Lee Jevan menghirup udara segar tanah kelahirannya. Sudah 7 tahun lamanya ia tak pulang ke rumah. Rasa rindu terus menghantuinya. Orang tuanya benar-benar menghukumnya dengan berat. Hari Natal pun Jevan tak diizinkan pulang. Hingga hari ini tiba, hari yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Hari kepulangannya.
Tiffany mencium semua inci wajah putranya yang sangat ia rindukan. Sejak satu jam kedatangan Jevan ke rumah Tiffany tak henti-henti menggelayuti putranya itu.
"Bagaimana rasanya hidup sendiri selama 7 tahun?" tanya Franco dengan nada yang sedikit ketus.
"Canada cuk...,"
"Hentikan pertanyaan sampahmu Lee, kau tak lihat wajah tampat putraku ini sangat lelah?"
"Jevanku pasti sangat lelah."
"Ayo sayang kita tidur ke kamar dan meninggalkan si tua ini sendiri," ujar Tiffany manja menarik lengan putranya untuk segera pergi. Franco berdecak kesal, ia yakin istrinya itu akan melupakannya dan hanya memberi perhatian pada putranya saja.
Jevan berdiri menyandar pada balkon kamarnya, memandang rumah mewah yang ada di samping rumahnya. Apakah Verland masih mencintainya? Jevan berlari masuk mendengar bunyi jendela sebelahnya itu mulai terbuka. Jevan bersembunyi untuk melihat apa yang akan dilakukan mantan kekasihnya itu di malam hari begini.
Deg! Jevan terkejut.
Verland menggenggam tangan Florence dengan erat, ia tatap wajah sang istri dengan senyum lebar. Mereka hanya saling diam menatap bintang di malam hari. Sesekali tangan Verland singgah di perut besar istrinya, menyapa anak mereka yang ada di dalam sana.
"Bagiamana kabar anak kita? Dia sehat?" Florence mengangguk mantap, mengecup singka pipi suaminya.
"Dia merindukan ayahnya, lihat dia bergerak saat disentuh olehmu," Verland berlutut, mengusapkan wajahnya dengan pelan di perut sang istri. Mereka saling tertawa, dan itu berlangsung di depan mata Jevan.
"Cepat datang, ayah tidak sabar melihatmu!"
"Dia akan lahir beberapa hari lagi."
"Benarkah? Harus aku libur bekerja? Aku takut kau tiba-tiba ingin melahirkan."
"Terima kasih."
Jevan membasuh wajahnya dengan usapan kasar. Sakit hati? Kecewa? Jevan mengerang, dinding tak bersalah itu tak luput dari amarahnya. Jevan benar-benar kecewa, apa yang ia lihat tadi? Tadi hanya mimpi? Semuanya mimpi?
Pagi hari yang cerah Jevan menyempatkan dirinya untuk lari-lari kecil mengelilingi kompleks rumahnya. Hingga Jevan mendengar langkah kaki yang terhentak cepat dari belakangnya. Jevan terkejut melihat atensi seorang pria yang berlari mundur di hadapannya.
"Hai, lama tak bertemu," sapa Verland dengan senyumnya. Jevan berdecih, apa maksud dari senyum itu?
"Kau marah padaku? Kau tak merindukanku Lee Jevan? Lihat siapa yang dulu menangis berpisah denganku!"