Menginap (II)

222 23 2
                                    

"Gimana masakan tante? Enak gak?" tanya ibu Minji.

Melihat Hanni yang makan dengan lahapnya membuat Minji senang dalam hati. Hanni menjawab pertanyaan ibu Minji dengan anggukan dan mulut masih penuh dengan makanan. Menu malam ini adalah sapi lada hitam yang kebetulan adalah menu favorit Hanni.

"Enak, tante. Enak banget. Hanni jadi keinget masakan mama" ujarnya sambil antusias. Ibu Minji tersenyum mendengarnya.

"Baguslah kalau begitu. Makan yang lahap, yaa. Jangan sungkan-sungkan selama disini"

Mereka bertiga makan sambil mengobrol santai. Dari obrolan ini Hanni bisa menilai bahwa Minji sangat dekat dengan ibunya. Dalam hati ia bertanya dimanakah ayah Minji? Tapi ia urungkan karena mereka baru saja bertemu dan mengobrol banyak hal pada malam ini.

"Omong-omong, kamu anak perantauan atau memang asli sini, Han?" tanya ibu Minji penasaran.

"Aku anak rantau, tante. Rumahku jauh, sekitar 7 jam perjalanan dari sini kalau mau pulang"

"Wah, berarti ngekos sendirian dong?"

"Iyaa, tante"

"Pas kalau gitu. Biar aja kamu disini dulu sampai kamu udah enakan. Lagian besok hari minggu juga, kan? Jadi bisa santai dulu lah"

Hanni tersenyum menanggapi. Ibu Minji bersikap baik dengannnya. Ia jadi rindu sama orang rumah. Omong-omong, gimana ya kabarnya ibunya? Ia belum menanyakan hal ini dengan kakaknya setelah kejadian tadi pagi. Hanni jngin menelpon kakaknya nanti selepas membantu ibu Minji mencuci piring makanan mereka.

"Han, kamu gak usah bantu tante cuci piring. Tangan kamu diperban, nanti basah perbannya kalau kena air. Lagian cuciannya gak banyak, kok." titah ibu Minji saat mereka sedang membereskan peralatan makan.

"Eh, jangan tante. Hanni gak papa, kok"

"Sttt, udah, gak papa. Ji, temenin Hanni ya, urusan piring kotor tinggalin aja, biar mama yang cuciin"

"Iya, Ma. Ayo, Han. Kita ke kamar, ya"

Hanni meninggalkan dapur dengan perasaan berat hati. Ia takut membebani keluarga Minji dengan kondisinya itu. Tapi tangannya memang masih terasa perih karena luka yang ia toreh cukup dalam, diam-diam ia mengutuk perbuatannya.

Minji dan Hanni kini telah berada di kamar. Keduanya memilih duduk di tepi ranjang. Hening. Baik Hanni maupun Minji tak tahu hendak berkata apa.

"Minji,"

"Hanni,"

Keduanya serentak memanggil nama masing-masing. Kemudian keduanya tertawa.

"Kamu dulu" kata Hanni.

"Enggak, kamu duluan"

"Makasih banyak, ya, Ji. Udah baik sama aku. Aku ngerasa banyak ngerepotin kamu hari ini."

"Sama-sama, Han. Gak usah ngerasa repot, kamu gak ngerepotin aku sama sekali. Malah aku senang banget bisa bantu kamu"

Hanni tersenyum menanggapi.

"Omong-omong, gimana tanganmu? Masih sakit, gak?"

"Eum.. masih. Perihnya masih terasa. Mungkin karena lukanya terlalu dalam kali, ya?"

"Han?"

"Iya?"

"Mau cerita, gak?"

Hanni terdiam. Ia bimbang apakah harus beritahu Minji atau tidak. Tapi rasanya ia tak mampu menahan rasa sedih ini sendirian. Karena Hanni masih diam, Minji segera bilang,

"Gak papa kalau belum mau cerita atau gak mau sama sekali. Aku gak mau maksa kamu. Tapi aku mau kamu tahu bahwa aku ada buat kamu-"

Belum selesai Minji bicara, Hanni segera memotongnya.

"Papa mamaku berkelahi lagi, Ji. Mamaku sedih karena rumornya papa mau nikah sama perempuan lain"

"Itu beneran atau masih rumor?" tanya Minji dengan hati-hati.

"Gak tahu, ya. Tapi itu triggering banget buat aku. Kamu tahu aja, kan, gimana cerita mereka pas aku kecil dulu?"

Minji mengangguk pelan. Ia merasa sedih karena sampai dewasa, Hanni harus merasakan sakitnya jadi anak broken home. Tak terasa Hanni menangis lagi. Minji buru-buru mencari sekotak tissue miliknya untuk menyeka air mata Hanni.

"Hanni, aku boleh gak peluk kamu?"

Hanni yang masih sibuk menyeka air mata dan ingusnya bingung harus bereaksi apa. Tapi rasanya sekarang ia sangat rapuh dan  hutuh sandaran. Maka pikirnya, mungkin tak apa menerima tawaran Minji untuk memeluknya, karena ia sedang butuh pelukan hangat. Maka ia mengiyakan tawaran Minji. Tak perlu menunggu lama, Minji merengkuh badan wanita mungil itu ke pelukannya. Wangi shampo dari rambut Hanni menguar ke indera penciumannya.

Hanni beraroma bayi.

Hanni merasa tenang bisa berada dipelukan Minji. Andai... andai mereka berdua adalah pasangan kekasih. Andai saja Minji adalah kekasih Hanni. Pasti ia akan selalu berada dalam rasa aman. Karena Minji pandai memperlakukannya dengan sangat baik. Tapi... bagaimana dengan Minji? Apakah ia punya rasa yang sama? Atau apakah perlakuan baik yang ia beri hanyalah karena ia adalah psikolognya? Atau bagaimana jika Minji sudah punya pasangan? Apakah egois jika untuk malam ini saja Hanni menginginkan Minji untuk ada disisinya?

"Hanni?" tanya Minji. Ia masih memeluk Hanni dengan erat.

"Hmm?"

"Tolong jangan gini lagi"

"Maksudnya?"

"Jangan lukai tanganmu lagi. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa. Aku gak mau kehilangan kamu"

"Kenapa begitu?" Hanni melonggarkan pelukan mereka. Memberanikan diri untuk menatap mata teduh Minji.

"Apa karena aku pasienmu?" tanyanya lagi.

Minji menggeleng.

"Lalu kenapa?"

"Aku gak mau kamu terluka. Kamu bisa hubungi aku kapanpun kamu mau"

"Tapi kamu cuma psikolog aku, Ji"

Minji terdiam mendengar ucapan Hanni.

Iya, ya. Aku cuma psikolognya. Kenapa aku seperti ini?

"Kamu berharga, Han. Jadi, tolong jangan melukai dirimu sendiri lagi." ucapnya. Ia menahan diri untuk mengatakan bahwa ia juga punya rasa ke Hanni.

"Kalau begitu, boleh gak aku tanya sesuatu?" tanya Hanni.

"Apa?"

"Tentang surat kemaren, gimana menurutmu?" Hanni mengatakan ini dengan perasaan campur aduk. Ingin sekali rasanya ia tak memedulikan, tapi rasa penasarannya sangat membuncah. Ia perlu tahu jawaban Minji.

"Gimana apanya, Han?" Minji pura-pura tidak mengerti.

"Ini pertama kalinya aku jatuh cinta sama orang. Aku gak tahu bagaimana rasanya mencintai karena aku gak punya pengalaman soal ini. Aku minta maaf, tapi rasanya aku perlu tahu jawabanmu apa. Kalaupun jawabannya gak sesuai harapanku, seenggaknya aku senang karena udah bilang dan jujur ke kamu" jelas Hanni. Keduanya saling menatap dalam jarak yang dekat.

Jujur saja, Minji bingung harus bagaimana. Masalahnya, jika ia memiliki hubungan dengan pasiennya sendiri, ia melanggar kode etik profesinya yang bisa berujung tindak pidana. Tapi rasanya ia tak mampu berpikir secara rasional sekarang. Ia juga ingin Hanni tahu bahwa ia juga jatuh cinta pada Hanni.

"Gimana?" tanya Hanni lagi.

"Kalaupun kamu mau tolak pun, gak papa. Jadi aku bisa berhenti buat suka sama kamu"

"Aku..."

Minji menggantungkan kalimatnya. Ia takut salah bicara.

"Yaudah, gak papa, Ji. Gak usah dijawab kalau begitu. Makasih banyak, ya. Kamu bisa tidur sekarang. Aku juga mau istirahat soalnya"

Minji masih terdiam.

"Ayo, Ji. Kamu perlu tidur yang cukup"

"Han,"

Hanni mengangkat alisnya, isyarat untuk menanyakan apa dengan perkataan Minji.

"Gak papa, selamat malam" ujarnya sambil berdiri dari duduknya. Lalu pergi meninggalkan Hanni dengan ribuan tanda tanya.

No Matter What | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang