10: Penyelamat yang Terselamatkan

30 5 9
                                    

Esok paginya, Ujian Kenaikan Kelas dimulai untuk hari pertama. Donna, Harmoni, dan Jaka mendapat ruangan ujian yang sama. Jordan terpisah seperti biasa ketika waktu ujian. Patutnya, Jaka terbiasa dan bersikap seolah tak ada apa-apa. Sayangnya tidak lagi, sejak dia menyaksikan penampilan Harmoni di dalam drama musikal beberapa waktu lampau.

Duduk di belakang gadis pemilik senyum cerah itu seperti anugerah dan ancaman dalam waktu bersamaan. Menggelitik dalam kehangatan di dadanya tetapi juga membahayakan fokus pada apa yang dituju. Bisa-bisa Jaka lebih terus memerhatikan punggung itu dibanding gerombolan soal ujian. Dia masih ingin melakukan yang terbaik untuk segi akademisnya. Setidaknya, hanya itu yang menunjukkan keunggulannya, menurut Jaka sendiri.

Setelah mengerjakan dan mengoreksi sebanyak tiga kali, Jaka memilih menatap raga Harmoni yang hanya terlihat rambut yang diikat kuda dan punggung yang membungkuk. Harmoni tidur.

Dalam diam, Jaka tersenyum samar-samar. Ini termasuk kebiasaan Harmoni setelah kelar mengerjakan ujian. Jaka juga begitu, dulu. Lantaran sebelumnya tak ada yang menarik perhatiannya, tak seperti sekarang.

Melalui punggung itu, ingatannya kembali pada kemarin. Ketika Harmoni menerjunkan kepala di atas tetikus laptop. Punggung itu melengkung ke bawah. Menunjukkan rasa lega dan lelah menjadi satu.

"Ni, makan," kata Donna perhatian. Wanti-wanti gadis ini malah menunda jadwal makan yang membawa dirinya ke rumah sakit untuk kedua kalinya.

Harmoni manyun. "Iya-iya! Lo pada nekenin banget gue makan dari tadi." Meski begitu, gadis itu tetap menaati perintah Donna. Menutup laptopnya yang sudah mati dan beranjak dari posisi duduknya di lantai.

"Lo kalo gak ditekenin, lupa waktu," sambar Jordan yang mengikuti Harmoni dari belakang. Orang terakhir yang berdiri adalah Donna. Jaka yang satu-satunya masih bersandar di sofa dengan duduk meluruskan kaki.

"Sekalian tolong ambilin punya gue," titah Jaka yang pandangannya mengarah ke Jordan.

"Dih, nyuruh!"

Harmoni memukul lengan Jordan. "Yang masak, 'kan, Jaka. Gak tau terima kasih, lo!"

"Eh, iya. Ini otw, Paduka Raja!" Tersadar, Jordan cengar-cengir seolah perbuatan tak tahu dirinya ialah hal sepele.

"Lo gak pernah gitu, sekali aja lo hajar tu homo sapiens tidak berbudi pekerti?" Donna berdecak tak kuasa melihat kelakuan ajaib Jordan.

Wah, tidak tahu saja Donna ini. Jaka pernah menyerang Jordan secara brutal akibat komentar noraknya di akun tempat pengungkapan anonim milik sekolah. Namun, Jaka terlalu malas untuk membuang kosa kata daro dalam mulutnya secara percuma. Laki-laki berkacamata itu cuma mau bilang, "Kuat-kuatin aja, Don."

Donna mengekori kedua remaja lainnya ke dapur. Jaka seorang diri menurunkan badannya menjadi berbaring di atas sofa. Pandangan yang terhalang kaca transparan tertuju pada atap-atap langit. Tak ada hal yang sangat penting yang dipikirkan. Hanya peregangan otak biasa.

"Paduka! Udah Hamba bawain, nih!"

Jaka melirik sekilas, lalu merosot badannya ke bawah lantai dengan perlahan. Donna, Harmoni, dan Jordan turut menyamai posisi Jaka. Meletakkan piring di atas meja kayu cokelat yang dilapisi taplak meja tipis.

"Mana makasihnya," tagih Jordan dengan ekspresi kesalnya yang bohongan.

"Iya-iya, makasih, Jordan Ganteng," ucap Jaka terpaksa. Tak mau memperpanjang, dia segera berdoa.

Jordan menyeringai gembira. "Tuh, Ni. Jaka aja bilang gue ganteng, masa lo yang udah kenal gue bertahun-tahun, gak pernah puji gue." Kemudian, membuat gerakan tangan dari bahu lalu ke kepala sebagai doa menurut kepercayaan yang dianutnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Hero(ine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang