2. You're mine!

54 12 53
                                    



Alwin mencoba menepis pelukan yang mengekangnya, tetapi semua orang sudah terlalu rapat. "Gue cuma mau pulang, loh. Lepasin gue!" serunya dengan frustrasi.

"Bisa-bisanya lo bikin rame. Lu pikir kami nggak bakal balas perbuatan lo?" kata cewek tomboy dengan nada menuntut.

Alwin menghela napas panjang, jelas kesal dengan situasi ini. Mereka tetap menahan Alwin, seolah ingin memastikan dia tidak pergi begitu saja.

Satu pemuda lagi, yang paling pendek di antara mereka, mendongak dan menatap Alwin dengan senyuman cerah.

"Oh, ini yang lagi jadi hot item? Pantesan aja sih," ujarnya sambil matanya yang lebar dan wajahnya yang imut terlihat menggemaskan, dengan rambut gelombang yang dikuncir dan dihiasi manik-manik.

"Ah, biasa aja menurut gue," gumam pemuda dengan rambut gondrong dan tindik kuping banyak sambil mempererat cengkeramannya pada lengan Alwin.

"Iya, biasa. Kayak muka hasil oplas," nyinyir pemuda lainnya yang mencengkeram bahunya.

"Hei, jangan nuduh oplas kalau emang kalah ganteng!" Alwin membalas dengan tidak terima dan mulai memberontak.

Si cewek kekar memelintir bahu dan lengannya, membuat Alwin mengerang kesakitan. Beberapa siswa dan siswi yang berpapasan hanya menatap mereka sembari tersenyum-senyum.

Bagi mereka, kelima manusia cakep itu seperti sedang melakukan bonding keakraban, seolah-olah mereka berlima adalah penyegaran mata di tengah rutinitas Akademi.

"Ssst, nggak usah ribut! Biar diurus Arya," kata pemuda berkacamata yang masih mencekik leher Alwin, mencoba menghentikan keributan.

Oh, jadi ini perbuatan Arya.

Alwin mengerang ketika tiga orang itu menyeretnya sembari sesekali menyiksanya. Mereka masuk lift berlima, dan cowok imut di depan Alwin mulai meraba-raba sekujur badannya.

"Hei! Hei! Hei!" seru Alwin, berusaha melepaskan diri.

"Nggak usah berisik, gue cuma nyari dompet lo. Nah, ketemu," jawab cowok imut sambil tersenyum lebar. "By the way, nama gue Justin, bukan Hei Hei Hei." Tangan mungilnya masuk merogoh kantong depan celana Alwin.

"Shit," umpat Alwin ketika Justin merogoh saku celananya dan sengaja menyenggol bagian privatnya.

Justin tersenyum jahil, mengeluarkan dompet kulit cokelat bermerk butik terkenal dari saku Alwin. "Hm, Gucci."

"Cih, anak orang kaya pantes banyak tingkah!" ujar cowok dengan banyak tindikan di telinganya dengan nada sinis.

"Hehe, another spoiled rich boy, geng," goda Justin sambil membongkar isi dompet Alwin.

Pada saat itu, pintu lift terbuka di lantai 1. Gedung akademi mereka menyewakan lantai 1 untuk perkantoran dan beberapa kedai makanan ternama. Mereka keluar dari lift dan segera masuk ke dalam sebuah unit apartemen.

Pintu dibuka dengan kode dan otomatis terkunci begitu mereka masuk. Alwin digiring ke sebuah ruangan yang berisi meja besar dan dua sofa panjang.

Di satu sisi dinding terdapat home theater, stick PS tergeletak di sudut, kulkas dua pintu, dan banyak camilan ringan berceceran di lantai.

"Selamat datang di basecamp Azari Host Club. Gue Gani," kata si berkacamata tanpa mengulurkan tangan. Dia langsung duduk di sofa dengan kaki terlipat di atas meja kaca.

"Ini Fadela, yang badannya paling kekar, dan ini yang banyak tindikannya, Bimo," tambah Justin sambil memperkenalkan dua teman sisanya yang tampak paling membenci Alwin. Justin kemudian menuju kulkas dan mengeluarkan kotak susu stroberi.

The Dating ClubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang