4. Cakar

36 9 42
                                    



Gani mendengarkan dengan seksama.

"Menurutmu aku harus gimana, Gan?"

"Kamu minta pendapat aku?"

"Hm... Aku mau dengar pendapatmu. Kamu mirip dia. Seandainya kamu punya seseorang yang kamu cintai, apa kamu akan memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan aku?"

Gani meminum air putihnya dan berdeham, tampak berpikir sejenak. "Pertama-tama, saat ini aku belum menemukan orang seperti itu, jadi aku masih sibuk coding sepanjang malam tanpa harus memikirkan orang lain. Jadi pendapatku mungkin tidak sepenuhnya kompatibel dengan situasimu. Tapi, aku punya kucing di rumah yang aku sayang. Namanya Nana. Jadi, meskipun aku sibuk coding, dia selalu duduk di pangkuanku dan tidur lelap di sana."

Lyndie menopang dagu mendengarkan.

"Nana nggak pernah memaksa untuk diajak bermain, dia cuma tidur di pangkuanku dan aku mengelusnya sepanjang malam. Mungkin kedengarannya tidak relevan karena kamu manusia dan Nana kucing betina. Tapi, kalau Nana nggak ada, aku bakal nyari dia keliling rumah hanya untuk menaruhnya di pangkuanku dan mengelusnya. Dan kalau Nana nggak menghabiskan makanannya, aku panik dan langsung bawa dia ke dokter."

Sepanjang Gani bercerita tentang Nana, Lyndie terus tertawa, seakan membayangkan betapa menggemaskannya melihat seseorang segenius Gani yang heboh mencari kucing kesayangannya hanya untuk ritual membelai.

Terbersit perasaan bahwa Nana begitu beruntung memiliki seseorang yang peduli dengan sepenuh hati. Sementara itu, kekasih Lyndie tidak pernah mencarinya sekalipun dia tidak memberi kabar.

"Apa kata orang orang nanti ya kalau semisal aku putus? Merekas pasti menertawai kebodohanku yang membuang buang waktu selama itu. Lima tahun...,"

Ketika Lyndie marah, kekasihnya sering menyebutnya kekanak-kanakan. Dia tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal yang dianggap tidak penting. Setiap menit dan detik sangat berharga dan harus dihabiskan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, mereka tidak pernah berkencan selama lima tahun mereka pacaran.

"Lynd, aku yakin kamu sebenarnya tahu apa yang harus kamu lakukan. Kamu bukan gadis bodoh. Kamu cuma takut melepaskan sesuatu yang sudah terlalu lama mengonsumsi hidupmu. Kamu takut usahamu selama ini sia-sia dan kamu takut merasa gagal. Tapi, Lynd...," Gani tersenyum lembut, "sebenarnya tidak ada seorang pun yang peduli dengan kegagalanmu. Mereka semua sibuk dengan diri mereka masing masing. Jadi, tidak masalah kalau kamu memang gagal. Tidak masalah untuk mengakui bahwa kamu sudah melakukan kesalahan dengan membuang buang waktumu. Mereka tidak peduli padamu, sebenarnya."

"Yang terpenting adalah bagaimana kamu melanjutkan hidup setelahnya," tambah Gani dengan tatapan lembut. "Kadang, meninggalkan sesuatu yang sudah tidak lagi membuatmu bahagia adalah langkah terbaik yang bisa kamu ambil untuk dirimu sendiri. Kamu berhak untuk bahagia, dan itu berarti kamu berhak untuk membuat pilihan yang sesuai dengan apa yang kamu butuhkan dan inginkan."

Mata Lyndie mulai berkaca-kaca. Ia berusaha tersenyum, meski ujung bibirnya bergetar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan kesedihan yang jelas terlihat.

Gani mengulurkan tangannya dari seberang meja, lembut mengusap pipi Lyndie.

"Find the courage to do what is right, Lynd," ujar Gani, nada suaranya penuh empati. "You deserve to be happy."

"Yeah. You're right," jawab Lyndie, suaranya bergetar tapi penuh tekad.

Setelah tiga jam yang berlalu dengan cepat, pertemuan mereka harus berakhir. Lyndie selalu memesan paket dating tiga jam dengan rutinitas yang sama, namun kali ini terasa berbeda bagi Gani. Ada perasaan bahwa ini mungkin pertemuan terakhir mereka.

The Dating ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang