09: Seperti Seharusnya

26 8 75
                                    

Meski tubuhnya dilapisi pakaian, tetap saja hawa dingin dari pengatur temperatur ruangan yang terpampang di dinding UKS masih menusuknya. Jaka jadi terbangun, reflek memeluk badannya sendiri. Dia duduk, menengok ke kanan dan kiri, mencari kacamata kesayangannya. Di meja sebelah kanan. Jaka memungut dan segera kacamata itu hinggap di tempat seharusnya. Penglihatan sudah jelas lagi. Di mana jarum jam panjang dan pendek menunjukkan pukul 12.10.

Dan juga, sesuatu tak jelas darimana asalnya dan buat siapa dilihatnya.

Roti cokelat, susu cokelat.

Ah, sepertinya itu milik petugas PMR, pikir Jaka yang mengelak kalau itu bukan untuknya. Bukannya apa, kalau terkait barang benda begini, Jaka tak mau terlalu percaya diri. Serta, terus terang, Jaka tak terlalu menyukai varian cokelat dalam segala jenis yang bisa dicerna manusia. Mengakibatkan efek pusing. Seperti minum kopi pakai gula; opini yang akan Jaka lempar ketika seseorang bertanya kenapa bukan varian cokelat yang menjadi favoritnya.

Seseorang muncul dari bilik UKS yang terhalang oleh dinding yang terbuat dari plafon, sosok yang juga merupakan teman sebangku Jaka saat kegiatan klub sastra tadi. Kacamata berbingkai hitam masih menempel di wajah lucunya dan kain kuning dengan logo plus merah yang menunjukkan jati dirinya sebagai PMR. Himalaya.

Jempol gadis PMR ini hadir seolah mengatakan, "Udah mendingan?"

"Ya."

Seutas senyum terbit dari bibir Himalaya. Jaka membatin, pasti pahala gadis ini melimpah ruah. Soalnya gemar tebar senyum. Senyum adalah sedekah, sedekah pasti mendatangkan berkah dan pahala. Begitulah kata guru agama Jaka waktu SD. Bukan kata Pak Haji kebanggaannya si Ucup di kartun buatan tanah air sendiri.

"Ini ... punya lo?" tanya Jaka tiba-tiba saat Himalaya akan hendak memunggunginya. Menunjuk ke arah roti dan susu varian cokelat.

Tangan Himalaya melambai. "Bukan. Itu punya Kak Jaka, kok."

"Gue?"

Himalaya mengangguk pelan. "Aku panggilin ya orang yang ngasih."

"E-eh, gak usah!"

Namun Himalaya terlanjur menutup pintu dan keluar. Jaka menghela napas, dia akan berterimakasih walau tak begitu antusias dengan varian rasa yang wujudnya sudah seperti lumpur.

Selang beberapa menit, Himalaya telah membuka pintu kaca UKS. Menunjuk Jaka di dalam kepada orang yang berada di balik pintu kaca UKS yang dilapisi gorden hijau. Menyilakan orang itu masuk, dan Jaka terperangah karenanya.

Itu Jordan.

Himalaya izin untuk undur diri. Jordan manggut-manggut akrab. "Makasih, ya."

Jordan mendekat ke kasur di mana Jaka duduk. Menggeser kursi lipat untuk turut mendaratkan bokongnya. Di detik-detik awal, hanya mata yang berbicara, itupun secara rancu. Yang satu berpikiran, oh, jadi orang ini, tapi untuk apa? Satunya lagi, menyiratkan ada sesuatu yang harus dijelaskan di sini. Keduanya sama-sama cemas dan canggung.

Namun, Jordan lebih handal dalam mengatasi sunyi yang mencekam. "Lo ... gapapa?"

Jaka hanya berdeham sebagai respon. Cuek bebek seperti awal.

Jordan mencoba untuk menghangatkan suasana di tengah-tengah dingin masih merajalela dari pengatur temperatur ruangan. "Kayaknya tu bola posesif banget sama lo."

Jaka mendelik. "Ngawur." Yang ada, anak-anak dari klub basket yang posesif padanya. Masa iya, mendaratkan bola oranye tepat di kepala seseorang yang sama dan berakhir pingsan dua kali berturut-turut? Kalau sampai salah satu dari mereka melakukannya lagi—menggenapkan jadi tiga kali, Jaka bersumpah akan berdoa supaya klub itu ditiadakan.

My Hero(ine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang