-3-

25 2 0
                                    

"Maksud lo?"

"Lo bebas sih, mau nerima atau nolak gue. Tapi, saran gue sih lo terima aja."

"Kenapa gitu?  Apa benefit yang gue dapet?"

Reya malah menantangnya dengan pertanyaan tidak bermutu.

"Nggak ada yang bisa gue sebutin. Karena lo bakal tahu sendiri kalau udah pacaran sama gue."

"Kita nggak kenal."

"Makanya gue ajak lo pacaran biar kenal, Kakak Kelas."

"Stop panggil gue Kakak Kelas."

"Sayang."

Reya mendadak tercekat. Telinganya panas. Tidak pernah Ia dengar panggilan seperti itu sebelumnya dari lawan jenis.

"Cieee blushing."  ledek River.

"Nggak jelas."

Reya kembali berfokus pada majalahnya.

"Jadi, mulai sekarang lo pacar gue ya? Nanti balik mau gue samper ke kelas? Lo nanti nggak di jemput kan?"

Reya seketika langsung menghentikan kegiatan membolak-balik majalahnya. Kenapa bisa lelaki itu tahu?

Darimana dan bagaimana bisa River tahu segalanya?

Jangan-jangan...

"LO PENGUNTIT???!!!" seru Reya.

Sontak mulutnya langsung dibekap oleh River karena suaranya lumayan kencang.

"Jangan berisik, Kakak Kelas. Kita diperpus." ucapnya melepaskan bekapan dimulut Reya secara perlahan.

"Dan gue bukan penguntit." lanjutnya.

"Lo, serem." gumam Reya.

"Iya makasih, gue tahu."

"Gue ngatain lo, kenapa makasih?"

"Karena gue nganggep itu pujian dari lo."

Pola pikir diluar nalar River membuat Reya semakin pusing. Tidak tahu apa maksud dari lelaki tinggi itu dan niat apa yang sebenarnya terselubung.

"Lo taruhan sama Hansen?" selidik Reya.

"Gue bukan barang yang bisa dijadiin taruhan ya brengsek." lanjutnya.

"Ohh, jadi namanya Hansen? Bagusan nama gue sih." ucap lelaki tinggi itu percaya diri.

Reya menghela napas, lelaki gila apalagi yang Tuhan kirimkan kepadanya? Sudah cukup dia menghadapi beberapa manusia gila akhir-akhir ini.

"River gue serius." ucap Reya.

"Cieee mau diseriusin." ledek River.

Reya mendengus, "nggak jelas."

"Jadi gimana? Nanti balik bareng?" River menaik turunkan alisnya.

Reya berpikir sejenak. Sejujurnya boleh juga, karena tadi pagi Rara diantar oleh kakaknya. Dia pasti akan dijemput oleh ayahnya. Dan Reya sendiri tidak akan ada yang jemput, karena tadi pagi dia naik taxi.

Cuma, apa tidak tambah heboh nanti kalau ada yang lihat dia pulang bersama lelaki tinggi ini?

Apalagi saat ini sedang panas-panasnya pergunjingan dirinya dengan Hansen.

"Nggak deh, gue naik taxi aja." tolak Reya akhirnya.

"Serius?"

"Iya."

"Balik sama gue aja, Kakak Kelas."

"Udah gue bilang jangan panggil gue Kakak Kelas."

"Say—"

YOUR EXIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang