memory

8 0 0
                                    

Udara senja menyelimuti pemakaman, sunyi dan sepi. Rama berjalan pelan. Ia berhenti di depan pusara Lika Widianti Binti Suratno, nama yang terukir di batu nisan itu adalah nama ibunya. Rama berlutut, menundukkan kepala, dan berbisik lirih,

"Ibu. Aku datang lagi. Heemmm... Ayah pernah berkata mimpi adalah sebuah pertanda atau takdir yang sedang tertulis. Semalam aku bermimpi ada seorang wanita yang membuatku seperti di samping Ibu jika aku dekat dengannya. Melihatnya, seperti melihat Ibu."

Rama terpaku dan terlarut dalam kenangan, wajah ibunya terbayang jelas. Senyum hangat, pelukan lembut, dan suara lembut yang selalu menenangkan. Namun, kenangan itu tiba-tiba terputus, tergantikan oleh ingatan yang menyayat hati. Kata-kata Agatha, kakaknya, yang memberitahunya tentang kepergian Ibu.

Di tengah keramaian kantin sekolah, Rama tertawa bersama teman-temannya. Tawa itu tiba-tiba terhenti saat sebuah tangan menepuk punggungnya. Rama menoleh, terkejut melihat Agatha, kakaknya, berdiri di sana. Wajah Aganta pucat, keringat dingin membasahi dahinya.

"Rama," ucap Arga dengan suara bergetar.

Rama mengerutkan kening, tak mengerti. "Ada apa, Bang?"

Aganta menarik napas dalam-dalam, "Ibu... Ibu meninggal. Kecelakaan mobil."

"Apaan sih, Bang?!" Rama tersentak, suaranya meninggi.

"Lu pikir gue becanda? Masa gue becanda soal gini?" Aganta meneteskan air mata, suaranya tercekat.

Melihat ekspresi Aganta, Rama langsung berlari secepat mungkin. Teman-temannya mengejar, tapi Rama tak peduli. Ia menaiki motor, air mata mengalir deras membasahi pipinya.

Sampai di rumah, Rama melihat banyak orang berkerumun. Rumahnya dihiasi warna kuning, tanda duka. Rama menghentikan motor dan berlari sambil menangis. Ayahnya yang melihatnya langsung memeluk erat, berusaha menenangkan.

Tiba-tiba, langit menangis. Hujan turun dengan deras, membasahi tubuh Rama yang masih berlumuran air mata. Hujan itu seolah membuyarkan kenangan pahit yang baru saja ia ingat. Rama berlari ke motor, bergegas kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Rama disambut ayahnya yang duduk di depan TV, sedang merokok.

"Nanti malam Ayah pergi ke Jogja, dua hari. Konferensi novel," ucap ayahnya.

Rama hanya tersenyum, matanya masih berkaca-kaca. "Yah, Rama ingin bertanya."

"Ganti baju dulu baru nanya," jawab ayahnya sambil menepuk punggung Rama dan beranjak ke ruang kerjanya.

Rama masuk ke kamar, mengganti bajunya. Setelah itu, ia menuju ruang kerja ayahnya. Ia mengetuk pintu, dan ayahnya menjawab, "Masuk."

Rama masuk dan duduk di samping ayahnya yang sedang mengetik di laptop.

"Yah, tadi Rama bertemu seorang siswi. Rama mencintai siswi itu, tapi Rama tidak yakin dia mencintai Rama."

Ayahnya tersenyum, "Bagaimana kamu bisa yakin kalau dia tidak mencintai kamu? Kamu saja belum mencobanya. Kamu akan mendapatkannya jika itu takdirmu. Ibumu dulu susah untuk didapatkan, tapi layak untuk diperjuangkan. Jika kamu yakin dengan perasaanmu, perjuangkanlah."

Rama tersentuh dengan kata-kata dan kehangatan ayahnya.
"Sudah satu tahun ibumu pergi, tapi kenangannya masih jelas dalam memori ayah. Bahkan ayah membuat novel tentang ibumu."
Tambah ayahnya.

"Apa judul novelnya?" tanya Rama sedikit terkejut.

"Lika Widianti's Journey," jawab ayahnya, menunjukkan sebuah novel.

Rama mengambil novel itu dengan perlahan, melihat sampulnya yang terpampang nyata. Tulisan "Lika Widianti's Journey" terukir di sana.

"Ini Rama bawa ya," ucap Rama, sedikit mengangkat novel itu.

"Silahkan, Rama," jawab ayahnya, mengulurkan tangannya.

Rama membawa novel itu ke kamarnya. Ia berbaring di kasur, membuka novel itu, dan mulai membacanya. Kata-kata di dalamnya membawa Rama kembali ke masa lalu, mengenang sosok ibunya yang begitu dicintai.

Hujan semakin deras di luar, tapi di dalam kamar, Rama terhanyut dalam kisah ibunya, dalam novel yang ditulis ayahnya. Sebuah kisah tentang perjalanan seorang wanita yang penuh cinta dan kasih sayang, yang kini telah pergi meninggalkan kenangan indah.

Rama membaca novel itu dengan saksama, setiap kata-kata yang tertulis di sana seolah menghidupkan kembali sosok ibunya. Ia membayangkan Lika Widianti, wanita tangguh yang penuh kasih sayang, menjalani perjalanannya di dunia. Rama terhanyut dalam cerita, merasakan kesedihan, kegembiraan, dan perjuangan yang dilalui ibunya.

Di tengah-tengah cerita, Rama menemukan sebuah foto Lika Widianti yang masih muda. Foto itu memperlihatkan senyum manis ibunya, matanya berbinar-binar dengan penuh semangat. Rama terkesima melihat foto itu, seolah ibunya sedang tersenyum padanya.

"Ibu..." bisik Rama, air matanya menetes lagi. Ia meraba foto itu dengan lembut, seolah ingin merasakan kembali sentuhan hangat ibunya.

Rama membaca terus, sampai akhirnya ia menemukan sebuah kalimat yang membuatnya terdiam. "Cinta sejati tidak akan pernah mati, meskipun raga telah pergi, semangatnya akan selalu hidup di hati yang mencintainya."

Kalimat itu menggugah hati Rama. Ia menyadari bahwa meskipun ibunya telah tiada, cintanya tetap hidup dalam dirinya. Ia berjanji untuk selalu mengingat ibunya, dan meneruskan semangatnya dalam menjalani hidup.

Rama menutup novel itu dengan perlahan. Ia meletakkan novel itu di meja belajarnya, di samping foto ibunya. Ia menatap foto itu dengan penuh kasih sayang, seolah ingin berkata, "Ibu, aku akan selalu mencintaimu."

Rama teringat kata-kata ayahnya, "Kamu akan mendapatkannya jika itu takdirmu." Ia kembali memikirkan Tara, siswi yang telah mencuri hatinya. Ia yakin, jika Tara memang takdirnya, ia akan mendapatkannya. Ia akan berjuang untuk mendapatkan cintanya, seperti ayahnya yang berjuang untuk mendapatkan cintanya kepada ibunya.

Rama bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan ke jendela, menatap langit malam yang masih dihiasi rintik hujan. Ia menghirup udara malam yang dingin, merasakan ketenangan yang terpancar dari alam.

"Ibu, aku akan selalu mengingatmu," bisik Rama, matanya menatap langit malam yang gelap. Ia berjanji untuk menjalani hidup dengan penuh semangat, seperti ibunya yang telah mengajarkannya tentang arti cinta, kasih sayang, dan perjuangan.

Rama tersenyum, ia merasa lebih tenang setelah membaca novel ayahnya. Ia merasa lebih dekat dengan ibunya, dan lebih yakin untuk menjalani hidup dengan penuh semangat.

Hujan semakin reda, langit mulai terlihat cerah. Rama kembali ke tempat tidurnya, dengan hati yang penuh harapan. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang, dan ia akan selalu mengingat pesan ibunya, "Cinta sejati tidak akan pernah mati, meskipun raga telah pergi, semangatnya akan selalu hidup di hati yang mencintainya."

Rama -Tetaplah Bersamaku Di Bumi -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang