Hati yang Hancur

203 27 1
                                    

Waktu demi waktu berlalu, tak terasa kini sudah empat pertemuan Hanni lalui bersama terapisnya. Ia merasa sangat terbantu dengan keberadaan terapisnya itu walau masih ada beberapa hal yang terasa mengganjal. Sekarang Hanni sedang menikmati liburan semesternya dan pulang ke rumah untuk menemui kedua orangtuanya. Kali ini ia hanya bertiga dengan kedua orang tuanya karena kak Jennie baru menyusul pulang ke rumah minggu depan.

Malam ini ia tidur lebih awal dari orang-orang rumah namun beberapa jam kemudian ia terbangun karena mendengar suara ribut-ribut di ruang tengah, suara yang berasal dari kedua orang tuanya.

"Udah lah, Mah, gak usah ungkit-ungkit masa lalu. Papa tau papa salah, kan papa udah minta maaf. Apalagi yang dipermasalahkan?!"

Hanya itu kalimat yang jelas ia dengar karena saat ayahnya berkata demikian, suaranya cukup meninggi. Sisanya perlahan menjadi kabur, ia tak dapat mendengar apapun lagi setelah itu karena serangan paniknya muncul. Traumanya kambuh karena peristiwa ini mirip dengan peristiwa enam belas tahun silam. Tiba-tiba ia merasa sesak napas. Ia tak tahu harus berbuat apa kecuali menangis dalam diam, berharap rasa sakitnya akan tersalurkan.

"Sakit, rasanya sakit sekali," ucapnya pelan sembari memukul dadanya kencang karena merasakan sesak yang teramat sangat. Ia sebenarnya berada di antara senang dan benci tiap kali pulang ke rumah karena sumber lukanya berada di tempat ini. Namun jika liburan tiba, memang ia bisa pulang kemana kecuali ke rumah?

Setelah agak mendingan dan bisa sedikit tenang, Hanni memutuskan untuk keluar menuju dapur. Ia merasa haus sekali setelah menangis dalam waktu yang lama.  Saat selangkah dari pintu kamarnya, ia melihat ayahnya tidur di sofa ruang tamu. Ia tak tahu bagaimana perasaannya kali ini, rasanya benar-benar campur aduk. Di umurnya yang ke dua puluh satu, orangtuanya bahkan tetap bertengkar seperti yang sudah-sudah. Namun karena telah lelah menanggapi, Hanni memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke dapur dan kembali ke kamarnya selepas itu untuk tidur lagi.

***

"Dek, tumben kamu makannya dikit. Gak suka ya sama rasa masakannya?" tanya ayah Hanni.

Hanni sedari tadi memang kebanyakan hanya mengaduk-ngaduk nasi dan lauk yang ada di atas piringnya ketimbang menyuapnya. Ia benar-benar kehilangan selera makan.

"Nggak kok, Pa. Masakannya enak kok,"

"Ya tapi kok kayaknya kamu lagi gak selera makan gitu. Adek lagi ada masalah, ya?"

"Nggak, Pa. Hanni gapapa. Ini Hanni makan, hehe." jawab Hanni sambil mencoba untuk sedikit tertawa agar bisa mencairkan suasana karena di dapur keluarganya kini hanya terdengar dentingan-dentingan alat makan yang beradu. Tak ada cerita lucu atau gurauan yang biasa mereka lakukan dihari-hari yang biasanya. Baik ibu ataupun ayahnya sama-sama banyak diamnya. Tak heran mereka baru saja habis berseteru malam tadi dan nampaknya tak sadar bahwa anak bungsunya mengetahui hal itu.

Ngomong-ngomong, sampai sekarang Hanni masih belum memberitahukan kedua orangtuanya bahwa dirinya sedang berobat jalan ke psikolog. Sebenarnya Hanni ingin sekali memberitahukan hal tersebut untuk setidaknya mendapat dukungan dari keluarganya. Ia berencana di liburan ini untuk dapat terbuka akan masalahnya, namun ia urungkan karena kejadian malam tadi.

"Adek udah selesai makannya, maaf adek duluan ke kamar ya, Ma, Pa. Adek mau nugas dulu" ucap Hanni.

Hanni tak berbohong soal mengerjakan tugas kepada orangtuanya karena walaupun di hari libur, ia tetap mendapatkan tugas, bukan dari perkuliahannya melainkan organisasi kampusnya untuk persiapan di semester depan. Awalnya Hanni merasa tidak enak hati karena harus meninggalkan kedua orangtuanya duduk berduaan di ruang makan karena kejadian semalam. Tapi apa boleh buat, ia hanya tak ingin menumpahkan air mata yang sedari tadi ia tahan di depan orangtuanya.

_________

Flashbak ketika Hanni memasuki sekolah dasar

"Dek, kamu bentar lagi masuk SD, ya?" ujar ibu Hanni.

Hanni kecil mengangguk dan menanggapi, "Iya, Ma."

"Nah, kalau gitu nanti adek sekolahnya di tempat papa ngajar ya," jelasnya.

Hanni mengkerutkan alisnya seraya berkata, "Ah, kok gitu, Ma? Kok adek gak sama mama? Kan kak Jennie sekolahnya sama mama, Ma" jawab Hanni merasa tak terima. Ia ingat betul saat kakaknya hendak masuk sekolah dasar, Jennie diajak oleh ibunya untuk bersekolah di tempatnya mengajar. Omong-omong, kedua orangtua Hanni berprofesi sebagai guru sekolah dasar di dua tempat yang berbeda di kota mereka tinggal.

"Mama pengen kamu sekolah di tempat papa ngajar supaya kamu bisa mantau papa dan ngabarin mama, ya?"

"Tapi kenapa...?" tanya Hanni tak mengerti.

Ibunya memilih untuk tidak menjawab jawaban putrinya secara langsung, mengusap bahunya pelan dan berkata, "Pokoknya nanti, kalau di kantor papa kamu liat ada perempuan yang datang dan ganggu papa tolong infoin ke mama, ya?

Waktu itu Hanni pikir ia terlalu muda untuk mengerti urusan orang dewasa. Hingga akhirnya lambat laun ia mulai memahami apa yang dimaksud oleh ibunya kala itu. Setiap jam istirahat, dibanding memilih untuk pergi ke kantin sekolah, Hanni malah pergi ke ruang kantor ayahnya dan menghabiskan waktu disana. Dan hampir di tiap waktu itu pula ia melihat wanita yang dimaksud oleh ibunya itu mendatangi ruang kerja ayahnya.

Ruang kerja ayah Hanni memang dibedakan dari ruang kerja guru lain karena ayahnya baru saja diangkat menjadi kepala sekolah disana tepat setahun setelah ia bersekolah. Wanita gatal itu (Hanni menyebutnya seperti itu) selalu datang menemui ayahnya dengan berbagai alasan, baik itu mengumpulkan laporan atau pura-pura menanyakan sesuatu yang sangat tidak penting hanya untuk bisa berbicara dengan ayahnya.

Ia sangat tidak menyukai wanita gatal itu. Terlebih ketika ia mulai memahami apa arti dari perselingkuhan. Sependek yang ia tahu, selingkuh adalah perbuatan yang dilakukan oleh pasangan yang telah menikah, yang memilih untuk menjalin hubungan dengan pasangan lain selain pasangan sahnya. Tiap kali ia mengunjungi rumah neneknya dan berkumpul dengan paman dan bibi-bibinya, ia tahu bahwa mereka sama geramnya kepada ayah Hanni atas apa yang ia perbuat terhadap ibunya. Topik tentang ayahnya menjadi hal yang tidak habis-habis dibahas oleh keluarga besar ibunya dan ia sebenarnya merasa malu akan hal itu. Keluarga yang ia pikir cemara ternyata tidak demikian adanya.

Waktu kecil, ia punya banyak sekali mimpi. Hanni sangat suka astronomi, segala tentang bintang-bintang dan planet-planet hingga galaksi ia hafalkan. Ia mengoleksi banyak sekali buku-buku tentang astronomi dan menempelkan poster susunan tata surya serta peta dunia di dinding kamarnya. Ia bahkan bercita-cita untuk bisa menjadi astronot atau fotografer untuk bisa keliling dunia.

Namun setelah kejadian malam pertengkaran orang tuanya sebelum ia memasuki sekolah dasar dan sampai saat ini rumah tangga orangtuanya sangat tidak akur, bahkan mereka sering tidak dapat menahan diri untuk tidak bertengkar di depan Hanni, sejak saat itulah semua mimpi yang ia gantungkan runtuh begitu saja. Tak ada lagi dunia kecilnya yang berwarna atau gambaran mesra keluarga hangatnya seperti yang dulu-dulu. Satu hal yang Hanni tahu pasti, bahwa dunianya kini perlahan menggelap dan hitam menjadi satu-satunya warna yang tersisa.









Note: Halo readers! Kurang lebih ada 1103 kata untuk chapter ini! Panjang sekali ya, wkwk. Tapi kuharap kalian suka sama alur ceritanya. Aku nyempetin nulis ini disela-sela aku nugas, semoga suka ya! See you then in the next chapter~

Btw kalau mau berpendapat atau menanggapi alur ceritanya, bisa tulis di kolom komentar yaa, i really wait for it 😉

No Matter What | BbangsazTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang