Bab 6

19 13 0
                                    

Keesokan harinya Katein dan keempat temannya memutuskan untuk pergi ke rumah ibunya Aleta. Ya, Aleta hanya tinggal berdua bersama ibunya selama ini, ayahnya sudah lama meninggal.

Katrin dan rombongannya menghampiri para ibu - ibu yang sedang asyik mengobrol.

"Permisi bu, kami ingin bertanya pada ibu - ibu sebentar", jelas Ray.

"Tanya apa nak?".

"Apa ibu tahu rumah bu Marni yang anaknya meninggal sekitar 2 bulan yang lalu di hotel dekat bundaran air mancur sana?", tanya Ray tanpa basa - basi.

Ibu - ibu itu menatap heran ke arah rombongan Katrin, entah apa yang mereka fikirkan.

"Kami ingin berkunjung ke sana bu", sambung Denis yang berdiri di samping Ray.

"O bu Marni, yang anaknya bunuh diri di kamar hotel itu ya", kata salah satu di antara ibu - ibu tadi.

Rombongan Katrin pun mengangguk.

"Rumahnya di gang sebelah, sebelumnga nanti ada pos ronda, dan kalian tanya saja rumah bu Marni", jelas salah satunya lagi.

"Baik bu", jawab Ray.

"Maaf ibu tidak bisa mengantar kalian, kami mau ke pasar", tambah yang satunya lagi.

"Tidak apa bu, terimakasih, mari bu, kami permisi".

"Assalamualaikum", ucap Katrin dan ke empat temannya.

"Walaikumsalam", sahut suara dari dalam rumah, namun belum nampak orang yang menjawab salam tersebut.

Beberapa detik kemudian seorang wanita paruh baya muncul dari dalam rumah. Ia mendekati rombongan Katrin dengan tatapan heran, mungkin karena ia tidak memgenal rombongan Katrin.

"Ada apa ya?, kalian siapa?".

"Saya Katrin, ini Inggit, Ray, Amar, dan juga Denis", ucap Katrin mengenalkan dirinya dan ke empat temannya.

"Ini rumah Almarhumah Aletakan bu?", tanya Inggit.

"Iya nak, oh ya... maaf silahkan masuk dan duduk, saya bu Marni", jawab bu Marni mempersilahkan.

"Sudah bu, jangan menangis, ibu pasti kuat, yang sabar, di sini masih ada kami yang akan membantu ibu mengusut kasusu Aleta", hibur Ray menenangkan bu Marni.

"Cincin ini pemberian tunangan Aleta, Aleta orang baik nak... tapi mengapa orang - orang bilang arwahnya gentayangan di hotel kamar nomor 17 itu?, ibu tidak percaya".

"Ibu tidak perlu memikirkan perkataan orang - orang tentang Aleta, yang penting ibu sudah tahu apa penyebab sebenarnya", ujar Inggit.

"Kalau boleh tahu, kenapa cincin ini bisa ada pada kalian?, Bagaimana kalian bisa mengenal Aleta?", tanya bu Marni.

"Jadi, awalnya aku dan Aleta sering di datangi sama sosok arwah Aleta bu. Dari hari pertama kami menginap di hotel kamar nomor 17 itu. Dan suatu malam kami memanggil arwah Aleta melalui permainan jailangkung, di sanalah Aleta memberi petunjuk pada kami. Keesokan harinya, waktu aku dan Inggit membersihkan kamar itu, aku tidak sengaja menemukannya di bawah karpet kamar itu bu", jelas Katrin.

"Lalu apa rencana kalian selanjutnya?", tanya bu Marni.

"Bantu kami menggali informasinya, seperti dengan ibu sendiri, ibu bisa berikan kami informasi siapa orang - orang terdekat dengan Aleta selama almarhumah hidup, kamj akan banru menguak kasus ini pelan - pelan bu", jelas Inggit.

"Aleta... semoga dengan hadirnya Katrin dan teman - temannya di sini bisa membawa keadilan buat kamu ya. Ibu tahu nak, kamu tidak mungkin bunuh diri", ujar bu Marni.

"Iya bu, semoga kami bisa memecahkan kasus ini. Bukan cuma buat Aleta saja, tapi juga demi kenyamanan penghuni kamar nomor 17 itu sepanjutnya", ujar Ray.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 17, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kamar nomor 17Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang