diri salah satunya seperti itu, entah sudah terbiasa atau memang itu merupakan salah satu dari sekian banyak alasan mengapa Arvy bisa bertahan adalah afeksi dirinya terhadap dirinya sendiri. Selalu meyakinkan dan membohongi diri bahwa semua akan baik-baik saja, tapi nyatanya?

Plak

Suara yang renyah dihasilkan dari tamparan tangan Arvy pada pipinya yang lumayan terlihat berisi itu mampu meninggalkan bekas merah disana.

"Gausah lebay. Let it go aja kata neng Elsa."

Arvy mengerutkan dahinya ia menengok kearah jam dinding, jarum pendek sudah menunjukkan pukul 4 yang artinya Arvy berjaga hingga pagi tiba.

Pantas saja dibawah sudah terdapat beberapa pekerja yang berlalu lalang.

"Ga tidur ini gue mah."

Mau tidurpun percuma, ia akan dibangunkan lagi pukul 7 untuk ikut sarapan bersama keluarganya

"Mandi aja lah biar segeran, mata juga jadi jreng."

Arvy melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, ia melepaskan baju dan celananya satu persatu.

Mungkin sudah ada seminggu Arvy menempati raga ini, tetapi ia masih saja dibuat kagum dengan tubuh yang sangat mulus dan eum, sedikit atletis? 

Kulit yang putih serta badan yang ideal menurutnya, tak terlalu tinggi dan tak terlalu pendek. Tapi tetap saja jika dibandingkan dengan keluarga disini ia paling kecil.

Bahkan bunda dan mommy nya pun lebih tinggi dari Arvy. Ya walaupun mungkin hanya berjarak beberapa cm saja tetapi tetap saja membuat harga diri Arvy sebagai pria tercoreng.

Bunda dan mommy nya saja tinggi apalagi para pria keluarga ini, bueh Arvy berpikir apakah mereka memakan bambu? Tingginya bahkan melebihi tiang bendera partai di depan rumah Arvy di kehidupan sebelumnya.

Arvy belum melakukan ritual mandinya, ia masih sibuk mengangumi badan Arvyn pada cermin didepannya.

Tapi tunggu,

Arvy lebih mendekatkan dirinya kepada cermin, mengamati bagian leher tubuh ini.

Apakah ini luka?

Arvy menyentuhnya dengan perlahan

Tetapi karena apa? Kenapa di leher?

Selama ini ia tak melihatnya karena sangat tipis, jika tidak diamati secara seksama maka bekas luka ini tidak terlihat.

Tetapi, ini seperti luka dig--

"ARVY!"

Arvy terkejut mendengar teriakan dari dalam kamarnya,

"Sayang dimana kamu?"

Ah itu suara mommy nya.

"Arvy di kamar mandi mom!"

Arvy membalasnya sedikit berteriak, ia lalu mendengar ketukan pelan namun terkesan terburu-buru pada pintu kamar mandinya.

"Sayang, kamu di dalam?"

"Iya mommy, Arvy sedang mandi."

"Astaga baby mommy kira kamu hilang kemana."

Mommy nya satu ini Arvy akui memang sangat lebay sekali.

"Tidak mommy, Arvy tidak kemana-mana."

"Syukurlah, tetapi kenapa kamu sudah mandi jam segini. Mommy kesini hanya untuk mengecek mu saja, tak menyangka jika kamu sudah mandi."

Bisa gawat jika Arvy bilang bahwa dirinya tak tidur, ia masih mau menjadi anak baik dulu untuk sementara ini sambil memperhatikan keadaan.

"Wawancaranya nanti saja mommy, Arvy mau mandi."

"Baiklah baiklah, mommy tinggal untuk memasak dulu ya. Jika masih mengantuk tidurlah, nanti mommy atau kakak mu yang membangunkan."

"Iya mommy."

Setelahnya Arvy mendengar langkah kaki yang sudah menjauh.

Ia melihat kembali pantulan dirinya di kaca.

Sepertinya pertanyaan yang ia layangkan untuk Arvyn akan bertambah.

- KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang