pijat plus plus

2.1K 20 1
                                    

Para gadis berkerumun di dermaga, asik berbisik sambil tersenyum. Desi datang dengan raut wajah bingungnya, sedang apa gadis-gadis itu disini. Ia pun mempercepat langkahnya bergabung memasuki kerumuman tersebut.

Matanya sukses membelalak kaget. Disana terdapat Mardi beserta teman lainnya sedang menurunkan ikan dari atas kapal. Mengangkat keranjang berukuran besar berisi kiloan ikan, tanpa mengenakan kaos. Itulah yang menjadi alasan mengapa para gadis-gadis nakal ini berkumpul. Mereka menggoda Mardi tanpa peduli status pria tersebut.

Mardi sih gak peduli ya. Ia hanya ingin pekerjaan ini cepat selesai, lalu kembali kerumah untuk bertemu dengan istri tercintanya. Mardi tidak menyadari kehadiran istrinya yang berada di antara kerumunan gadis-gadis tidak jelas itu. Tengah memandangnya tajam, tangan terkepal, dan wajahnya yang memerah padam.

Buliran keringat itu memenuhi tubuh Mardi, membuat kulit tan nya menjadi lebih bersinar di bawah terik cahaya matahari. Otot-ototnya mengeras, uratnya menonjol lantaran mengangkut beban-beban berat di kedua lengannya. Roti sobeknya benar-benar padat nan tercetak jelas, dadanya bidang, bahunya lebar dan kokoh, sungguh sempurnanya makhluk ciptaan Tuhan yang satu itu.

"Aduuh rahimku anget mas Mardi.."

"Mass madep sini dong liat adek," ucap si gadis kurus yang menonjol-nonjolkan teteknya yang tidak seberapa itu.

"Liat mas mardi gak pake kaos aja tempik ku basah Sar, opo maneh ndelok dee blas ora klamben. Kontol e gede nemen kui mesti. Aduh padahal masih celanaan, tapi motoku bisa nembus liat kontolnya sing gemuk iku." Hhh ngeres banget sih otaknya, Desi menggeram dalam hati, menahan kepalannya agar tidak melayang pada mulut gadis cabul tersebut.

"Opo aku culik aja yo mas Mardi, dia juga pasti terpaksa iku nikah sama mbak Desi. Dia nggak lebih cantik dari aku, modal body montok aja. Aku loh udah cantik, anaknya pak kades, yang utama aku bisa jadi istri yang baik buat dia."

"Alah alah ngimpi koe yu, ojo halu terus, kalo mas Mardi denger bisa kamu dijorokin ke laut sama dia."

"Loh gak ada salahnya toh menghayal. Lagian nih coba dipikir-pikir udah berapa bulan coba mereka nikah, moso sih mbak Desi belum juga hamil?"

"Yaa siapa tahu mereka emang sengaja nunda, kan biasanya pengantin baru kaya gitu, menikmati masa-masa pacaran berdua sebelum ngurus anak. Udah toh kamu itu omongannya yang bener, jangan nyebar gosip yang aneh-aneh." Sarah sahabatnya mencoba mengingatkan. Sebenarnya dia sudah muak menghadapi Ayu, ingin menempeleng kepala gadis itu kalau tidak ingat dia adalah anak tunggal dari pak kades.

"Dih, kalo iri tinggal ngomong aja toh. Nyatanya mas Mardi lebih milih aku ketimbang cewek yang katanya paling top kaya kamu itu," sumpah serapah Desi hanya tertahan di dalam kerongkongannya saja. Dia masih ingat etika, dan Desi tidak mau ribut dengan gadis-gadis muda bermulut lemas itu.

"Hei!" Desi baru sadar dari lamunannya ketika pundak kecil itu ditepuk oleh seseorang. Dan dia adalah Mardi suaminya, yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya dengan keadaan shirtless seperti itu.

"Kamu udah lama disini? Kenapa nggak panggil mas aja dari tadi hm?" Tatapan matanya benar-benar teduh, kobaran amarahnya seketika padam saat sang suami mengusap punggungnya dengan perlahan.

"Adek udah lama disini mas, mau manggil tapi kan mas masih sibuk kerja."

"Panas loh disini dek, mas takut kulit kamu kebakar." Mereka layaknya sepasang kekasih yang tengah memadu asmara. Bermesraan di antara kerumunan orang, menjadi pusat perhatian di dermaga kecil tersebut.

Desi melirik, bibirnya menyungging miring tersenyum meledek kepada Ayu yang berwajah sangat masam di hadapannya.

Ia usap keringat pada dada suaminya dengan gerakan sensual. "Pasti capek banget ya mas, nanti sampe rumah adek pijitin yah," ucap Desi manis sembari tersenyum simpul.

Kisah Desi penjual jamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang